Sunday, November 27, 2011

Pudarnya Sebuah Keadilan

Seorang pria dengan wajah cemas dan gerak tubuh yang gelisah sedang menunggui istrinya di ruang tunggu sebuah rumah sakit swasta di pinggiran Ibukota. Sudah setengah jam istrinya dirawat di rumah sakit yang sudah berdiri sejak 25 tahun yang lalu tersebut. Bangunan rumah sakit itu berdiri megah dan kokoh di pinggir jalan yang nyaris tak pernah lengang. Ribuan orang sudah mati di sana, begitu pula yang kembali sehat. Ya, dari dulu sampai sekarang, rumah sakit tak pernah berubah. Tempat di mana orang akan mati atau orang akan sembuh. Dengan perantara tangan Dokterlah, nasib mereka-mereka yang sakit dipertaruhkan.

Dia berharap istrinya yang sebenarnya sudah lama sakit itu cepat sembuh. Nampak dari raut mukanya yang memelas, sebuah penyesalan yang tak diragukan lagi adanya.

Satu minggu yang lalu, istrinya mendadak sakit. Badannya panas dan suka muntah-muntah. Sebagai seorang suami, dia sudah sangat sigap menjaga istrinya yang sakit dan membelikannya obat tanpa membawanya ke rumah sakit karena sadar akan biaya yang pastinya tak mampu ia sanggupi yang hanya bekerja sebagai montir sebuah bengkel. Ia hanya mendoakan istrinya agar cepat sembuh. Namun, Tuhan belum berpihak kepadanya, doanya justru dibalas dengan apa yang tak diinginkannya. Sakit istrinya malah tambah parah. Namun dia bingung, harus dibawa kemana istrinya?

Tetangganya yang merasa kasihan memberi saran agar istrinya dibawa ke rumah sakit.
"Sudah Pak Bagio, bawa saja ke rumah sakit. Kasihan istrimu. Sebelum terlambat!", begitulah yang diucapkan Marni, tetangga terdekatnya.
"Biayanya? Saya tak punya uang untuk biaya rumah sakit."
"Ah Bapak, seperti di sinetron saja, sekarang Bapak bawa dulu saja istri Bapak, masalah biaya saya rasa pihak rumah sakit bisa mentolerin."

Mendengar penjelasan Marni yang sedikit menyejukkan hati itu, akhirnya ia memutuskan membawa istrinya ke rumah sakit itu dengan sepeda motornya.

                                  ***

Sudah empat puluh lima menit, belum ada kabar dari Dokter yang menangani sakit istrinya. Hingga akhirnya terdengar suara pintu yang dibuka dan muncul dari balik pintu seorang dokter dengan mode khasnya yang serba putih dan stetoskop yang dikalungkan di lehernya.

"Bagaimana Dok?", tanya Bagio yang penuh harap.
"Istri Bapak mengalami komplikasi di bagian hati dan usus dan saran saya istri bapak haus dioperasi. Itu membutuhkan banyak biaya."
"Lalu bagaimana? Saya tak punya uang tapi saya mau istri saya sembuh."
"Maaf bapak, saya tak bisa berbuat banyak."
Bagio mulai geram.
"Tapi istri saya punya hak untuk hidup. Dokter tak bisa turun tangan begitu saja, hanya karena masalah administrasi"
"Itu salah Bapak sendiri, kenapa istrinya baru dibawa ke rumah sakit sekarang? Dan memang itu hak istri bapak untuk hidup, tapi bapak harus membayar kewajiban bapak untuk membayar kalau mau hak bapak terpenuhi"

Sang dokter lalu membalikkan badan dan mencoba meninggalkan dia yang makin memuncak amarahnya. Dia lalu berlari ke luar rumah sakit dan membuka jok motornya yang di dalamnya terdapat sebuah pistol yang ia peroleh 3 tahun yang lalu yang sudah lama ia simpan di situ.

Ia dengan geram dan langkah yang cepat lalu mencari dan menghampiri Dokter itu yang ternyata masih berjalan santai di koridor rumah sakit. Dari belakang, dia lalu menyergap sang dokter yang angkuh itu dengan menempelkan pistol ke kepala dokter itu.

"Dokter harus menyembuhkan istri saya atau hak hidup dokter akan saya renggut seperti halnya dokter membiarkan hak hidup istri saya hilang dengan sendirinya!"

Tiba-tiba seisi ruangan yang tadinya sepi, yang karena itu, menjadi ramai dan seperti membentuk kerumunan. Dengan pistol di tangan, yang sebenarnya tidak berpeluru, ia menyandera seisi rumah sakit, menyuruh mereka tiarap dan meminta dokter segera mengoperasi istrinya.

Dia berkata, "Mana janji dokter, kode etik dokter, atau apalah yang mengatakkan bahwa nyawa manusia harus dipentingkan? Omong kosong! Rumah sakit pun sekarang sudah menjadi tempat bisnis!"

Seisi ruangan yang tiarap, baik suster atau pengunjung tertegun. Mereka dihantui ketakutan akan amarah Bagio yang sudah meledak.

Bagio yang tak ingin di anggap orang jahat mencoba menenangkan para sandera.
"Tenanglah, bapak-bapak dan ibu-ibu, saya bukan orang jahat dan saya tak akan menyakiti kalian, saya hanya ingin istri saya sembuh. Dia harus dioperasi dan dokter angkuh ini tak ingin melakukannya tanpa uang. Jadi, saya harap kalian semua rela menjadi sandera saya selama isteri saya dioperasi"

Sang dokter pun yang juga tak kalah takut, langsung kembali memasuki ruang istri Bagio yang di mana istrinya masih tak sadarkan diri dan terbujur lemas. Bersama dengan dua suster yang membantunya, operasi dimulai. Keadaan menjadi tegang. Baik untuk Bagio, sang dokter, dan para sandera. Semua tak ada yang tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

M. Fathir Al Anfal (2011)

No comments:

Post a Comment