Thursday, November 10, 2011

Boogle City

Dia dilahirkan di kota ini dua puluh tiga tahun yang lalu. Kota yang dahulu sampai sekarang penuh dengan pepohonan rimbun yang mengelilinginya, bagai sebuah kota di tengah hutan. Terdapat sebuah sungai yang membelah kota ini. Sungai yang begitu panjang, bersih, tanpa limbah pabrik. Tak seperti sungai-sungai yang ada di kota-kota besar yang keruh dan penuh sampah. Dahulu waktu ia masih kecil, ia sering sekali mandi di sungai tersebut tanpa rasa gatal ataupun koreng di kaki. Bahkan sampai sekarang, sungai itu tak pernah membawa penyakit untuk warga. Tak pernah ada bencana yang terjadi. Tak ada banjir begitupun tanah longsor. Warganya hidup tentram walau dalam ketertinggalan zaman.

Kini, ia kembali ke kota ini dengan sebuah rencana. Rencana yang ia anggap sangat baik untuk mengembangkan bisnisnya. Misinya adalah memajukan kota ini dan mensejahterakan penduduk kota ini. Kota ini bernama Bugel. Kota kecil yang besar jiwanya. Inilah kotaku. Tempat dimana aku lahir. Kotanya juga. Kami adalah kawan masa kecil, jauh sebelum ia kembali ke sini dari kota besar yang jiwanya kecil itu.

Kami selalu bersama-sama. Main bersama, makan bersama, kadang juga mandi bersama. Tapi lagi-lagi, itu dulu, sebelum dia bersama keluarganya pindah ke sana. Saat terakhir kali kami bertemu, aku memeluknya. Kami terbawa dalam suasana haru dalam pelukan itu seperti yang dilakukan orang dewasa di sinetron ataupun di dunia nyata, padahal saat itu kami masih berumur 9 tahun.


Empat belas tahun berlalu, dia sudah menjelma menjadi orang yang sukses, pandai bicara, dan tentunya pandai berbisnis. Dia tidak lupa denganku saat kembali lagi kemari. Tapi, kami sudah tak sehangat dulu lagi. Dia hanya sibuk dengan rekan bisnisnya dan rencana besarnya. Dia mungkin enggan untuk dekat-dekat denganku lagi yang hanya bekerja sebagai petani saat ini. Tidak seperti dia, pebisnis muda yang juga sukses di bidang arsitektur.

Dia berkata padaku kalau dia sedih dengan keadaan di sini yang masih sama seperti dulu. Dia ingin membesarkan kota ini seperti kota besar yang empat belas tahun ia singgahi. Dia juga berkata kalau rencananya menjadikan kota ini sebagai kota wisata bukan hanya sekedar bisnis belaka, tapi untuk mensejahterkan kami.

Tapi, aku tak bodoh. Bisnis tetaplah bisnis di mataku. Bisnis adalah untuk kepentingan pribadi. Untuk memperkaya diri. Aku berkata seperti itu di depannya. Kami pun bertengkar. Saling melempar argumen. Dia tetep kekeh dengan pendiriannya untuk membangun sebuah tempat wisata besar, bahkan katanya, ini akan menjadi tempat wisata terbesar di negeri ini. "Boogle City", itulah nama dari tempat wisata yang ia rencanakan besar-besaran itu. Dia akan menebang ratusan pepeohonan. Mengusir semua fauna di sini atau mungkin membasminya. Dia begitu ambisius denga rencana besarnya itu.

Hingga akhirnya, aku dan para warga, berkumpul di balai desa. Kami semua muak dan tidak terima dengan rencana yang katanya untuk kami tapi bagi kami adalah sebuah bencana. Malam itu, rapat yang dipimpin kepala desa berlangsung selama 3 jam. Kami pun siap untuk berdemo keesokan harinya.

Kami mendatangi rumahnya yang berada di pusat kota. Dia membangun rumah itu, enam bulan sebelum mengumumkan rencana tersebut. Rumahnya begitu mewah, aku yakin satu-satunya yang semewah itu di kota ini. Bercat biru dan pagarnya saja tingginya mencapai dua atau tiga lipat tinggi tubuhku.

Pagi yang cerah itu, sudah diwarnai dengan spanduk-spanduk penuh coretan kata-kata yang bertujuan mempertahankan kota ini. Kami tidak memaki. Kami hanya ingin kebijaksanaanya. Setelah beberapa lama, ia keluar dengan didampingi beberapa pengawalnya yang kemudia berdiri menjaga pagar. Dia berbicara dari teras halaman rumahnya yang cukup jauh dari kami.

"Ada apa ini semua?", teriaknya.
"Kami ingin kota ini tetap seperti ini. Biarlah kami hidup tenang!", jawab Pak RT juga dengan teriak.
"Tenanglah, warga, ini bukan hanya sekedar bisnis tapi saya sebagai warga sini juga mempunya misi untuk membangun kota ini. Saya lahir di sini!"
"Kami tidak peduli, yang kami inginkan hutan kami tetap hijau. Kami tidak ingin ada penebangan hutan. Bencana akan terjadi bila hutan gundul. Banjir dan longsor akan menghantui kami tiap malam. Kami hanya inginkan kebijaksanaan anda!"
Dia berpikir sejenak, nampaknya dia mulai tergugah.
"Tapi, ini impianku untuk membangun kota ini? bagaimana impianku bisa terwujud?", ujarnya dengan nada agak memelas.
Kami lalu berunding sejenak.
Pak RT pun menjawab, "Anda bisa membangun impian anda jauh di pinggir kota, jangan di pusat kota, agar ekosistem hutan ini tetap terjaga"

Perdebatan terus terjadi. Antara kami dan dia belum ada keputusan padahal kami hanya butuh kebijaksanaannya, bukan untuk berkelahi ataupun bertindak anarkis. Hingga akhirnya, perwakilan kami, Pak RT dan dia berunding di dalam rumahnya hingga keputusan didapat. Aku masih menunggu keputusan muncul. Aku masih menunggu. Begitupun yang lainnya. Semoga saja, tak terjadi suap menyuap di dalam sana, celotehku.

M. Fathir Al Anfal (2011)

No comments:

Post a Comment