Sunday, October 30, 2011

Pesan Seorang Pria Tua

Entah siapa pria tua itu. Nama, asal, semuanya, aku tak tahu. Mungkin saja dia malaikat yang menyamar jadi manusia seperti kisah zaman Nabi di buku-buku islami. Mungkin juga orang gila yang mampu berkata-kata dengan bijaknya. Tapi, apa mungkin orang gila bisa berkata bijak dan memiliki pandangan atau cara berpikir yang seperti kaum intelek?

Ucapannya terus terngiang di otakku. Seakan memaksaku merenung dalam sepinya malam.

Sejak kecil, aku selalu bercita-cita menjadi seorang artis papan atas -minimal di Indonesia sajalah- yang dikenal dan dikagumi banyak orang. Punya uang banyak dan main gila dengan banyak wanita. Tentunya, pikiran tentang "main gila" itu baru muncul setelah aku beranjak dewasa dan mengetahui sisi lain menjadi seorang artis. Namun, cita-cita itu segera menjadi renungan setelah aku bertemu pria tua itu.

Kemarin, di sebuah pemakaman umum di dekat rumahku, ada syuting sebuah film yang katanya akan rilis di bioskop akhir tahun nanti. Aku yang sebagai calon artis pun, lantas tak ingin ketinggalan melihat proses syuting film yang disutradarai oleh sutradara terkemuka di negeri ini serta dibintangi oleh wajah-wajah yang sudah tak asing menghiasi layar TV kita. Bahkan aku rela membolos sekolah demi memenuhi keinginan hati.


Aku terbawa suasana saat aktris idolaku berperan sebagai seorang ibu yang ditinggal mati anaknya. Di adegan tersebut, ia berakting menangisi kuburan anaknya dan bermonolog dengan meluapkan amarahnya kepada Tuhan. Aku bahkan hampir ikut menangis karena dia begitu menghayati perannya. Tidak hanya aku, nampaknya yang lain juga begitu.

Setelah adegan itu selesai, kru film segera membereskan peralatannya. Para warga yang sudah merasa puas, satu per satu, beranjak pergi dari lokasi syuting. Aku  pun demikian. Namun, sebelum pulang, berhubung perut keroncongan, aku singgah di sebuah warteg tak jauh dari lokasi pemakaman. Setelah memesan menu dan siap untuk menyantap makan siangku, pria tua itu pun datang. Dengan memakai kaus lusuh, celana panjang dan topi, ia hanya duduk tanpa memesan makanan. Jaraknya kurang lebih 100cm di sebelah kananku. Aku awalnya risih bahkan berprasangka buruk tapi aku mencoba tenang dan memberi senyum kepada pak tua itu yang ternyata membalas dengan senyuman ramah pula. Dari situ, prasangka burukku sirna. Dia pasti bukan orang jahat, mungkin kuncen pemakaman atau tukang gali kubur, pikirku saat itu.

"Orang-orang itu benar-benar bodoh ya? keterlaluan!", gumamnya.
Aku tak tahu dia bicara sendiri atau memang mengajakku berbicara, tapi aku beranikan diri untuk bicara.
"Siapa yang bodoh, pak?"
"Mereka, orang-orang yang membuat film di pemakaman itu, sungguh keterlaluan!", ujarnya dengan nada agak tinggi.
Aku makin bingung.
"Keterlaluan bagaimana? apa mereka mengganggu bapak?"
"Saya tak merasa terganggu, nak, tapi orang-orang yang terbaring kaku disanalah yang terganggu"
"Maksudnya?"
Dia tak menjawab tapi justru bertanya balik padaku, "Apa adek ingin menjadi orang yang berakting seperti mereka?"

Sekejap aku kembali teringat oleh impian masa kecfilku menjadi seorang artis. Saat itu aku mengidolakan aktor utama dalam film Ada Apa Dengan Cinta yang rilis di tahun 2001. Selain tampan, dia juga sangat lihai bersandiwara dan memainkan mimik muka. Setelah sekejap bernostalgia, aku kembali fokus kepada pertanyaan pak tua itu. "Iya," ujarku mantap.

Dia lalu sedikit menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat. Aku makin tak nafsu untuk melanjutkan makan hidangan yang sudah separuh kulahap.
"Adek tahu? Tuhan tak ingin diri-Nya di caci maki walau hanya pura-pura. Dia juga tak ingin dipuji dalam kepura-puraan. Apa adek mengerti?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Dia melanjutkan, "Coba lihat! Banyak artis beragama nasrani yang solat, berdoa, bersalawat, bahkan meninggikan nama Allah. Banyak pula artis beragama islam yang berperan menyembah berhala. Secara tidak langsung, dia sudah menjadi murtad walau hanya berpura-pura!"
Aku makin bergetar, tapi dia belum selesai.
"Adek lihat kan adegan tadi? mengapa saya bilang 'orang-orang yang terbaring kaku disana terganggu'? Disana itu kuburan, kuburan adalah tempat suci. Tempat kita merenung akan adanya kematian. Disana harus sunyi bukan untuk tempat lari-larian, berteriak-teriak, atau berakting! Nabi Muhammad SAW dan para Wali Allah saat memasuki kuburan untuk berziarah selalu melepas sendalnya dan berjalan pelan-pelan agar para penghuni kubur tersebut tidak terganggu.", ujarnya dengan penuh keyakinan.

Setelah berkata panjang lebar tersebut, dia langsung nyelonong tanpa mengenalkan dirinya dan tanpa memberitahu apa maksud ucapan itu kepadaku. Aku pun tak sempat bertanya, karena aku hanya menganga seakan terhipnotis sampai aku sadar bahwa aku harus menghabiskan separuh hidanganku lagi walau aku sempat kehilangan nafsu makanku. Seusai makan dan membayar, aku lantas pulang sambil terus memikirkan kata-kata yang diucapkan pak tua yang mungkin berumur sekitar 50 tahunan itu. Kata-kata itu bagai sebuah pesan. Sampai sekarang, aku masih memikirkannya.

M. Fathir Al Anfal (2011)

No comments:

Post a Comment