Friday, January 20, 2012

Ketika Sesorang Berada di Atas

Ada dua kemungkinan ketika seseorang berada di atas. Pertama, dia bisa melihat apa saja yang ada di bawah atau dia takkan pernah memandang apa saja yang ada di bagian bawah dan hanya memilih ke depan; melihat pemandangan yang dari jauh begitu jelas dan indah bila dilihat dari atas.
foto: google.com

Mawar tiba-tiba menarik tanganku yang dingin di pagi itu, pagi yang dingin dan sunyi, di sekolah, karena jam pun baru menunjukkan pukul 6.15 tapi aku sudah ada di sana sejak 15 menit yang lalu. Ya, karena sekolahku hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.

Aku pasti selalu jadi salah satu orang yang suka datang lebih awal termasuk Mawar, sahabatku yang lama-kelamaan mulai aku cintai. Aku tak pernah menduga, kalau hal konyol yang kukira hanya ada di sinetron-sinetron itu bisa terjadi padaku juga. Seseorang yang jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri karena terlalu dekat.

"Mau kemana?" tanyaku kepadanya saat ia menarik tanganku.
Ia lalu tersenyum begitu manis. "Sudahlah ikut saja."

Aku tak bisa menolak ajakannya. Dia adalah perempuan yang unik dan juga "cuek". Pernah suatu ketika, di Perpustakaan saat ramai orang, dia dengan cuek-nya makan siang di tempat itu yang sudah ia siapkan sebagai bekal dan uniknya lagi ia makan dengan menggunakan tangannya langsung tanpa sendok, garpu, apalagi sekop. Aku bertanya kepadanya: "Kamu tidak malu, War?". Lalu dia menjawab: "Untuk apa malu? Aku melakukan apa yang aku suka. Jika orang  tak suka, ya itu urusan orang."

Sebuah ketegasan yang luar biasa dari seorang perempuan menurutku. Di zaman sekarang, perempuan lebih suka meniru jadi orang lain, terlebih artis idolanya; menjadi putih seperti mereka, langsing, dan sebagainya ketimbang menjadi diri sendiri yang sesungguhnya. Mereka lebih suka bersandiwara dengan topeng yang menutupi muka asli mereka atau dengan tangan yang tembus pandang. Tidak seperti Mawar, yang manjalani hidup apa adanya. Tersenyum apa adanya dan mencinta apa adanya.

Aku masih dibawa olehnya. Entah malaikat kecil apa yang merasukinya hingga ia begitu bersemangat. Aku terus diajak menaiki tangga sekolah hingga berada di balkon.


"Untuk apa kita ke sini?" tanyaku padanya.
Dia tak menjawab. Dia merentangkan kedua tangannya di samping tubuh indahnya sambil memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menghajarnya dari arah timur yang mengangkat helai-helai rambutnya yang tak sanggup melawan. Sungguh makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah.

Dia lalu membuka matanya dan menatap ke bawah. Beberapa murid dan guru sudah berdatangan.
"Kau lihat? Kalau kita ada di atas, kita bisa melihat siapa saja yang ada di bawah," ujarnya.
"Lalu?"
"Aku ingin berada di atas agar aku bisa melihat siapa saja dan mereka semua bisa melihat aku. Aku ingin jadi orang besar, terkenal, dan berada di atas."

Angin sepoi-sepoi seakan meng-amin-kan perkataannya, membuat suasana seakan mendung.
"Kalau kau bagaimana?" tanyanya balik.
Aku terdiam tak mengerti.
"Maksudku cita-citamu. Apa kau ingin menjadi terkenal juga dan berada di atas?"
"Ya, tapi yang terpenting aku bahagia walau aku tak jua bisa sampai ke atas."

Dia mendekatiku, merangkulku, lalu membisikkan kata-kata kepadaku, "Kita akan sukses, kita bersama, dan kita berada di atas, melihat ke bawah dan mengajak yang di bawah untuk mendaki hingga sampai di atas."
"Tapi...."
"Tapi apa?" tanyanya dengan nada agak naik.
"Tapi bagaimana kalau kenyataannya lain. Ada dua kemungkinan ketika seseorang berada di atas. Pertama, seperti yang kau bilang tadi, tapi yang aku takutkan kau menjadi yang kedua, yaitu tak peduli dengan apa yang ada di bawah dan hanya peduli dengan pemandangan indah yang dapat kau lihat dengan jelas dari atas sini," ujarku sambil menunjuk Gunung Salak yang terlihat dari sana.

"Jadi, maksudmu, aku akan jadi kacang yang lupa dengan kulitku?"
Dengan muka yang seakan tersiksa, aku mengangguk-angguk. Dia menghela nafas lalu mengajakku duduk sambil memandang Gunung Salak yang menjulang di ujung sana.
"Tenanglah, kau tahu aku dan kau tahu aku takkan berubah. Bunuhlah aku jika aku berubah."
"Aku takkan tega membunuhmu," ujarku pelan.

Lalu dia tersenyum yang kemudian kubalas dengan senyum. Kami saling pandang dan tiba-tiba getaran itu terjadi. Aku memandang bibirnya yang seksi, begitu pun juga dia yang memandangi bibirku. Di pagi buta yang masih sunyi itu, kami pun berciuman. Itu adalah ciuman pertama kami. Dan biarlah kami dan Tuhan yang tahu karena ini akan selalu menjadi rahasia. Selalu. Sampai Tuhan memanggil kami.

                       ***

Tapi itu dulu, sepuluh tahun tahun yang lalu. Kini, ia benar-benar menjadi sukses sebagai artis papan atas dan pernah memenangkan audisi Putri tercantik di negeri ini. Sedangkan aku, hanya menjadi asissten sutradara di sebuah rumah produksi film yang tentunya kalah jauh pendapatannya dengannya.

Sebagai assisten sutradara, aku kerapkali bertemu dengannya karena dia juga bermain di sinetron produksi kami. Kerapkali juga aku mencoba mengajaknya berbicara tapi selalu gagal hingga malam ini, beberapa menit yang lalu, di ruang peralatan yang sepi dan tinggal kami berdua.

"Kenapa sih kamu berubah? Kamu lupa dengan kata-katamu dulu?" bentakku.
"Kata-kata apa?" tanyanya balik dengan heran.
"Jika kau berada di atas, kau akan emlihat ke bawah dan kau sudah berjanji."
"Ya, lalu apa salahnya melanggar janji? Mungkin aku khilaf telah berkata seperti itu. Mana ada orang yang sudah ada di atas mau melihat ke bawah? Kalau pun ia melihat ke bawah, itu pun kalau di bawah sedang banjir. Kau mengerti kan?"
Aku menarik nafas, tak percaya dengan jawabannya.

"Lalu hubungan kita?" tanyaku lagi.
"Hubungan? Kau dan aku tak pernah mulai jadi tak ada akhir. Paham?"
"Apa katamu? Kau juga lupa dengan ciuman kita?"
"Itu masa lalu. Lagipula ciumanmu tak lebih baik dari ciuman-ciuman pria lain. Dan satu lagi, lupakan hubungan kita di masa lalu. Karena itu sampah buatku."

Dia lalu berbalik badan, perlahan meninggalkanku yang kini mulai tersulut amarah.
Tiba-tiba sesuatu, entah apa itu, membisikkanku berkali-kali, "Bunuhlah aku jika aku berubah! Bunuhlah aku jika aku berubah! Bunuhlah!"

Dengan khilaf dan sesuatu yang setengah kusadari, aku mengambil balok, yang ada di sampingku. Lalu sebelum ia membuka pintu ruangan, aku memukulnya hingga ia terjatuh dan kepalanya bersimbah darah. Saat itulah, aku tersadar. Aku telah membunuhnya. Kepanikan melandaku. Ditambah penyesalan yang berlipat-lipat. Perasaanku bergejolak; bagaimana mungkin aku bisa membunuh orang yang aku cintai?

Aku lalu menyimpan tubuh kakunya di dalam kotak kayu berukuran 200 cm x 100 cm x 100 cm yang ada di ruang peralatan tersebut. Aku menangisi mayatnya, aku cium untuk terakhir kalinya dan meminta maaf kepadanya, namun ia hanya diam membisu seakan tak ada kata maaf baginya. Tapi, apakah Tuhan juga tidak akan memaafkanku?

Dengan perasaan berdosa, aku meninggalkan ruangan itu dan mencoba berlari dari dosa yang sampai sekarang masih mengejarku. Belum lagi jika polisi ikut-ikutan mengejarku. Tapi, selama kasus pembunuhan ini belum diketahui dan polisi belum menangkapku, biarlah aku berlomba lari dengan dosa ini dan hanya aku dan Tuhan saja yang tahu karena ini akan selalu menjadi rahasia. Selalu. Sampai dosa ini menyusulku.

M. Fathir Al Anfal (Januari 2012)

No comments:

Post a Comment