Sebelumnya, aku tak pernah mempercayai hantu ataupun sejenisnya. Mungkin sekedar tahu dan tak sungguh-sungguh percaya kalau mereka memang ada. Buatku, yang hidup di zaman serba canggih ini, hantu adalah tokoh fiksi yang semu bagai sebuah omong kosong yang tak berdalih.
foto: google.com
Banyak sekali kisah horror yang pernah mampir di telingaku, khususnya di kampusku tercinta ini, Universitas Indonesia, yang dikisahkan teman-temanku. Dimulai dari hantu kuntilanak merah, hantu di Fakultas Teknik yang selalu muncul setiap tahunnya di acara wisuda, arwah perempuan yang gantung diri di kantor Rektorat, sampai Arwah gadis penghuni Gerbatama.
Sebagai seorang teman dan pendengar yang baik, aku memang mendengarkan kisah-kisah itu dan mencernanya dengan baik namun itu hanya bagai angin lalu untukku, yang masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri ataupun sebaliknya.
Hingga suatu malam, tiga kejadian aneh dalam satu malam benar-benar mengubah pemikiranku tentang hantu dan sejak itu, aku "meneliti" banyak hal tentang mereka; mengapa mereka ada dan untuk apa? apa mereka memang suka menggangu manusia atau justru manusia yang membuatnya merasa terganggu. Bahkan, aku pernah mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti uji nyali di salah satu acara televisi yang cukup ternama hanya untuk sekedar mengetahui tentang mereka.
***
Malam itu, aku lupa tanggal berapa, tapi aku ingat harinya. Ya. Hari Kamis malam Jum'at. Entah Jum'at Kliwon ataupun bukan, tapi yang pasti malam Jum'at kala itu benar-benar mencekam aku dan temanku, Nusa.
Saat itu, di kampus, tengah ada konser musik yang diadakan FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) dan dimeriahkan oleh beberapa band kampus dan
guest star-nya adalah salah satu band yang sangat tenar dan telah malang-melintang di penjuru Indonesia, sebut saja Jigsaw Band.
Konser selesai pukul 10 Malam. Temanku, Nusa, yang berasal dari kampung dan sedikit kampungan, dengan
narsis-nya minta difotoin oleh aku dengan
Handphone-ku. Dalam pikiranku: "Aduh, ini temanku sudah narisi, tidak modal pula."
Tapi, entah mengapa, seakan tertular oleh virus
narsis yang begitu kuat, aku juga tak mau hanya memenuhi album fotoku dengan foto orang lain tanpa ada foto akunya. Alhasil, akupun ikut ber-
narsis-narsis-ria.
Usai berfoto, kami bergegas pulang dan entah ini sebuah kebetulan atau ada "sesuatu" yang membuat kami berfikiran hal yang sama yaitu pulang ke asrama berjalan kaki. Bukan karena kami tak punya uang untuk naik angkot, tapi aku ingin sekedar menguji nyali dan untuk si Nusa, dia memang hobi berjalan kaki. Katanya, dulu waktu sekolah, dia harus berjalan kaki menaiki tangga bukit dan menyeberangi sungai untuk sampai sekolah di kampungnya yang dari rumah kira-kira berjarak 7 Kilometer. Hah, benar-benar orang pedalaman, namun dia cukup jenius, setidaknya satu level di bawahku. Jika dia
Expert, aku
Master-nya
(level dalam beberapa
game).
Akhirnya, dengan tekad yang mantap, kami mulai berjalan kaki. Menyusuri gelap jalan yang lengang dan kegelapan hutan yang seakan mengiringi setiap langkah kami. Malam itu sudah pukul 11. Mungkin lewat.
***