Wednesday, November 16, 2011

SAWO episode 4

Malam menunjukkan pukul 11. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ini hari ketiga pasca kematian Bejo. Tak ada titik terang. Yang ada hanya gelap yang menyelimuti karena bulan pun ditutupi awan-awan hitam yang tak mau lepas.

Seorang pria berwajah putih, rambut ikal, dan tinggi semampai berjalan, entah darimana, hingga sampailah dia di depan sebuah rumah yang ternyata rumah kontrakannya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, namun hanya pepohonan yang ia lihat, rumah-rumah yang sepertinya sudah tak berpenghuni saking sepinya, dan gelap pastinya. Ia mengeluarkan kunci rumahnya dan membuka pintu. Ia terlihat sangat letih, lalu melepaskan jaket hitamnya dan menggantungnya di gantungan baju. Rumahnya tak begitu luas, berpetak dua, bagian depan berisikan lemari, meja, TV, dan alat-alat elektronik lainnya sedangkan bagian belakang di pakai untuk dapur serta kamar mandi. Ia hanya sendirian, tak ada yang menemani. Kini, ia bersiap untuk tidur. Jarum panjang pun sudah di angka 4.

Namun, tiba-tiba, terdengar suara berisik dari dalam lemari. Seperti ada seseorang yang mengetuk-ngetuk dari dalam. Ia kaget lalu beranjak dari tempat ia berbaring dan mendekat namun tetap waspada. Ia mengambil sebilah gunting dari meja. Perlahan-lahan ia buka, jantung berdetak keras, badan sedikit gemetar dan benar saja, seseorang berjubah hitam dari dalam lalu mencoba menyergapnya. Namun, ia berhasil mengelak. Kini, ia balik menyerang orang berjubah hitam itu. Dengan gunting di tangannya, dia mencoba menikamnya, namun orang berjubah hitam itu menendang bagian selangkangnya dan dengan tendangan pula orang misterius itu berhasil menjatuhkan gunting dari tangannya ke lantai di saat ia sedang kesakitan. Tapi, pertarungan tak berhenti sampai di situ, dia juga belum menyerah, lalu balik menendang kaki dan memukul perut orang itu hingga terjungkal ke lantai.


Kini, dia berada di atas angin. Lawannya sudah tak berdaya di lantai.
"Aku tahu ini kamu dan aku sudah tahu kamu akan datang, tapi tak semudah itu, dendammu takkan terbalas, aku akan mengakhiri semuanya malam ini!", ujar pria itu.
Dia mencoba menyerang lagi, namun, dari belakang dia ditusuk di bagian leher dengan gunting yang tadi jatuh ke lantai oleh orang misterius yang juga berjubah hitam. Seketika darah memuncrat, dia lalu terjatuh ke lantai dan menggelepar-gelepar lalu mati dengan darah yang bercucuran dan mata yang terbuka.

Orang berjubah hitam yang baru saja membunuh pria itu lalu mengulurkan tangannya pada rekannya yang masih tergeletak di lantai itu sembari berkata: "Inilah esensinya. Pembunuhan harus di lakukan di waktu yang tepat dan cara yang tepat pula. Jika kau sampai terbunuh, siapa yang akan membalaskan dendammu?"

                                                    ***

Pagi datang, fajar telah mengintip di ufuk sana. Saat matahari sudah naik 30 derajat, saat itu pula, kabar cepat menyebar.

"Koplak mati? kamu tahu darimana?", teriak Pak RT kepada sopir pribadinya, Budi.
"Dari omongan para warga, saya juga tak tahu pasti bagaimana dia mati, tapi yang pasti dia memang katanya sudah mati", ujar Budi.
Pak RT lalu membanting koran dan meneguk kopinya hingga habis.
"Sial!", gumamnya.
"Apakah bapak mau memastikan kebenarannya?", tanya Budi.
"Tak perlu, lebih baik sekarang kamu bersihkan halaman belakang", geretak Pak RT.
Budi yang setengah ketakutan hanya mengangguk lalu pergi melaksanakan tugas.

Pak RT kian dihimpit kepusingan. Dia tak tahu harus bagaimana lagi. Dia juga pasti akan mati setelah ini atau setelah Reni mati. Dia lalu menelepon Reni.

"Halo, ada apa?"
"Kau sudah dengar kabar?"
"Kabar? Maksudmu?"
"Koplak mati"
"Apa? gila! yang benar saja! Setelah ini tinggal kita, entah siapa duluan di antara kita"
"Untuk itu kita harus makin waspada, sekarang kamu ada dimana?"
"Di rumah"
"Kita bertemu di tempat biasa, oke?"
"Oke!"

Dia lalu berteriak memanggil Budi, "Budi! Budi! Budi!"
"Ya, pak? Maaf saya sedang menyapu halaman belakang"
"Sudahlah tak perlu dilanjutkan, sekarang antarkan aku!"


Sekilas tentang Pak RT, dia bernama asli Purnomo. Dia sempat menikah lalu ditinggal cerai istrinya karena tingkah lakunya sendiri yang suka mabuk-mabukkan. Namun perceraian itu justru membuatnya makin menjadi, dia jadi tak membutuhkan pernikahan lagi dan lebih suka yang namanya kumpul kebo. Dia menjadi RT Desa Sawo pun karena kekuasaan yang ia miliki. Semuanya tunduk saja kepadanya. Tak ada yang berani memberontak. Yang ada mereka malah menjadi anak buah Purnomo karena diiming-imingi uang. Dan tradisi berjudi di desa Sawo pun dimulai dari dirinya.

Suatu hari, ia bertemu dan mengenal Reni di sebuah diskotik bersama dengan Joni, Bejo, dan Koplak. Dari sinilah, mereka jadi semakin menyatu karena memiliki ideologi yang sama. Dan dari sini pulalah, semuanya dimulai.

                                                ***

"Aneh! Aneh sekali!", ujar Briptu Adam.
"Ya, ini tak mungkin", ujar Amru.
"Pengamatan di TKP ini sudah jelas bahwa terjadi pertarungan semalam yang pasti terjadi kegaduhan tapi anehnya mengapa tak ada satu pun tetangga yang mendengar?"
"Atau mungkin, pelakunya ...", gumam Adam.
"Apa?"
"Entahlah, aku juga tak mengerti. Nampaknya kita telah dipermainkan. Selama kita belum bisa mengetahui peristiwa yang melatari ini serta dua orang yang tersisa, kita akan terus dipermainkannya"
"Kita harus melakukan sesuatu, Adam!"
"Tapi apa? kita tak menemukan petunjuk. Aku rasa, kita harus menunggu!"
"Apa katamu? kita tak mungkin menunggu. Itu sama saja kita membiarkan mereka mati!"
"Bagaimana jika pelakunya memang menginginkan itu. Coba ingat kata-kata di kertas itu. Aku rasa, dia hanya menginginkan kita menunggu semuanya mati dan aku yakin setelah itu pelakunya akan datang sendiri kepada kita!", tegas Adam dengan mimik muka yang penuh keyakinan.

Mereka saling pandang, saling tatap, perbedaan pendapat membuat suasana hati mereka berdua sedikit agak merenggang. Itu terlihat dari raut mereka berdua yang terlihat saling mempertahankan argumennya.

Sembilan jam telah berlalu. Sekarang pukul 9 pagi.


(Bersambung)

No comments:

Post a Comment