Wednesday, November 2, 2011

Setia Tak Setia

Warnet adalah tempat yang tepat bagiku di hari itu untuk mendinginkan hati yang saat itu begitu panas. Bukan karena ruangannya yang ber-AC tapi dari situlah aku bisa mencurahkan panas hatiku kepada dunia. Panas yang kualami bukan hanya sekedar panas akibat surya bara neraka yang menyentuh kulit tapi lebih dari itu. Siang di hari itu yang begitu panas mendadak mendung di sore hari, di saat aku sudah berada di depan layar komputer. Menuangkan perasaan marahku di facebook dan juga twitter.

Tapi, kenapa aku marah dan kenapa hatiku begitu panas? Mungkin kamu ingin tahu atau mungkin kamu tak peduli, lalu pergi begitu saja. Percayalah, aku juga tak peduli. Aku hanya ingin menceritakan apa yang kurasakan. Rasanya sakit hati, rasanya dikhianati, rasanya diselingkuhi, dan semuanya. Aku akan mengenalkan siapa diriku dan mulai mengisahkan kisah pedih yang mungkin pernah kamu alami juga ini, tak peduli kamu ingin mengetahuinya atau tidak. Sekarang, pilihan ada di tanganmu.


Namaku Farhan. Muhammad Farhan. Aku tak tampan, tak kaya, juga tak jenius tapi aku punya segudang cinta yang entah harus kuberi kepada siapa. Tiga bulan yang lalu, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah bioskop. Kami berkenalan dan berbincang-bincang. Ternyata, kami menyukai film yang sama dan aktor yang sama. Kami pun memiliki banyak kemiripan seperti sama-sama orang jawa atau sama-sama menyukai puisi. Dan yang terpenting, saat itu, kami sama-sama sedang jomblo. Dia mengaku kalau dia baru saja diputuskan pacarnya. Itulah yang membuat kami cepat menyatu.

Namanya Setia. Setianingrum. Dia cantik, putih, langsing, namun tidak terlalu tinggi. Tapi, aku justru suka perempuan yang lebih pendek dariku karena aku pun juga tak terlalu tinggi. Aku akan malu bila memiliki kekasih yang lebih tinggi dariku, terlebih lagi bila berjalan di tempat umum. Rambutnya begitu indah, seperti bintang iklan sampo merek tertentu. Saat pertama kali bertemu, dia menggunakan kaos, jaket, dan juga rok kain sepaha. Hal itu langsung memberi kesan pertama kepadaku bahwa dia adalah perempuan yang feminim dan seksi bukan perempuan tomboy, yang menurutku, menyalahi kodrat mereka sebagai seorang perempuan. Tapi, memang tak bisa kupungkiri kalau aku menyukai perempuan-perempuan yang feminim dan seksi. Saat itu, aku langsung memberikan segudang cintaku (yang awalnya aku tak tahu harus kuberi kepada siapa) kepadanya.

Hari berganti hari, setelah bertukaran nomer Handphone, kami semakin dekat. Pada suatu kesempatan, di malam minggu yang begitu cerah, aku mengajaknya berkencan. Bahkan, aku harus membongkar celenganku demi memberi kesan mewah kepadanya. Betapa bodohnya diriku tapi aku terlambat menyadari. Di malam yang romantis dan melankolis itulah, aku mengutarakan cintaku kepadanya dan berharap bisa menjadi pacarnya. Tak kusangaka, dia menerimaku. Dalam khayalku, aku langsung dibawa terbang oleh merpati putih hingga ke atas awan dan berbaring disana. Ah, begitu nikmatnya. Kami pun resmi jadian di hari itu dan dia resmi menjadi cinta sekaligus pacar pertamaku. Aku berharap dia akan setia sesuai namanya dan ia pun berjanji akan setia.

Satu bulan berlalu, belum ada masalah, kami masih baik-baik saja. Dua bulan terlewati, nampaknya ada sedikit masalah. Aku tak tahu kenapa. Dia seperti bosan denganku. Aku memang pria yang membosankan tapi tak seharusnya dia seperti itu karena dia tahu aku benar-benar mencintainya. Aku mengorbankan banyak waktu untuknya. Pergi kesana-kemari, berbelanja ke mall, melihat konser ini-itu. Aku begitu lelah tapi dia sama sekali tak melihat peluh ini.

Aku bertanya kepadanya, "Kamu kenapa? kamu bosan sama aku?"
Aku memang orang yang to do point, karena aku ingin semuanya cepat beres, aku tak ingin masalah sepele menjadi besar sebelum diselesaikan.
Dia menjawab, "Aku biasa saja, aku juga tak bosan, dan aku masih setia sama kamu"
Dia tersenyum padaku, sangat manis. Senyumnya seakan membiusku, membuatku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku pun mempercayainya.

Tapi, akhirnya, inilah konfliknya! Pada suatu siang, aku memergokinya sedang berduaan dengan mantan pacarnya di pinggir danau. Ah betapa hancur hati ini! Dia yang bodoh karena masih menerima mantan pacarnya yang sudah jelas-jelas menyakitinya itu atau aku yang bodoh karena tak menyadari kalau selama ini hanya menjadi pelarian?

Dia mencoba minta maaf tapi aku tak bisa memaafkannya saat itu, tapi saat ini aku sudah memaafkannya dan aku berusaha untuk melupakannya. Mantannya memang jauh lebih tampan daripada aku. Tak heran, bila ia ternyata masih mencintainya, dia pun mengakuinya.
"Kalau kau masih mencintainya, untuk apa kau mau menjadi pacarku? Aku lelaki, punya harga diri. Perempuan selalu menganggap lelaki tak punya harga diri, playboy, dan baji****, tapi aku tak begitu! Aku sudah setia denganmu tapi kau malah mempermainkanku! Sekarang kau puas kan? pergi saja dengan mantanmu dan ingat, kalau kau sakit hati lagi, jangan datang kepadaku!", ujarku setelah ia mengakui semuanya dan itu adalah ucapan terakhirku kepadanya.

Siang yang begitu panas itu, terasa tambah panas. Aku lalu menuju warnet. Seperti kataku tadi, warnet adalah tempat yang tepat bagiku di hari itu untuk mendinginkan hatiku yang panas. Aku langsung mencurahkan pedih hatiku di facebook dan twitter yang ternyata mendapat banyak simpati dari rekan-rekan di dua situs dunia maya tersebut. Setidaknya, dukungan semangat dari mereka sedikit bisa membuat hati ini dingin.

Tiga puluh menit telah berlalu, aku makin asyik curhat di depan layar komputer. Namun, di luar, hujan telah turun dan begitu deras, bahkan sesekali terdengar suara petir yang bergemuruh di atas sana. Aku tak peduli tapi tiba-tiba, jaringan internet terputus! Ah, kesialanku di hari itu ternyata belum berakhir. Aku jadi makin panas.

M. Fathir Al Anfal (2011)

No comments:

Post a Comment