Monday, January 30, 2012

Beasiswa

Almarhum Ibuku pernah berkata seperti ini kepadaku: "Kamu sudah diberi jalan, Nak. Hanya saja jalan yang akan kamu lalui itu penuh beling dan duri. Nah, sekarang tinggal bagaimana cara kamu menyingkirkan pecahan beling dan duri-duri itu hingga sampai ke ujung jalan?"
foto: google.com

Kata-kata singkat penuh makna itu selalu aku ingat karena itu adalah petuah terakhir ibu sebelum ia menghadap Illahi beberapa bulan yang lalu karena penyakit jantung yang telah lama dideranya atau setelah aku diterima di salah satu universitas terbaik di negeri ini dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah.

Kematian ibu jelas membuatku terpukul. Terang saja, karena aku tak pernah menduga sebelumnya akan ditinggal secepat ini, sebelum aku dapat membahagiakannya. Saat Sang Malaikat Maut menjemput ibu, aku sedang menjalani Kamaba (Kegiatan awal mahasiswa baru) atau mungkin lebih dikenal dengan sebutan ospek.

Siang yang begitu panas di bulan puasa itu terasa tambah panas dan membuatku semakin berkeringat saat tetanggaku yang juga merupakan mantan teman kerja ibuku meneleponku, mengabarkan bahwa penyakit jantung ibuku kambuh lagi dan dalam kondsi yang gawat darurat. Aku bergegas pulang setelah meminta izin kepada panitia Kamaba.

Di sisi lain, ayahku, yang pada saat bersamaan sedang bekerja di bengkel juga langsung meminta izin pulang. Di dalam angkot yang penuh penumpang dan panas, rasa was-was dan khawatir membayangiku saat itu. Aku sangat takut sekali kehilangan ibuku yang lembut dan penuh kasih sayang sekalipun aku sering bandel di masa kecilku. Tetes air mata rasanya ingin mengalir tapi sekuat mungkin aku tahan di antara orang-orang tak kukenal yang berada di dalam angkot.

Seperempat jam berlalu. Terik bara neraka yang membakar tubuh serta pikiran menemaniku dalam setaip langkah menuju rumah selepas turun dari angkot. Namun, sesampainya di rumah, aku melihat para tetangga sudah penuh mengerubungi pelataran rumahku. Dari situ, aku menyadari sesuatu yang tak kuinginkan.

Aku masuk ke dalam rumah. Jasad ibu terbaring kaku dengan bibir yang sepertinya tersenyum.
"Ibumu meninggal 5 menit yang lalu, dek. Sabar ya," ujar salah seorang tetanggaku sambil merangkulku. Aku melepaskan diri dari rangkulannya dan menangis sesunggukkan tanpa sepatah kata apapun di depan jasadnya. Tak lama kemudian, ayah datang, yang kemudian ikut menyusulku menangis bersama. Suasana haru menyelubungi dinding, pintu, dan atap rumahku. Membuat mereka seakan ikut menangis.

Itu adalah saat-saat terakhir aku melihat wajah ibu. Kini, meski sudah tiada, kenangan bersamanya takkan pernah mati, begitu pula petuah terakhirnya. Aku akan menyingkirkan segala duri dan beling dan sampai di ujung jalan dengan senyum bahagia. Pasti.

                          ***

Satu semester berlalu. Tak terasa waktu berbicara begitu cerewet. Dengan IPK di semester pertama ini 3,59, aku ingin lulus dengan predikat Cum laude sekitar tiga setengah tahun mendatang. Tapi, aku punya impian jangka pendek yang sudah aku canangkan di awal semester yaitu bisa membeli laptop di akhir semester dua, mengingat kebutuhan akan laptop untuk mahasiswa adalah sangat penting.

Seakan menjawab kegelisahan hati, uang beasiswa yang sudah dinanti-nanti aku dan para penerima beasiswa lainnya yang sudah berkoar di dunia maya karena lambatnya penurunan beasiswa, akhirnya cair. Total uang yang diperoleh adalah 3,6 juta Rupiah.

Buatku, aku sudah bersyukur, berapapun nominalnya dan meskipun prosesnya lambat. Yang terpenting, aku bisa berkuliah dengan sungguh-sungguh tanpa perlu membayar BOP untuk berprestasi dan meraih impian. Impian yang aku cantolkan di ujung bintang, di atas sana.

Aku pun mengambil sebagian uang beasiswa untuk membayar kontrakan yang sudah menunggak selama tiga bulan, untuk biaya makan, untuk transportasi, serta untuk keperluan kuliah. Sisanya tentu untuk ditabung, agar kelak bisa membeli laptop tepat pada waktunya, akhir semester dua.

Semenjak ibu meninggal, aku dan ayah yang hubungannya sudah tak lagi harmonis, memutuskan berpisah secara tempat tinggal. Aku memilih mengontrak sendiri karena keinginan ayah yang ingin meminang istri baru, yang usianya jauh lebih muda dibanding umurnya. Namun, meski kini sudah berisitri, ayahku tetap ayahku dan aku tetap harus menghormati ibu-tiriku yang sebenarnya aku benci.

                      ***

Malam itu, ayah mengajak aku bertemu di depan bekas warung pecel lele. Aku pun menemuinya, meski jalanan sangat becek setelah diguyur hujan.

"Ada apa, Yah?", ucapku mengawali.
"Ayah minta uang," ujarnya sedikit lesu.
"Buat apa Yah?" tanyaku sedikit sinis.
"Kamu tahu kan ibu tiri-mu hamil? Sekarang sudah hampir 9 bulan. Ayah butuh uang untuk jaga-jaga kalau suatu saat dia melahirkan."
"Berapa?"
"Satu juta."
Aku terkejut bukan main. "Apa?" Suasana menjadi sedikit tegang.

"Selama ini ayah saja selalu kurang dalam menafkahiku. Aku terkadang bahkan terpaksa mengambil tabunganku di ATM untuk membayar kontrakan. Padahal ayah tahu kan? Tabungan itu untuk beli laptop. Sekarang ayah mau minta satu juta lagi. Kapan aku beli laptopnya? Ini sudah akhir semester dua dan uang beasiswa yang baru cair tempo hari pun belum cukup untuk membeli laptop. Ini itu salah ayah yang memutuskan kawin lagi!" sergahku dengan kasarnya.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Ayah cuma mau kasih tahu. Kamu boleh benci sama Endang, tapi kamu tidak boleh benci sama anak dalam kandungannya. Itu adik kamu juga, darah daging ayah," ujarnya lalu meninggalkanku, menghilang dalam kegelapan.

Di rumah, aku mendadak menagis mengingat ucapan kasarku kepada ayahku. Seharusnya aku sadar, kerja ayahku sebagai tukang cat di bengkel yang tidak besar, gajinya pun sangat tergantung kepada banyaknya mobil yang masuk. Terlebih lagi, keadaannya sekarang yang sudah memiliki istri dengan janin di dalam perutnya.

Aku juga teringat oleh impianku sendiri di masa silam yang ingin memiliki adik. Namun, tak pernah sampai hingga ujung hayat ibu-kandungku. Kini, meski bukan dari rahim ibu, tapi kesempatan memiliki adik ada di depan mata. Memang benar kata ayahku, aku boleh membenci ibu-tiriku, tapi tidak dengan adik-tiriku.

Aku makin meneteskan tetes air asin saat aku ingat perjuangan ayahku di masa mudanya hingga bisa menyekolahkanku dan membesarkanku. Dia sebenarnya adalah sosok ayah yang tangguh. Dan aku jadi merasa bersalah telah menyalahkan dia menikah lagi. Padahal itu adalah hak dia yang mungkin tak ingin larut atas kepergian ibu. Aku juga makin menyadari kalau ayahku sudah cukup tua. Wajar bila dia selalu kurang dalam menafkahiku. Setidaknya dia sudah berusaha dan bekerja keras. Seharusnya aku menghormati dan menghargainya, karena lagi-lagi, ayahku tetaplah ayahku. Tak ada yang namanya mantan ayah, mantan ibu, ataupun mantan anak.

Hal-hal itulah yang terlambat aku sadari dan aku menyesal dalam isak tangis yang seakan membungkam suara-suara malam.

Keesokan paginya, aku menemui ayahku dan mengajaknya mengambil uang beasiswa yang teramat penting untukku di ATM. Dan dengan senyum serta keikhlasan, aku memberikan sejumlah uang yang ayahku butuhkan. Tak lupa, aku juga meminta maaf atas ucapanku yang semalam. Kami pun berpelukkan dalam haru.

Masalah laptop? Sudahlah, aku masih bisa meminjam teman atau memanfaatkan komputer di Perpustakaan Universitas yang cuma-cuma. Masih ada enam bulan ke depan lagi untuk menabung. Kalau sudah waktunya, sebuah laptop pasti akan ada di tanganku. Aku hanya tinggal bersabar.

                       ***

Sekitar satu bulan kemudian, saat sedang mengerjakkan tugas di Perpustakaan Fakultas, sebuah nomor telepon tanpa nama meneleponku. Aku tak tahu siapa yang ada di balik nomor itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

"Halo, Assalamualaikum, ini siapa?" tanyaku memulai.
"Ini Pakde-mu Fal, kamu apa kabar? Bagaimana kuliahnya?"
"Oh, Pakde, saya kira siapa. Aku kabarnya baik Pakde, kuliah juga lancar. Pakde dan keluarga di kampung bagaimana? Oh ya, ganti nomor ya?
"Iya Fal, ganti HP juga malah. Hehehe. Pakde sekeluarga di sini baik-baik saja."
"Oh begitu. Omong-omong, ada apa Pakde nelpon?"
"Kamu kuliah sudah punya laptop belum?"

Pertanyaan itu sempat membuat aku terdiam, teringat akan impian itu, dan entah mengapa jantungku jadi berdetak lebih cepat.
"Fal, sudah punya?" ulangnya lagi mengagetkanku.
"Oh belum Pakde. Boro-boro beli Laptop deh. Bisa makan setiap hari saja Alhamdulilah. hehehe."
"Begini lho Fal, Pakde seminggu yang lalu baru jual tanah dan Alhamdulilah untungnya juga besar. Rencananya Pakde mau mengirim sejumlah uang ke rekening kamu, untuk kamu beli laptop."
"Yang bener Pakde. Wah, terima kasih sekali ya, Pakde."
"Iya sama-sama. Anggaplah ini sebagai balas budi atas jasa Almarhum ibumu yang baik itu, yang dulu pernah menolong Pakde. Oh ya, jadi berapa nomor rekeningmu, biar Pakde catat dulu."

Aku pun memberikan nomor rekeningku saat percakapan itu dan selang keesokan harinya, saldo tabunganku bertambah drastis. Impianku membeli laptop pun akhirnya terwujud. Aku pun berlari ke rumah ayahku dan langsung mengabarkan hal bahagia ini. Kami kembali berpelukkan, kali ini dalam suasana bahagia.

Sekarang aku sadar, selain dengan kerja keras dan kegigihan, salah satu cara menyingkirkan beling dan duri yang berceceran di jalan adalah dengan keikhlasan dan kesabaran. Kalau kita ikhlas dan sabar menyingkirkan pecahan beling dan duri-duri itu meski perlahan, kita pasti akan sampai di ujung jalan. Yang pastinya dengan senyum bahagia dan teriakan: "Horeeee!".

M. Fathir Al Anfal (Januari 2012)

No comments:

Post a Comment