Wednesday, January 4, 2012

Mengejar Bikun, Mengejar Cinta

"Apa makna kebetulan menurutmu?" tanyaku kepada temanku, Nur. Dia diam sejenak seakan bertanya 'kenapa?'. "Aku membaca novel Dadaisme karya Dewi Sartika dan di novel ini, ia menyuguhkan banyak 'kebetulan' di dalamnya. Aku hanya ingin tahu makna kebetulan darimu?", tambahnya lagi. "Menurutku, kebetulan itu memang sesuatu yang tak terduga dan tak sengaja terjadi, tapi bukan berarti kebetulan tak bisa dicapai dengan sengaja kan?" dia balik bertanya dengan mata yang penuh cahaya seperti namanya. Aku tak bergeming karena ketidakpahaman. "Terkadang kebetulan juga harus dicapai agar kebetulan itu benar-benar terjadi, karena sesungguhnya Tuhan tahu, tak ada yang namanya kebetulan." tegasnya.

 Foto: Bikun (Bus Kuning) UI (kiri). Kedua-duanya diambil dari google.com dan diedit di pizap.com


Yah, dia memang jago sekali berfilsafat, maklum saja, dia adalah Mahasiswa Universitas Indonesia, Program Sudi Filsafat. Terkadang aku tak paham atau mungkin tak peduli dengan segala celoteh dan tetek-bengek yang ia jabarkan berdasarkan teori-teori para filsuf Yunani, Soccertes atau Pohon Tales -entahlah siapa namanya itu- yang sedikit aneh dan membingungkan.

Sedangkan aku, mahasiswa universitas yang sama, hanya saja aku dari Program Studi Sastra Indonesia, lebih menyukai berceloteh dalam puisi, cerpen, dan segala jenis sastra, terlebih dalam hal cinta. Hanya untuk mencurahkan jiwa melankolis yang -kata buku tes kepribadian- terdapat pada diriku. Kelebihanku yang lainnya adalah berkhayal, berangan-angan, membayangkan seorang wanita datang dengan cinta yang tulus dan rela berdiri di ambang pintu hanya untuk menunggu aku bangun dari tidurku dan bunganya yang tak harum.

"Bagaimana Nada-mu?" tanyaku padanya.
"Tak ada harapan. Dia makin menjauh, Fer. Tadi saja di kantin, kami hanya saling pandang tanpa bicara seperti lagunya Evo -nama sebuah grup band Indonesia-," jawabnya dengan nada cukup menyentuh.
"Kau sendiri bagaimana dengan Livia?" tanyanya balik.
"Kau tak ada harapan, aku tak ada kemajuan. Aku ini lelaki bukan sih? Mendekati perempuan saja, aku tak bisa. Aku malah berkhayal perempuan yang datang padaku. Ah, hidup memang terkadang kejam!" jawabku dengan sedikit lampiasan perasaan.

"Hidup tak kejam, kawan. Buat apa Tuhan menaruh kita di Bumi, bukan di planet-planet yang lain? Karena Dia tak kejam untuk memberikan kehidupan yang kejam, dia tak ingin kita berada di Merkurius untuk mati terbakar, Dia juga tak ingin kita ada di Saturnus untuk mati konyol tanpa adanya oksigen. Jadi, hidup tak kejam. Manusia-manusia tanpa syukurlah yang membuatnya menjadi kejam. Seharusnya kita bersyukur, kawan!" ujarnya dengan begitu bijak dan kharismatik.

"Kau memang benar. Kalau bicara soal Tuhan, rasanya aku ingin ia memberikan aku sebuah kebetulan untuk bertemu dengan Livia, entah itu di mana, dan bisa berbincang-bincang dengannya," lirihku pelan.
"Amin, Insya Allah, Dia akan mengabulkannya. Tapi, ingat, kau juga harus berusaha untuk mencapainya!"

                     ***
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Hari yang begitu panas ini, serasa makin panas saat perutku sudah mulai berdemonstrasi, menuntut kesejahteraannya. Okelah, aku menuju Kansas (Kantin Sastra) -Kantin FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya)- untuk memenuhi tuntutan perut yang jika ditolak akan menjahit usus, ah itu sangat sakit.

Seperti biasa, aku memilih kantin langgananku.
"Biasa ya, Mas?" tanyanya seperti sudah hafal.
"Ya, di meja biru ya?"
Dia hanya mengacungkan jempolnya dan senyum yang khas, senyum rezeki.

Tak lama berselang, pesanan datang. Aku tak perlu menyebutkan menu yang akan kusantap ini, takut ada yang ngiler, jadi biarlah ini menjadi rahasiaku dan Tuhanku.

Sedang asyik makan, sebuah SMS masuk. Aku membukanya. Tertulis: "From: Saw Nur" di layar HP-ku lalu kubaca SMS-nya.

"Cuy, Livia ada di Bikun. Kau masih ingat perbincangan kita semalam kan? Ini yang namanya 'kebetulan harus dicapai'. Kalau kamu benar-benar berniat mengejar cinta kamu, kejarlah Bikun ini. Bikun nomer 9, sekarang lagi di Teknik dan menuju Stasiun."

Membaca SMS 'gila' itu, benar-benar membuatku menghentikan makan siangku waktu itu. Tak peduli keadaan perut yang masih memproses jalannya makanan, aku langsung menegak sedikit air putih dan berlari menuju halte FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) yang jaraknya lumayan jauh dari FIB dan butuh sedikit keberuntungan serta 'invisible hand' agar tepat waktu. Kenapa aku memilih Halte FKM? Karena aku tahu, dia pasti akan turun di Halte Pocin (Pondok Cina) dan aku harus naik Bikun itu di halte sebelum halte Pocin dan yang terdekat adalah objek dari pertanyaan di atas.

Dengan tas yang isinya cukup berat, aku terus berlari. Terkadang berhenti sejenak untuk menghela nafas dan berlari lagi. Anggaplah olahraga. Jarang-jarang aku berolahraga, mungkin sebulan sekali atau  maksimal tiga kali.

Rintangan pertama, saat aku melewat Perpus UI. Ini lebih cenderung ke rintangan yang menghujat batin. Ah rasanya ingin berlari kesana terlebih dahulu, tapi waktu tak mencukupi. Setiap hari, aku selalu ke Perpus UI -yang katanya Perpustakaan Terbesar di Dunia- untuk menikmati layanan internet gratis di ruang yang orang bilang ruang i-mac atau i-mag -entah bagaimana tulisannya- tapi aku menyebutnya 'Ruang kebun Apel'.

Langkah yang cepat, tak terasa sudah membuatku melalui dunia ketigaku itu. Kata salah seorang temanku, duniaku ada empat. Dunia rumah, dunia kuliah, dunia Perpus UI, dan dunia maya. Ah, sudahlah lupakan saja, itu tidak penting -hanya selingan-. Yang penting, aku terus berlari dengan sekuat tenaga.

Sesampainya di bundaran Rektorat, rintangan batin kembali menghantamku. Di sana adalah tempat dimana aku dulu bisa melihat ia lebih dari sepuluh kali sehari. Tempat aku dan warga Sastra Indonesia berlatih PK (Petang Kreatif) 2011 yang akhirnya kami menangkan di posisi ketiga. Sungguh, kenangan yang takkan terlupakan. Benar-benar indah.

Aku masih terus berlari, melewati segala kenangan yang sempat singgah sejenak di otakku. Aku tak menduga, aku sudah hampir sampai Halte FKM. Namun, tiba-tiba seorang teman saat masa OBM (Orientasi Belajar Mahasiswa), Eva, berpapasan denganku. Aku sangat tidak enak hati, bila tak menyapa atau sedikit mengobrol dengannya.

"Ferdy kan, teman OBM-ku?" tanyanya lembut.
"Iya, Eva, eh bagaimana kabar kamu? Sukses di FKM?" tanyaku balik dengan penuh senyum.
"Aku baik, kamu? Kalau sukses sih belom, tapi itu akan."
"Bukan sekedar akan, tapi pasti. Kita pasti sukses."
Dia mengaminkan lalu kembalu bertanya, "Kamu sendiri bagaimana? Sudah jadi penulis?"
"Ya, penulis buku sih belom, tapi di blog sudah," jawabku sambil tertawa kecil.
"Oh, kamu punya blog? Apa namanya? Nanti aku follow deh."
"Celoteh Dalam Sastra: celotehkegalauan.blogspot.com," jawabku.
"Hah? Ciee, celoteh kegalauan. Hobi nge-galau ya, mas?" ledeknya.
Aku tersenyum, lalu berkata: "Oh, ya sudah, aku lagi buru-buru nih, amu mengejar sesuatu."
"Oh, yaudah terima kasih ya. Kejar sana cintamu."
Dalam hatiku aku berkata kalau memang itu yang sedang aku kejar. Kulepaskan senyum terakhirku kepada Eva dan aku pun kembali berlari menumpaskan misi -nyaris tak masuk akal- ku ini.

Tepat sekali! Sampai di Halte FKM, secara bersamaan, Bikun nomer 9 yang sudah direncanakan sebelumnya datang. Aku mencoba menghapus keringatku agar tak ketahuan habis lari-larian. Pintu depan dan belakang Bikun terbuka dan aku masuk lewat pintu depan seakan-akan tidak tahu. Aku melihat Nur, temanku, duduk di bagian belakang bus dan hanya melambaikan senyumnya kepadaku yang aku balas dengan senyum keberhasilan.

Aku lalu melihat pujaan hatiku, Livia, duduk dengan begitu santai. Secara kebetulan juga, tempat duduk di depannya kosong dan aku duduk tepat di depannya.

"Eh Ferdy, kok dari FKM?" tanyanya.
"Oh tidak kok, aku tadi dari Perpus UI," jawabku.
"Tapi kok kamu agak keringetan?"
"Ya, maklumlah, panas," ujarku sambil melemparkan senyum dan tawa renyah.
Ia membalas dengan tawa yang tak kalah renyah.
"Tapi, kok bisa kebetulan begini ya?" tanya dia lagi.
"Kamu percaya kebetulan? Maksudku kamu percaya kalau kebetulan itu ada?" tanyaku balik sambil kutatap mata indahnya.
"Tidak, karena aku percaya segala sesuatunya sudah ada yang mengatur. Meski Tuhan kau dan aku berbeda, tapi Tuhanmu atau Tuhanku-lah yang pastinya mengaturnya." jawabnya dengan wajah merona dan senyum khasnya yang indah karena bibirnya pun begitu indah.

Bikun akhirnya berhenti di Halte Pocin. Dia pun turun. Aku juga ikut turun.
"Kamu turun sini juga?"
"Tidak sih, aku biasanya turun di Stasiun, tapi aku tidak mau kalau kamu sendirian."
Dia tersenyum lalu kembali berucap, "Aku tak sendirian ko, aku kan sudah punya pacar."
Sekejap kata-kata itu menusuk dan mencabik-cabik hati ini, mungkin hingga empedunya. Tapi, aku ingin terlihat biasa saja.
"Oh, bukan, maksud aku, pulang sendirian."
Lagi-lagi, dia hanya tersenyum. Seperti sudah mengetahui semuanya. Semua isi hatiku.

                      ***

Keesokan harinya, di Bikun yang sama, aku berharap bertemu ia lagi. Aku melihat Bikun bernomor 9, sama seperti kemarin, datang menghampiri. Dengan keoptimisan tingkat tinggi, aku menaiki Bikun bersejarah itu. Namun, bukan Livia yang kutemui, namun justru Nada, perempuan yang Nur cintai, yang sedang duduk sendiri di bagian tengah bus, tempat Livia kemarin duduk. Aku melihatnya dari bagian belakang bus. Seperti membalas budi, aku memanfaatkan kebetulan itu untuk memberitahu Nur lewat SMS.

"Cuy, Nada ada di Bikun. Ini yang namanya 'kebetulan harus dicapai'. Kalau kamu benar-benar berniat mengejar cinta kamu, kejarlah Bikun ini. Bikun nomer 9, sekarang masih menuju Ekonomi dan rutenya menuju Stasiun."

M. Fathir Al Anfal (2012)

9 comments:

  1. wkekekekek, , , , :D
    itu kisah nyata gan???
    ahhahah

    ReplyDelete
  2. Weh weh nama blognya ganti.. hehehe..
    Bukan, tapi semi nyata.. hehehe =P

    ReplyDelete
  3. wowww, , ,
    BTW si Livia anak Jurusan apa????

    ReplyDelete
  4. Hahaha itu nama fiksi.. Untuk menyamarkan saja.. Tapi, kalau elu baca baik2 & teliti, harusnya elu tw, Livia atau orang di balik nama "livia" ituada di jurusan apa.. =)

    ReplyDelete
  5. yaelahhhh, , , , -_-
    parahh luu, ,
    ini namanya kebebasan berekspresi om. . .
    hhahah, ,,

    ReplyDelete
  6. hahaha.. tapi kalau sudah menyangkut privasi orang bisa timbul masalah hehehe =P

    ReplyDelete
  7. Oke deh, karna Bikun di cerpen di atas bernomor 9 dan komen baru 8, akan saya akhiri komen-komenan kita yang ke-9 ini dengan bacaan: Alhamdulilah.. hahaha.. =)
    Dah ga ush d blz.. Cukup 9 saja.. hehehe =D

    ReplyDelete
  8. Karena tadi ada yang dihapus lagi (permintaan seseorang), jadi inilah Komen ke-9 hehehe.. =)

    ReplyDelete