Monday, October 31, 2011

Untuk Dia Yang Merasa Gila

Memangnya siapa dia?
Menganggap dirinya gila.
Ketahuilah!
Aku jauh lebih gila.
Gila yang segila-gilanya gila.

Gila harta!
Gila kuasa!
Gila wanita!
Gila dunia!

Kurang gila apa?

M. Fathir Al Anfal (2011)

Sunday, October 30, 2011

Pesan Seorang Pria Tua

Entah siapa pria tua itu. Nama, asal, semuanya, aku tak tahu. Mungkin saja dia malaikat yang menyamar jadi manusia seperti kisah zaman Nabi di buku-buku islami. Mungkin juga orang gila yang mampu berkata-kata dengan bijaknya. Tapi, apa mungkin orang gila bisa berkata bijak dan memiliki pandangan atau cara berpikir yang seperti kaum intelek?

Ucapannya terus terngiang di otakku. Seakan memaksaku merenung dalam sepinya malam.

Sejak kecil, aku selalu bercita-cita menjadi seorang artis papan atas -minimal di Indonesia sajalah- yang dikenal dan dikagumi banyak orang. Punya uang banyak dan main gila dengan banyak wanita. Tentunya, pikiran tentang "main gila" itu baru muncul setelah aku beranjak dewasa dan mengetahui sisi lain menjadi seorang artis. Namun, cita-cita itu segera menjadi renungan setelah aku bertemu pria tua itu.

Kemarin, di sebuah pemakaman umum di dekat rumahku, ada syuting sebuah film yang katanya akan rilis di bioskop akhir tahun nanti. Aku yang sebagai calon artis pun, lantas tak ingin ketinggalan melihat proses syuting film yang disutradarai oleh sutradara terkemuka di negeri ini serta dibintangi oleh wajah-wajah yang sudah tak asing menghiasi layar TV kita. Bahkan aku rela membolos sekolah demi memenuhi keinginan hati.


Cinta Jedag-Jedug (eps.1)

Pagi itu, di kantin sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di LA (Lenteng Agung), dua orang sahabat berbeda kelamin sedang asyik berbincang.
Rey: "Pagi jeng!" (sambil menepuk bahu Ajeng lalu mengamati raut mukanya), suntuk sekali kau, kenapa kau ini?"
Ajeng: "Ya begitulah, aku sedang bingung memikirkan tugas dari Pak Abdullah. Banyak sekali! Kamu mau bantu aku?"
Rey: (mengelus dada) "Bisa diatur, wani piro?" (Tersenyum licik sambil memainkan jarinya -melambangkan uang-)
Ajeng: "Huh, setengah Rupiah saja ya?" (Tertawa kecil)

Tiba-tiba, seorang perempuan cantik, secantik aktris papan atas Korea, lewat di depan mereka. Wajahnya begitu putih dan mulus. Badannya langsing, tinggi, dan seksi. Rambutnya hitam panjang terurai. Ia kibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri saat melewati mereka. Seakan menyela pembicaraan mereka dan membuat Rey menganga lalu berlalu begitu saja.
Ajeng: "Woi! Melihatnya biasa saja kali, seperti baru pertama kali melihat perempuan saja seumur hidup"
Rey: "Melihat perempuan sih setiap hari, tapi yang cantiknya subhanallah seperti dia itu dan live ya baru sekali ini. Kira-kira, siapa ya namanya?"
Ajeng: "Namanya Merry. Dia memang perempuan tercantik di sekolah ini. Tidak heran kalau banyak laki-laki yang naksir sama dia tapi ada satu yang paling ambisius sampai-sampai tak ada yang berani mendekati Merry karena dia. Namanya Rifky"
Rey: Kamu tahu darimana semuanya? Terus Rifky itu siapa? Terus perasaan Merry ke Rifky bagaimana?"
Ajeng: "Aduh Rey, kalau bertanya itu satu-satu! Sudah pusing tambah pusing aku. Lagian kamu kemana saja sampai tak tahu menahu tentang mereka berdua?"
Rey: "Yasudah, aku minta maaf, aku kan masih baru disini, tapi jawablah pertanyaanku, oke?" (Tersenyum manis)
Ajeng: "Intinya, jangan main-main sama Merry deh kalau tidak mau berurusan sama Rifky. Tapi, Merry sendiri sebenarnya juga tidak mudah didekati bahkan oleh Rifky sekalipun. Waktunya banyak dihabiskan dengan baca novel. Kurang lebih begitu. Apa informasi itu cukup untukmu?" (Melotot ke arah Rey)
Rey: (Hanya mengangguk)

                                                              ***

Saturday, October 29, 2011

Di Ambang Pintumu

Ketika malam datang
Kau terlelap di atas ranjang
Aku menjaga di ambang pintumu.

Kala fajar membias
Kau bersiap bergegas
Aku masih di ambang pintumu.

Doa dan cinta ini berpadu
Melingkari setiap langkahmu
Hingga kemerahan di langit biru
Aku menunggu di ambang pintumu.

Masihkah kau sengaja buta?


Thursday, October 27, 2011

Api Yang Tak Kunjung Padam

Dia teringat sebuah malam
Di mana api itu berkobar sebulan yang lalu
Api yang membakar hingga ke ujung tali
Api yang tak kunjung padam
Meski hujan turun

Di sisi bumi yang gelap
Pengap
Di tengah sinar pudar bulan
Sedan
Aku menyaksikan sebuah pedih hati
Sahabatnya telah pergi

Mengapa api itu ada di saat jutaan orang
Mencuci bersih segala kebencian
Di dada?
Dia makin pilu
Membisu
Seperti batu


Wednesday, October 26, 2011

SAWO episode 1

"Aaaaaaaaa! ada mayat! ada mayat!", teriak seorang wanita paruh baya yang hendak ke pasar sambil menutupi matanya dan berlari ketakutan, mendengung di telinga setiap warga yang mendengar, mengacaukan waktu tidur mereka di pagi yang masih buta di desa itu. Sontak, mereka berhamburan dari rumah menuju kebun Sawo di pinggir desa untuk mengerumuni jasad pria yang ternyata dikenali sebagai Bejo, pemabuk sekaligus penjudi di desa itu. Jasadnya masih segar. Darah yang berceceran pun belum terlalu hitam dan pekat.

Desa Sawo yang dulu tentram kini kian mencekam. Ini bukan pembunuhan yang pertama. Lima hari yang lalu, Joni, yang juga merupakan teman Bejo ditemukan tewas di kontrakannya. Salah satu warga segera menelepon polisi dan beberapa warga lainnya bergegas ke rumah Pak RT untuk melaporkan hal ini.


Puisi Rumpang

Dulu miskin, sekarang tambah miskin.
Dulu kaya, sekarang tambah kaya.
Dulu korupsi, sekarang (.....)

Sekali kuning, tetap kuning.
Sekali merah, tetap merah.
Sekali biru, (.....)

Di sini bisu, di sana bisu.
Di sini tuli, di sana tuli.
Di sini bencana, di sana (.....)

Kamu inginkan jawaban?
Sesungguhnya aku pun demikian.

M. Fathir Al Anfal (2011)