Saturday, April 14, 2012

Aku, Dian, dan Misteri Sepatu & Kunci yang Hilang

foto: google.com


Selasa, 10 April


Seperti hari-hari yang lain yang telah lalu semenjak aku menjadi penghuni gelap Asrama UI dan terlibat kasus hilangnya HP & PSP itu*, aku selalu bangun lebih awal ketimbang sahabatku, Nur Diansyah. Hari itu sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit dan tanpa ba-bi-bu atau membangunkan Diansyah, aku langsung membuka lemari dan mengambil gayung berisikan sikat gigi, sabun, pasta gigi, dan pelembab. Lalu dengan langkah gontai karena mata masih merem-melek, aku membuka pintu dan alangkah terkejutnya saat aku menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang. Sepatu Dian hilang!

"Dian, sepatumu hilang!" teriakku sambil menggoyang-goyangkan badannya.
Sekejap dia lalu membuka matanya dan matanya seakan menanyakan kembali apa yang barusan aku katakan.
"Sepatumu hilang," ulangku.
"Apa?" ujarnya kaget. Dia langsung menarik sarung yang dijadikan selimutnya itu dan melongok ke luar.
"Tapi kok sepatumu ada, Thir?"
"Entahlah, mungkin karena sepatumu baru dicuci hari Minggu yang lalu jadi masih terkesan baru. Nah, sepatuku saja masih kotor."
"Ah, sial! Sialan maling-maling itu! Waktu itu sendal dan sepatu Yusuf juga hilang beberapa minggu yang lalu. Sekarang giliranku!"
"Sabar, sabar, aku rasa pelakunya sama dan mungkin dengan modus yang sama."
"Ya, dia pasti langsung menjualnya!"
"Mungkin, tapi belum tentu. Bisa jadi pelaku kita ini memiliki suatu penyakit yang mana dia memang senang mengambil barang orang lain."
"Apa? Orang gila macam apa itu?" mukanya makin memerah.
Aku hanya mengangkat bahu.
"Dia pasti akan berulah lagi dalam waktu dekat ini. Pasti. Menurutmu siapa?" tanyanya lagi.
"Semua punya kans untuk duduk di kursi pelaku, Diansyah. Tetanggamu di lantai tiga ini, baik itu Rifky, Algor, atau siapa saja bisa menjadi pelaku, kecuali Yusuf, karena dia sendiri adalah korban. Penghuni asrama yang ada di lantai atau gedung lain, atau OB, atau pula satpam, semua berpeluang. Kita hanya perlu bukti untuk menguatkannya. Bila perlu kita harus menjebaknya." jawabku bergaya detektif handal.

Semenjak keseringan membaca novel-novel misteri karya S. Mara Gd, aku memang bertingkah detektif seperti Gozali, tokoh detektif kepolisian di dalam novel-novel misteri tersebut yang jika dibilang sesuai dengan diriku, baik dari penampilannya maupun sifat dan sikapnya. Dan dengan hilangnya sepatu Diansyah ini adalah langkah awal bagiku untuk mewujudkan obsesi aneh tersebut. Obsesi untuk memecahkan sebuah misteri atau kasus kejahatan. Aku tertawa dalam hati.
"Ya sudah, mandi dulu kau. Sudah jam tujuh lewat lima menit."
"Lalu kau nanti berangkat kuliah pakai sepatu apa?"
"Aku punya sepatu dua. Satu lagi ada di kamar Fuad. Nanti bisa kuambil."
Aku mengangguk dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sambil mandi, pikiranku melayang memikirkan siapa orang di balik semua ini.

                ***


Jum'at, 13 April


Setelah dua malam tak menemui hasil, Jum'at malam, aku dan Diansyah memutuskan untuk tidak tidur di kamar kami, tapi mengikuti ajakan Jalal untuk berkemah sekaligus bermalam di hutan UI lalu keesokan paginya memungut sampah-sampah yang berhamburan di pinggir-pinggir danau UI yang benar-benar tak sedap dipandang mata.

Diansyah baru datang saat aku dan Jalal selesai membuat tenda. Malam itu sudah pukul sebelas malam. Dia membawa botol Aqua di tangan kanan dan dua buah bantal di tangan kiri yang ia pepetkan dengan pinggangnya. Dia lalu duduk karena terlihat sangat letih.

Setelah itu, kami bertiga bersenda gurau sambil menikmati indahnya malam. Bernyanyi dan juga berdebat mengenai masalah ini-itu. Sorot lampu dari pos penjaga di seberang danau sebelah sana yang dijadikan tempat bermain golf sempat mengarah ke arah kami dan kami melambaikan tangan sebagai tanda bahwa kami hanya berkemah di sana. Lalu sebuah perahu nelayan juga melintas di depan kami yang kemudian menyorotkan senter ke arah kami seakan menyapa kami meski wajah si pencari ikan tersebut sama sekali tak terlihat. Sekitar pukul dua malam, kami semua baru mulai beranjak tidur.

                  ***

Monday, April 9, 2012

Sayembara Menulis Novel DKJ 2012


Ketentuan Umum
  • Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
  • Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
  • Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
  • Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
  • Tema bebas.
  • Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya).
Ketentuan Khusus
  • Panjang naskah minimal 150 halaman A4, spasi 1,5, Times New Roman ukuran 12.
  • Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap pada lembar tersendiri, di luar naskah.
  • Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:
Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2012
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta 10330
  • Batas akhir pengiriman naskah: 30 Agustus 2012 (cap pos atau diantar langsung).
Lain-lain
  • Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada bulan Desember 2012.
  • Hak Cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
  • Pajak ditanggung pemenang.
  • Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2009-2012 dan keluarga inti Dewan Juri.
  • Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id.
  • Dewan Juri terdiri dari kalangan sastrawan dan akademisi sastra.
Hadiah
Pemenang utama
Rp.
20.000.000
Empat unggulan
@Rp.
4.000.000
Jadwal
Publikasi Maklumat Maret 2012
Pengumpulan karya : April—Agustus 2012
Penjurian : September—November 2012
Pengumuman pemenang Akhir Desember 2012

Friday, April 6, 2012

Jasad Seorang Pahlawan Devisa

foto: google.com

(I)
Hengkang jauh, tinggalkan Tanah Ibu Pertiwi
Mengejar bayangan abu-abu
Berharap memangku bulan di negeri orang

Namun, harapan itu menjadi harap
Perih getir adalah keseharian
Was-was dalam ketakutan
Rindu sanak saudara tak terobati

Kau bagai ladang bagi mereka
Kucuran keringatmu laksana mutiara untuk mereka
Kau upeti bagi penguasa
Senantiasa

Tetesan air matamu tak sebanding
dengan nama besarmu,
Pahlawan Devisa.

(II)
Bertahun sudah

Jasadmu kembali di Tanah Ibu Pertiwi
Tidak dengan roh-mu, yang entah kemana

Dirampas oleh oknum gila!

Jasadmu tanpa noda darah, setetespun
Senyum tak kentara
Wangi tak tercium

M. Fathir Al Anfal (Maret 2012)

Alhamdulilah, puisi ini masuk 100 besar lomba puisi TKI  yang diadakan Umahaju Publisher bulan Maret lalu. Info selengkapnya:
http://umahaju.blogspot.com/2012/04/100-besar-lomba-puisi-tki.html#more