Sunday, June 3, 2012

Arke di Planet Titan

Senin, 2 Januari 2027, Perairan Masalemb kembali menelan korban. Kali ini sebuah kapal pesiar bernama Mary yang khusus ditumpangi oleh keluarga para korban kecelakaan pesawat Adam Air yang tenggelam di Perairan Masalembo untuk memperingati dua puluh tahun tragedi Adam Air. Namun, tiba-tiba saja kapal itu dikabarkan tenggelam dan hingga saat ini bangkai kapalnya belum bisa ditemukan. Dalam kasus ini, Prof. Adikusumo, dosen Universitas Indonesia angkat bicara, "Ini bukan kasus pertama, tapi ini juga tidak ada kaitannya dengan hal mistis. Masalembo hanya misteri alam yang belum terpecahkan. Sama seperti Segitiga Bermuda." Namun, masyarakat Indonesia tampak tetap panik dan memilih enggan berpergian ke Sulawesi melewati perairan Masalembo. (Berita Indonesia edisi 2 Januari 2027)

"Bacalah!" perintah seorang remaja pria usai membacanya kepada temannya yang asyik menonton televisi dan melemparkan koran tersebut tepat di hadapannya. Penasaran, ia pun tak ragu-ragu membacanya. Toh, sedang iklan, pikirnya. Sejenak lengang suara, hingga sebuah suara yang sedikit menggelegar memecah kelengangan.
"Berita macam apa ini? Basi!" komentarnya.
"Aku sungguh penasaran."
"Kenapa?" tanyanya sambil mengerutkan dahinya.
"Tentang dunia lain di bawah tempat itu. Aku yakin ada sesuatu yang lain. Yang tersembunyi. Yang mungkin aku, kau, orang tua kita, pacar kita, siapapun jua akan sampai di sana pada suatu saat nanti. Kita hanya menunggu giliran."
Seketika temannya seperti menelan ludah. Namun, secepat itu pula ia mengabaikannya. Ruangan kembali senyap seketika meski suara televisi begitu kencang terdengar. Mereka hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
             ***
Kemarin, 1 Januari 2027

Kapal Mary masih mengapung tenang di atas air saat ketua penyelenggara acara peringatan dua puluh tahun tragedi Adam Air yang juga merupakan Cagub Ibukota memberi sambutan atau lebih tepatnya basa-basi bagi Arke. Itu semua hanya pencitraan di matanya yang menganggap acara ini sebagai salah satu cara mengambil simpati rakyat agar ia menang dalam pilkada. Semua hanya topeng yang menutupi tengkorak yang sesungguhnya. Begitulah asumsinya. Ia sudah terlanjur menaruh perasaan negatif kepada orang-orang besar negeri ini.

Acara sambutan selesai, kini tiba saatnya acara penaburan bunga. Kapal bekas yang baru direnovasi itu kini berada tepat di lokasi yang diyakini merupakan titik tenggelamnya pesawat Adam Air. Di saat-saat inilah, sembari menabur bunga, Arke teringat dengan perlakuan kasarnya kepada orang tuanya, khususnya ibunya. Dahulu Arke sering membantahnya, melawannya, bahkan tak ada kata "tunduk kepada ibu" dalam kamusnya. Kepada bapaknya, dia takutnya setengah mati, namun di hatinya terpelihara sebuah kebencian.

Dua puluh tahun yang lalu, saat terakhir Arke bertemu kedua orang tuanya, dia secara mentah-mentah menolak ajakan kedua mereka untuk berlibur ke Makassartempat kakek-nenek dari ayahnya. Jelas saja dia tak ingin ke sana lagikampung yang terletak di tengah-tengah kebun karet itu. Lebih baik di sini, katanya. Semua ada, tidak perlu repot-repot, tidak seperti di sana. Terpencil dan serba sulit. Tapi, sampai saat ini, ia masih tak menyangka bila itu adalah saat terakhir ia menatap raut muka orang tuanya yang sejak bayi selalu ada untuknya. Andai, waktu yang ajaib itu memberikannya sebuah kesempatan kembali ke masa itu, ia rela ikut bersama orang tuanya dan kehilangan nyawa. Tetes air mata perlahan jatuh. Setetes demi setetes. Ia tak peduli, toh kata siapa seorang laki-laki tak boleh menangis? Semua seakan gelap, hanya ia sendiri di atas kapal itu.

Tiba-tiba, Arke merasa sebuah getaran dari dalam air. Seakan ada gelembung raksasa yang tengah ingin menyembul ke permukaan air. Dia tahu getaran itu makin terasa, makin naik, dan tak sabar ingin menelan kapal itu. Benar saja, kapal mendadak bergetar, bergoyang tak karuan. Namun, suara gemuruh yang begitu besar masih kalah tersaingi dengan teriakan para penumpang yang panik dan berhamburan. Hanya dia yang masih berdiri tenang dan dia mulai merasakan sesuatu yang kuat mulai menarik kapal besar ini ke dalam air.

Selang beberapa lama kemudian, dia sudah merasakan air menariknya, bersama bangkai kapal yang lebih dulu tertarik mendahuluinya. Dia berusaha melawan. Dia juga masih bisa melihat orang-orang di segala arah yang juga turut tertarik ke bawah. Namun, tiba-tiba gelap. Ia membiarkan gelap menaklukannya.

            ***

Thursday, May 31, 2012

Dalam Keterbengkalaian Hari

Dalam keterbengkalaian hari, tiba-tiba muncul dirimu lagi
Bagai siluet tak asing yang berkelebat
Seakan merobek selembar memori
Tersadar rindu yang hadir secepat kilat.

Sudah berapa kali kau absen dalam ingatku, sobat?
Berkali-kali hingga aku tak peduli lagi dengan kekuranganmu
Karena yang ku tahu kau adalah sahabat yang kuat
Meski keterbatasan fisik menderamu.

Ingat membawa kisah kita pada masa sekolah dulu
Melewati pagi bersama menuju sekolah
Menikmati sore yang lepas ketika rumah menanti
Memandang senja, mencoba menyibak misteri masa depan dibaliknya.

Kau yang mengajariku bersyukur atas berapapun angka yang diberikan guru
Mengajariku menjadi sosok yang disiplin, tangkas, dan pandai
Serta memberiku faedah penting tentang persahabatan.

Masa sekolah telah berakhir dan kita berpisah
Kau melanjutkan langkah, mencari ilmu ke negeri seberang.

Dalam keterbengkalain hari, ruangan ini sekan mendoakan rinduku terobati
dan dalam sisa-sisa masa terselip tanya
untuk sobatku yang tak henti-hentinya melawan keterbatasan diri,
"Kapan kita bersua kembali?"

M. Fathir Al Anfal (Mei 2012)

Monday, May 28, 2012

Rindu Kekasih Allah

Bagai meminta semangkok air dari laut
pun jua dengan setitik dari hujan,
aku benar-benar merindukannya.
Meski mata tak pernah melihatnya.

Hanya aku berpegang pada tali yang teguh
untuk memperoleh syafaatnya.

Beliau adalah Kekasih Allah
yang kemuliaannya membawa sinar
pada kehidupan yang mendung
sampai belum jatuh setetes pun air dari langit
karena riuh rendah suara Azan sudah berkumandang
dan menyebar luas hingga aku bernafas, kini.

Sungguh, aku sangat ingin bertemu. Aku rindu.

M. Fathir Al Anfal (April 2012)