Monday, December 26, 2011

Perempuan Pecinta Burung

Foto: google.com

Seorang pria dengan mengenderai mobil BMW-nya, ditemani pasangannya, seorang perempuan cantik yang usianya 23 tahun atau 15 tahun lebih muda dari usia pria itu sendiri. Malam makin gelap, lampu mobil menjadi penerang di sisa perjalanan mereka.

"Sebentar lagi sampai, mas," ujar si perempuan dengan suaranya yang lembut.
"Oh ya?", jawab si pria sambil sesekali melirik ke arah paha si perempuan yang begitu mulus karna si perempuan sendiri mengenakan rok mini yang nyaris kelihatan celana dalamnya. Benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah perempuan itu.

Tiga menit berselang, mobil BMW hitam yang mengkilat di tengah malam yang mendera itu berhenti di sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar yang tingginya mungkin tiga kali tinggi manusia normal.


Sunday, December 25, 2011

Dua Anak Kecil dan Mesuji

                                                    Foto: google.com

Dua puluh tahun yang lalu, dua anak kecil berebut boneka. Tak ada yang saling mengalah.
Namun, karena saling tarik menarik, kepala boneka dan badannya terpisah dan mereka berhenti mempersengketakannya lalu bersama-sama mengubur boneka tanpa kepala itu di tanah Mesuji.

Kini, tak ada pilihan lain bagi mereka, selain memenggal kepala lawannya, karena tanah dan boneka sangatlah berbeda dan sengketa ini harus diselesaikan.

Belukar malam di Mesuji makin rimbun. Darah akan tercecer dalam kelamnya. Dan satu di antara mereka akan masuk TV besok pagi. Tergeletak tanpa nyawa atau mungkin ditemukan terkubur tanpa kepala bersama boneka tanpa kepala yang mereka kubur

dua puluh tahun yang lalu.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Thursday, December 22, 2011

Aku Kepada Kau*


Biarlah lumpur tubuhku menyatu
dengan hatimu,
meluberkan noda cokelat pekat.

Biarlah api asmaraku menjadi bara
yang membakar habis namamu
di secarik kertas.

Biarlah air spermaku menyatu
dengan sel telurmu,
menjadikannya segumpal daging.

Biarlah nafasku menjadi
angin topan yang menerbangkanmu
hingga ke Antartika.

Biarlah aku menjadi Malaikat Izrail
yang membawamu ke pintu neraka.

M. Fathir Al Anfal (2011)

*Terinspirasi dari puisi Radha Kepada Krishna yang tak diketahui pengarang aslinya (Anonim) dan merupakan saduran Sapardi Djoko Damono.


Wednesday, December 21, 2011

Persetan Dengan Hari Ibu!: Apakah Cintamu Hanya Untuk Hari Ini Saja?



Pagi menyeruak di penghujung Desember. Di tengah semarak natal dan aroma tahun baru yang kian kental. Hari ini, 22 Desember 2011. Kata orang, hari ini adalah hari ibu. Benarkah? Buatku, hari ini tetaplah hari kamis. Tak ada yang beda meski disekelilingku tampak banyak perbedaan. Orang-orang dengan senyum manisnya sedang mencoba memberi kejutan ataupun hadiah spesial untuk ibunya. Rumah-rumah -jika bisa menangis- seakan terbawa suasana isi dirinya yang diwarnai kehangatan keluarga. Di dunia maya pun banyak terukir kata-kata: "Selamat hari ibu", "Aku cinta ibu", dll.


Sajak Untuk Rosa

Jingga makin memancar di sela-sela langit biru yang mulai gelap. Orang-orang menyebut waktu di saat langit setengah gelap sesudah matahari terbenam dan diikuti dengan munculnya langit jingga itu dengan sebutan senja. Begitu pula dengan gadis pecinta senja yang kebetulan bernama "Senja" juga. Entah kenapa kedua orang tuanya menamai anak pertamanya itu Senja. Mungkin karena mereka berdua juga pecinta senja di masa mudanya atau ada kenangan lain di waktu senja yang menginspirasi mereka untuk memberikan nama itu kepadanya.

Dia memang mencintai senja. Bukan karena keromantisan yang hadir di baliknya tapi karena dia memang tak punya alasan untuk mencintai senja. Sama seperti di saat ia mencintai seorang pria. Baginya, mencintai itu tak perlu alasan atau pertanyaan "mengapa" tapi mencintai bicara soal ketulusan dan hal-hal yang memang sulit untuk diungkapkan. Dia juga berpendapat kalau mencintai memiliki alasan maka cinta itu tak akan langgeng sampai kematian menjemput. Seperti halnya, kita yang mencintai seseorang karna wajahnya yang cantik dan ganteng maka setelah wajahnya tidak lagi cantik atau ganteng karna suatu hal, cinta itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya kecantikan atau kegantengan yang dimiliki orang yang selama ini kau cintai. Itulah prinsip yang selalu ditanamkan dalam diri Senja, seorang perempuan sederhana nan cantik yang saat ini tengah sendiri.

Bukan karena dia pemilih dan terlalu mengkotak-kotakki pria yang mengantri di belakangnya. Tapi, karena dia memang belum merasakan cinta kepada pria-pria tampan laksana pangeran yang mencoba merajut kasih sayang dalam hatinya.

                          ***


Monday, December 19, 2011

Hantu Dunia Maya

Seperti biasa, sore ini, sepulang kuliah, aku langsung menghadap layar komputerku yang terletak di dalam kamarku yang berdinding ungu dan berhiaskan pernak-pernik yang kukumpulkan dari berbagai belahan dunia.

Dari facebook, twitter, sampai blogger aku babat habis. Kalau sudah begitu, aku bisa menghabiskan waktu sampai 5 jam, bahkan kadang lebih. Aku semakin gila berinternet di dunia maya setelah sebulan yang lalu men-jomblo. Hanya dunia maya-lah yang bisa menemaniku dalam kesepian.

Begitu pula dengan Krisna, seorang pria yang kukenal dari facebook satu minggu yang lalu. Entah kenapa, walau hanya kenal dari facebook aku sudah seperti berada di dekatnya dan terasa nyaman. Orangnya asyik jika sedang chatting-an ataupun berbalas wall post. Dia mengaku juga tinggal di kota yang sama, Depok, bahkan juga berkuliah di tempat di mana aku berkuliah meski berbeda fakultas, Universitas Indonesia. Namun, anehnya dia tak ingin bertukaran nomer Handphone denganku meski aku sudah membujuk. Ia bilang, ia tak punya Handphone. Tapi, masa iya zaman sekarang masih ada orang yang tak megang benda multifungsi itu?

Tapi aku tak ingin terlalu mempermasalahkannya. Aku pun lalu mengajak ia ketemuan. Ia menyepakati.
Lalu sesuai kesepakatan, kami bertemu siang ini di Jembatan Teksas, jembatan penghubung Fakultas Teknik dan Fakultas Sastra (Sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya).

Siang makin terik. Namun, ia tak kunjung datang. Karena kesal, aku bertanya kepada orang yang kebetulan sedang lewat.

"Maaf Mbak, mau tanya sebentar, kenal Krisna tidak? Anak FIB jurusan Sastra Indonesia?", tanyaku.
"Krisna anak Sastra Indonesia?", tanyanya balik dengan muka heran.
"Iya, kami janji ketemuan hari ini. Memangnya kenapa Mbak? Kenal?"
"Iya, saya kenal, bahkan namanya jadi sangat terkenal dua minggu yang lalu. Tapi, tidak mungkin kalau dia mengajak ketemuan kamu. Pasti kamu salah orang!"
"Maksudnya? Salah bagaimana?"
"Ya jelas saja salah. Krisna sudah meninggal. Terjun dari jembatan ini di malam hari sekitar dua minggu yang lalu setelah diputus pacarnya dan mati tenggelam."

Aku langsung syok mendengar jawaban itu. Tapi, mana mungkin hantu bisa bermain di dunia maya? Mungkin saja itu orang iseng yang sengaja memakai akun Alm. Krisna untuk menakut-nakutiku atau membuat sensasi. Aku langsung kembali ke kampusku, Fakultas Ekonomi untuk bergegas pulang dengan mobilku yang kuparkir di sana.

                     ***


Saturday, December 17, 2011

De-ku dan Ka-ku

"D" (Dibaca: "De").
Menari sajalah dirimu di kerlingan mataku.
Selama asam dan basa belum menjadi garam
dan segala jenis larutan belum bereaksi.
Oh, De-ku, yang tersendiri di ujung lorong,
menarilah dengan lekukan indah tubuhmu
mengelilingiku, yang kini juga
tak sanggup melawan jenuh hati.
Kibaskanlah rambutmu dan berilah wangi tubuhmu
untukku yang sedang membara.

Sementara itu,

"K" (Dibaca: "Ka").
Jangan kau sia-siakan sosok rupawan
yang berdiri sambil mengulurkan tangannya
untuk dirimu yang menangisi sebingkai foto,
sebuah kalung hati, dan selembar memori.
Oh, Ka-ku, yang kini sudah tak sendiri,
nikmatilah segenggam cinta yang ia berikan
untuk merekatkan kembali serpihan hati
yang terburai dan berceceran di lantai
karena kebodohan dan kekhilafanku.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Thursday, December 15, 2011

Wanita Di Balik Dinding

Dinding tebal setinggi Tembok Raksasa Cina,
memisahkan aku dengan wanita yang bersembunyi di baliknya.
Tak sanggup aku menembusnya meski malam pergantian tahun sudah bosan berpapasan denganku.
Dua belah tangan sudah cacat. Lalu kusisakan secercah darah bertuliskan namanya
oleh jari-jari yang lunglai sebagai sebuah prasasti agar kelak menjadi sebuah dongeng.

"Fitri........"

M. Fathir Al Anfal (2011)

Wednesday, December 14, 2011

Bu Puji

Malam itu, TV kesayanganku akhirnya kembali juga setelah kurang lebih 7 bulan mendekam di rumah mantan tetanggaku yang sangat baik kepadaku, Mas Aryo. Dua hari sebelumnya, beasiswaku cair. Tak penting masalah nominal. Tapi, uang yang sudah diberikan pemerintah itu kuambil untuk membayar kontrakanku yang sudah nunggak 3 bulan serta mengambil TV yang telah lama tergadai di tangan Mas Aryo. Aku begitu rindu dengan TV kesayanganku. Andai aku dulu tak mengontrak di kontrakan Bu Puji sialan itu, ini semua takkan terjadi.

Bulan Maret tahun 2011 adalah awal aku mengontrak di kontrakan Bu Puji. Aku mengontrak sendirian. Kenapa? Itu tak penting, yang jelas, sejak November tahun 2010, aku sudah tinggal sendirian. Ibu kandung di kampung halaman. Bapak dan ibu tiriku yang gila di sini, di kota ini juga. Aku tak mungkin tinggal bersama mereka, karena yang ada hanya masalah dan konflik, yang akhirnya berujung rasa malu. Malu kepada tetangga yang nyaris tiap hari disuguhi kegilaan-kegilaan yang dilakukan si ibu tiri gila itu.

Awalnya Bu Puji terlihat sangat baik. Dengan berstatuskan guru pengajian di RT setempat, ia dengan senyumnya yang palsu dan lidahnya yang bercabang dua membuatku terjebak di sana. Di kontrakan setan itu. Biaya sebulannya adalah 250 ribu. Itu belum sama biaya listrik.


Monday, December 12, 2011

Curi, Peluk, Tinggalkan.

Curi
i
n
t
a

Peluk
a
k
s
a

Tinggalakan
e
r
n
o
d
a

M. Fathir Al Anfal (2011)

Dompet Sialan

Seusai solat adalah waktu yang tepat untuk berdoa, khusunya bagi umat muslim yang rajin solat dan rajin berdoa. Tak terkecuali bagi Ahmad, remaja muslim yang rajin solat, yang kemarin hari, baru saja tertimpa musibah dengan kehilangan dompet yang isinya berupa uang 300 ribu dan KTP serta kartu kredit. Setelah solat subuh, dia hanya berdoa agar orang yang menemukan dompetnya segera mengembalikannya kepada dirinya karena dia dan Tuhan pun tahu, kalau dia sangat membutuhkan isi yang ada di dalam dompet itu.

                                      ***
Kemarin
Seorang pria yang nampaknya sedang krisis moneter berjalan dengan muka kusut di pinggir jalan yang ramai. Di sela lalu lalang kendaraan yang melintas dan terik matahari yang tak kunjung dingin, ia melihat sebuah dompet berwarna biru tua tergeletak tak bertuan di jalan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Hatinya menjadi dilema. Entah mengapa, sama seperti di film-film, setan selalu menang saat membisikkan hal-hal buruk daripada malaikat yang mencegah hal-hal buruk. Akhirnya, ia pun mengambil dompet itu.

Ia dengan tergesa-gesa lalu mencari tempat sepi di ujung gang. Yakin sekeliling sudah aman, ia lalu melihat isi dompet itu. Dia mendapati uang 300 ribu dan KTP atas nama Ahmad Tarmiji. Kali ini, dia kembali diserang dilema. Harus mengembalikannya secara utuh, mengembalikannya dengan uang yang sudah di ambil terlebih dahulu, atau membuangnya saja setelah merampas uangnya. Dia yang bernama lengkap Yan Widi, karena merasa tak tega memilih opsi kedua. Dengan tenang ia beranjak pulang.

Di jalan, saat melewati gedung yang sedang direnovasi, tiba-tiba dari atas, sebuah cat berwarna biru menumpahi sebagian tubuhnya karena ia sempat menghindar, namun tetap saja baju dan rambutnya terkena noda cat. Tukang bangunan itu dari atas, kalau tidak salah lantai tiga, hanya berteriak maaf saja. Hal itu membuat dia geram, tapi ya sudahlah, dia tak ingin memperbesar masalah.


Sunday, December 11, 2011

SAWO episode 7 / Terakhir

Adam sudah muak dengan semua ini. Dia harus segera mengakhirinya. Menangkap orang misterius yang beridentitas Budi itu dan menguak latar belakangnya. Sementara itu, Veni sudah ditahan di selnya dan dijaga oleh Amru. Veni selalu berkata "tak tahu" saat ditanya tentang Budi.

Adam lalu menuju stasiun, sendirian, seperti yang Budi perintahkan. Namun, ia tak seratus persen sendiri. Ia terus di awasi oleh anak-anak buahnya yang menyamar dari jauh. Siang itu stasiun begitu ramai, seperti hari-hari biasanya, yang penuh orang lalu lalang, anak kecil kumel berdekil yang menjajakan koran, pengemis, dan orang-orang gila yang kerapkali melantunkan lagu dan puisi-puisi.

Dia mencari-cari, tapi tak ia temui Budi di sana. Namun, tiba-tiba HP-nya berdering. Ia sudah tahu kalau yang menelepon adalah Budi. Suasana yang ramai seakan mendadak hening saat ia mengangkat telepon itu.

"Kau tak sendiri kan?"
"Apa? Tidak! Aku sendirian!"
"Bohong! Sudahlah, sebentar lagi kereta jurusan Jakarta akan tiba, naiklah kereta itu dan turunlah di Stasiun Jakut. Jika sudah sampai, hubungi nomer ini."
Telepon lalu dimatikan seketika oleh Budi, begitupun percakapan mereka.

"Sial, darimana dia tahu? Siapa dia sebenarnya? Siapapun dia, dia benar-benar jenius.", ujarnya dalam hati.

Kereta datang. Ia lalu menaiki kereta itu. Anak buahnya yang melihat dari kejauhan bingung harus bagaimana. Mereka tak mungkin masuk ke kereta itu atau mengejarnya.
"Bagaimana ini?", ujar salah satu anak buah Adam.
"Entahlah. Kita tunggu saja.", jawab rekannya.

                                     ***

Thursday, December 8, 2011

Hujan Mampir Di Hatimu

Hujan mampir di hatimu
dan berlalu bersama awan cokelat
yang berjalan cepat
di langit biru yang melapisi
langit hitam di atasnya.

Membuatku berjibaku menangkapmu
yang terpeleset karena jalan yang licin seketika.

Namun,

Aku tak selalu ada di belakangmu
saat kau terjatuh
karena hujan yang membasahi jalan.

Lalu,

Matahari mengintip perlahan.
Menghapus basah dan air yang menggenang jalan.
Menguapkan air-air itu kembali ke atas.

Sungguh,

Hujan yang menumpang lewat di hatimu,
tak ada gunanya.

Karena matahari pun tak pernah mati.
Dan aku,
pasti akan mati.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Wednesday, December 7, 2011

Imam Vs Makmum

"Allahu Akbar, Allahu Akbar.....", azan berkumandang di pagi buta yang masih lekat dengan gelap walau terang sudah mulai menghinggap langit meski kadang tak terlihat. Empat orang aneh bangun secara bersamaan seperti sudah janjian sebelumnya. Meski kantuk masih terasa dan badan belum 100% kembali, satu per satu dari mereka berdiri, mengambil sarungnya masing-masing dalam sebuah lemari kayu, lalu melangkah ke kamar mandi, tempat mereka mengambil air wudu.

Semalaman suntuk Agus, Rudi, dan Ozan menginap di kosan Cahyo, yang cukup sepi di kala malam walau malam itu malam minggu sekalipun. Mereka mengerjakan tugas kuliah bersama lalu bermain kartu remi hingga hawa dini memaksa mereka tidur. Baru 2,5 jam tidur, azan sudah membangunkan mereka dan seakan memaksa mereka bangun untuk menghadap Pencipta-Nya.

Selepas mengambil air wudhu, mereka lalu memulai solat berjamaah.
"Rud, imam?", ujar Cahyo.
"Jangan! Tuan rumah dulu lah", jawab Rudi.
Akhirnya, Cahyo menjadi imam di salat Subuh yang terdiri dari dua rakaat tersebut.

"Rapatkan shaf-nya", ujar Cahyo mengawali. Salat pun dimulai. Cahyo mengucapkan Takbiratul ihram yang diikiuti oleh ketiga makmumnya yang terlihat masih ngantuk dan tidak 100% semangat untuk salat.

Surah Al-Fathihah mulai dibacakan dengan suaranya yang lantang yang kemudian diikuti dengan surah lainnya yang begitu panjang, aku sendiri tak tahu surah apa yang ia bacakan. Namun, pembacaannya dengan dilagukan dan agak mendayu-dayu. Ketiga orang makmum tersebut, dalam hatinya, ternyata memiliki pendapat berbeda-beda, seperti sedang berdebat, namun di dalam hati, seperti di sinetron-sinetron.

"Apaan nih? Tambah ngantuk deh gue.", ujar Agus dalam hatinya.
"Imam yang kayak gini nih yang bagus, pembacaan surah-nya fasih dan sanat enak di dengar sambil dilagukan seperti itu.", isi hati Ozan.
"Memang sih, tapi ya tidak seperti itu juga. Salat subuh yang 2 rakaat yang seharusnya bisa kurang dari 5 menit saja bisa serasa satu jam bila seperti itu. Belum lagi, pembacaan surah lainnya. Untuk apa pula dia membaca surah pendek yang panjang-panjang? Mau pamer kah?", tanya Agus, masih dalam hati mereka masing-masing.
Rudi coba mengetengahkan, "Tajwid dan kefasihan itu memang penting namun tak harus dilagukan jika konteks kita sedang salat berjamaah bukan tadarus Al-Quran. Harusnya Imam berpikir, bisa saja, makmumnya punya urusan lain yang karena Imamnya lama memimpin solat, membuat dia jadi gondok. Satu hal yang ku tahu, dalam solat berjamaah, bila 51% makmumnya jengkel, salat itu seakan tak berarti."

Salat subuh pun berakhir dan mereka bersalam-salaman. Imam yang tak tahu menahu perbincangan dalam hati para makmun, tersenyum puas. Dia tak tahu. Mungkin takkan pernah tahu.

                                    ***


Monday, December 5, 2011

Tulisan Anak Kecil

Seorang anak kecil dengan pensil di tangan
dan selembar kertas di hadapannya.

Mulai menulis.
Rangkaian huruf-huruf yang masih awam baginya
dan coba ia pahami.

Ia tak peduli sekelilingnya.

Lalu ibu datang,
menyapu lembar kertas itu
setelah membaca dan menggulung-gulungkannya.
Membuangnya di tempat sampah
yang penuh gulungan kertas.


Sunday, December 4, 2011

Aku, Dian, HP dan PSP, dan Asrama UI

Latihan PK hari ini akhirnya selesai setelah kami berdoa dan berteriak "PK IKSI 2011 euh leuh!". Sekarang pukul 11 malam. Aku beserta temanku yang merupakan penghuni asrama UI (Universitas Indonesia) diantar oleh salah seorang senior kami ke asrama. Aku bukan penghuni asrama, hanya saja malam ini aku niatkan untuk kembali menginap di asrama UI, tepatnya di kamar temanku, Dian, yang terletak di gedung D2, lantai 3, nomer 17.

Ini bukan malam pertama aku menginap di sana. Sebelumnya, 3 hari yang lalu, aku juga menginap di sana selama 2 malam berturut-turut. Aku ingin merasakan adrenalin menginap di asrama UI yang katanya angker, tapi selama 2 malam itu, ternyata tak seperti yang dikatakan orang. Biasa saja.

Sesampainya di sana, aku dan Dian langsung bermain kartu meski kami sudah sama-sama lelah dan ngantuk karena latihan PK meski kami tidak satu jurusan tapi tetap satu fakultas, yaitu FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya). Aku jurusan Sastra Indonesia, sedangakan dia Filsafat.

Di tengah keseruan bermain kartu, karena pintu di buka lebar, aku melihat beberapa kali tetangga-tetangga Dian lewat di depan pintu dan salah satunya adalah Lukman, yang kata Dian berasal dari Surabaya dan merupakan mahasiswa FE (Fakultas Ekonomi).

Satu jam berlalu. Kantuk mulai meradang. Aku sudah tak kuat. Lalu aku putuskan untuk menyudahi permainan kartu yang sedang aku menangkan itu. Namun, Dian belum ingin tidur katanya. Dia malah meminjam PSP-ku lalu asyik bermain di atas tempat tidurnya. Sementara itu, sebelum tidur, aku menge-cas baterai HP-ku yang sudah lowbat dan kuletakkan di atas meja. Lalu aku pun tidur dengan bantal di lantai.

                          ***

Orang Gila Berpuisi Di Stasiun

Stasiun tak pernah sepi meski bara neraka telah padam.
Aku duduk menunggu rangkaian gerbong kereta
yang akan mengantarku pulang.

Orang gila berbaju merah, kumuh, dan bertopi duduk
sambil berceloteh di ujung stasiun.
Suaranya lantang seperti sedang membaca puisi kemerdekaan.
Mungkin memang benar jika ia sedang berpuisi.

Semua perhatian terpusat padanya.
Cukup menghibur aku yang lelah menunggu.


Thursday, December 1, 2011

SAWO episode 6

Adam mendekati Veni yang masih dengan tenangnya berdiri dengan kedua tangan di atas. "Duduk!", bentak Adam dengan tetap mengarahkan pistol ke arah Veni. Dia kembali bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?". Veni tersenyum lalu berkata, "Penting untuk kau tahu?". Adam jadi bingung. "Ya, katakanlah sejujurnya Ven. Mengapa kau membunuh lima orang itu?", ujar Adam.

Veni menatap tajam mata Adam dan menerawang, dia mulai bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya kurang lebih satu tahun yang lalu.

#flashback
28 Oktober 2010, malam hari.

Saat itu, Veni pulang bekerja. Jalan sudah sepi meski baru memasuki pukul 9 malam. Kebun sawo yang cukup luas dan gelap harus ia lalui terlebih dahulu sebelum benar-benar sampai di rumah. Namun tiba-tiba, seorang laki-laki membius dia dari belakang. Dia tak sempat berteriak karena gerakan pria itu yang begitu cepat dan bius yang begitu kuat. Ia pun tak sadarkan diri.

Ia mulai terbangun, namun yang ada justru wajah-wajah yang tak dikenalinya kecuali... Reni. Kedua kaki dan tangannya terikat di atas kasur yang membuat dia jadi mengangkang namun masih menggunakan roknya.
"Kau?", ujar Veni.
"Ya. Ini aku, sahabat lamamu".
"Mengapa?"
"Sudah kubilang, jauhi Adam tapi kau..."
"Aku sudah menjauhinya tapi dia terus mengejarku!"
"Ah tak peduli, kau bisa jadi penghalangku. Kawan-kawan, silakan nikmati!"


Wednesday, November 30, 2011

Jalan Sudah Lengang

Kematian menyelubungi udara.
Mereka harus pergi
dengan masker di hidung.

Tak ada lagi kerut tawa.
Yang ada hanya kerut heran.
Seakan tak percaya
kalau ketakutan mereka
selama ini, benar-benar terjadi.

Jalan sudah lengang.
Bangunan-bangunan membisu.
Cerobong asap pabrik tak merasa bersalah.

"Toh, ini bukan salah kami!", ujar mereka
lewat asap-asap yang masih tersisa.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Monday, November 28, 2011

Lampu Taman

Dia berdiri tegak dengan empat kepalanya.
Tepat di tengah taman.
Tinggi.

Mengawasi setiap sudut taman.
Tak ada yang lepas dari jangkauan sinarnya
meski gelap sudah cukup mendominasi.

Termasuk cinta kita.

Cinta yang tak terkontrol
oleh iming-iming kenikmatan
yang disuguhkan dunia.
Bagai bumbu penyedap yang melengkapi
sebuah masakan.

Dia memang mati.
Tak bergerak.
Tapi, dialah satu-satunya mata
di tengah malam itu.

Menjadi saksi cinta kita.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Sunday, November 27, 2011

Pudarnya Sebuah Keadilan

Seorang pria dengan wajah cemas dan gerak tubuh yang gelisah sedang menunggui istrinya di ruang tunggu sebuah rumah sakit swasta di pinggiran Ibukota. Sudah setengah jam istrinya dirawat di rumah sakit yang sudah berdiri sejak 25 tahun yang lalu tersebut. Bangunan rumah sakit itu berdiri megah dan kokoh di pinggir jalan yang nyaris tak pernah lengang. Ribuan orang sudah mati di sana, begitu pula yang kembali sehat. Ya, dari dulu sampai sekarang, rumah sakit tak pernah berubah. Tempat di mana orang akan mati atau orang akan sembuh. Dengan perantara tangan Dokterlah, nasib mereka-mereka yang sakit dipertaruhkan.

Dia berharap istrinya yang sebenarnya sudah lama sakit itu cepat sembuh. Nampak dari raut mukanya yang memelas, sebuah penyesalan yang tak diragukan lagi adanya.

Satu minggu yang lalu, istrinya mendadak sakit. Badannya panas dan suka muntah-muntah. Sebagai seorang suami, dia sudah sangat sigap menjaga istrinya yang sakit dan membelikannya obat tanpa membawanya ke rumah sakit karena sadar akan biaya yang pastinya tak mampu ia sanggupi yang hanya bekerja sebagai montir sebuah bengkel. Ia hanya mendoakan istrinya agar cepat sembuh. Namun, Tuhan belum berpihak kepadanya, doanya justru dibalas dengan apa yang tak diinginkannya. Sakit istrinya malah tambah parah. Namun dia bingung, harus dibawa kemana istrinya?

Tetangganya yang merasa kasihan memberi saran agar istrinya dibawa ke rumah sakit.
"Sudah Pak Bagio, bawa saja ke rumah sakit. Kasihan istrimu. Sebelum terlambat!", begitulah yang diucapkan Marni, tetangga terdekatnya.
"Biayanya? Saya tak punya uang untuk biaya rumah sakit."
"Ah Bapak, seperti di sinetron saja, sekarang Bapak bawa dulu saja istri Bapak, masalah biaya saya rasa pihak rumah sakit bisa mentolerin."

Mendengar penjelasan Marni yang sedikit menyejukkan hati itu, akhirnya ia memutuskan membawa istrinya ke rumah sakit itu dengan sepeda motornya.

                                  ***

Saturday, November 26, 2011

Aku Memang Pengecut

Orang bilang aku takut menyentuhmu.
Jangankan menyentuh bagian tubuhmu.
Tetapi juga hatimu yang katamu
kerap rapuh.
Pahamilah, hati ini sungguh ingin.
Aku hanya bosan dengan penghindaranmu.
Karena orang tahu, aku takkan bisa menyentuhmu
yang dengan pesonamu bisa selalu menyentuhku.

Seperti halnya burung yang terbang bebas
yang bisa setiap saat menerkam ular
yang tak bisa terbang untuk balik menyerang
burung yang angkuh dengan sayapnya
di atas sana.


Friday, November 25, 2011

Terlambat Menyadari

Terlambat menyadari.
Terlalu menyibukkan diri.
Larut dalam kesepian hari-hari.
Tak ada lagi senyum tiga jari.
Lalu tak lagi bisa berlari.
Dari dia, Si Bidadari.
Yang penuh misteri.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Thursday, November 24, 2011

SAWO episode 5

Pagi ini di hari yang cerah, rumah Pak RT dikerumuni warga. Mereka ingin tahu tentang apa yang terjadi. Seorang ibu-ibu paruh baya yang juga warga desa sawo baru saja datang, tergopoh-gopoh sambil membawa dompet di tangannya, bertanya kepada salah seorang pemuda yang mengerumuni di bagian paling belakang, "Ada apa dik?". "Pak RT dibunuh", jawabnya. Ibu itu tersentak kaget. "Pak RT mati mengenaskan semalam. Mayatnya tergeletak di teras rumahnya", tambah pemuda itu lagi.

Selang beberapa lama, polisi datang, tentu saja dengan Briptu Adam dan Briptu Amru.
"Ternyata Pak RT korban keempatnya", ujar Adam pelan.
"Ya, tapi apa hubungannya antara Pak RT dengan tiga korban sebelumnya?", tanya Amru.
"Aku tak tahu, tapi kita harus segera olah TKP ini"


Wednesday, November 23, 2011

Sekat

Dulu kita begitu dekat.
Rekat.
Erat.

Kini di antara kita ada sekat.

Kesat.
Tak lagi hangat.
Sudah ditumbuhi karat.

Kau telah terjerat.
Aku makin sekarat.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Tuesday, November 22, 2011

Berjalan Di Atas Air

Berjalan di atas air?

Tak mungkin!

Berjalan di atas tubuh-tubuh
Yang tergolek lumpuh
Di pelataran
Gedung bertingkat delapan?

Sangat mungkin!

Atau mungkin,
Mungkin,

Ah, semoga hanya mungkin.

Mungkin hanya mungkin.
Mungkin!

M. Fathir Al Anfal (2011)

Monday, November 21, 2011

Terlepas Lagi

Seharusnya kami bisa menang
Tapi mengapa kami bisa kalah?

Ini sudah usang
Kesalahan sama yang terulang
Cawan berkaki yang seharusnya dikekang
Terlepas lagi dari kandang.

Lagi.

Jutaan burung-burung
Yang rela dikurung
Dengan asa yang melambung
Malah jadi limbung.

Seharusnya kami bisa menang
Tapi kami memang pantas kalah.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Sunday, November 20, 2011

3D

Jika Bung Karno pada tahun 40-an atau 50-an pernah berkata: "Beri aku satu orang pemuda, maka akan kuguncangkan dunia!", dia, temanku, juga pernah berkata: "Beri aku satu orang wanita, maka akan kucetak 1000 gol!"

Perkataan itu dia ucapkan saat kami sedang di lapangan futsal, pastinya hendak bermain futsal. Mungkin jika tidak di lapangan futsal, kata-kata itu bisa bermakna lain, tapi bukan tak mungkin kalau itu memang mengarah ke situ. Tapi, sudahlah, lupakan saja.


Saturday, November 19, 2011

Yang Tertinggal Di Lantai Yang Putih

Berjalan di tanah liat,
Di pagi hari,
Sehabis hujan.

Tanah yang lekat bersatu
Dengan sepatu.

Dan sulit untuk lepas.

Ketika siang datang,

Tanah yang menempel,
Yang tersisa di sepatu,
Kembali menjadi lempung.

Butir-butir halus tanah yang merah
Tertinggal
Di lantai yang putih.

Membuat kotor ruangan ini.

Biarlah,
Angin akan menyapunya.

Itu pun kalau ada.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Cinta Jedag-Jedug (eps. 4 / terakhir)

Keesokan hari di sekolah, Rey yang makin bergairah perasaannya, sudah tak sanggup untuk berdiam diri lagi. Dia merenung di tempat biasa, kantin. Saat itu pula, Ajeng datang dengan muka gembirang.
Ajeng: "Rey, tahu tidak? Tugasku diberi nilai "A" oleh Pak Abdullah. Itu berkat bantuanmu juga, kawan. Terima kasih ya!"
Rey: "Iya, tak masalah" (Diam sejenak) "Jeng, aku mau mengajak Merry kencan bagaimana menurutmu?"
Ajeng: "Wah, bagus dong. Ini baru kemajuan namanya! Itu Merry lagi baca novel." (sambil menunjuk Merry yang duduk di pojok kantin)
Rey: "Bisa kali, tidak usah tunjuk-tunjuk begitu. Tapi sejak kapan dia duduk di situ ya? Perasaan sejak tadi aku di sini, dia belum ada"
Ajeng: "Sudahlah, tidak penting darimana dia datang"
Rey: "Ya kali saja itu hantu yang menyamar jadi Merry, ya kan?"
Ajeng: "Ah kamu mah aneh-aneh saja. Mana ada hantu yang pagi-pagi begini sudah iseng ngerjain orang? (geleng-geleng kepala) Sudahlah tak perlu dibahas, intinya ini kesempatan emas buat kamu mengajak dia nge-date!"
Rey: "Tapi, bagaimana kalau dia menolak? Malu sangat pasti!"
Ajeng: "Rey, kata orang bijak itu kamu takkan tahu sampai kamu mencobanya. Tapi, kamu juga harus siap sama kemungkinan terburuk itu! Ayo, move on! Aku tinggal ya, semangat!" (Lalu pergi meninggalkan Rey yang masih deg-degan)

Rey pun mendekati Merry, apa yang akan terjadi?
Rey: "Mer, nanti malam kamu ada acara tidak?"
Merry: "Hmm, ada. Syuting bareng Smash" (tertawa kecil, muka Rey mendadak flat) "Tidak kok, aku cuma bercanda, memangnya ada apa?"
Rey: (Gelagapan) Hmm, aku tunggu kamu ya di Jigsaw Cafe. Aku mau dinner sama kamu, ya sekaligus ada yang harus diomongin"
Merry: "Oke, tunggu aku saja ya jam 8"

                                                ***

Thursday, November 17, 2011

Cinta Itu Damai

Bila genderang cinta telah didendangkan,
Bila panji-panji asmara telah dikibarkan,
Dan panah kasih sayang telah dilepaskan.

Lantunan puisi indah akan selalu mengusik,
Pun dengan kidung-kidung bernuansa merah jambu.

Aku melihat dengan teropong dari sini,
Ke segala penjuru.

Hewan-hewan saling berpasangan,
Menari-nari ria di rimba raya.
Gunung es di kutub yang meleleh,
Membawa bongkahan es sampai ke hati kita.
Angin puting yang berubah jadi angin sepoi,
Yang mengajak kita terbang hingga ke awan putih.

Mereka sudah merasakan,
Mereka ingin memberitahu,
Bahwa cinta itu damai.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Wednesday, November 16, 2011

SAWO episode 4

Malam menunjukkan pukul 11. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ini hari ketiga pasca kematian Bejo. Tak ada titik terang. Yang ada hanya gelap yang menyelimuti karena bulan pun ditutupi awan-awan hitam yang tak mau lepas.

Seorang pria berwajah putih, rambut ikal, dan tinggi semampai berjalan, entah darimana, hingga sampailah dia di depan sebuah rumah yang ternyata rumah kontrakannya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, namun hanya pepohonan yang ia lihat, rumah-rumah yang sepertinya sudah tak berpenghuni saking sepinya, dan gelap pastinya. Ia mengeluarkan kunci rumahnya dan membuka pintu. Ia terlihat sangat letih, lalu melepaskan jaket hitamnya dan menggantungnya di gantungan baju. Rumahnya tak begitu luas, berpetak dua, bagian depan berisikan lemari, meja, TV, dan alat-alat elektronik lainnya sedangkan bagian belakang di pakai untuk dapur serta kamar mandi. Ia hanya sendirian, tak ada yang menemani. Kini, ia bersiap untuk tidur. Jarum panjang pun sudah di angka 4.

Namun, tiba-tiba, terdengar suara berisik dari dalam lemari. Seperti ada seseorang yang mengetuk-ngetuk dari dalam. Ia kaget lalu beranjak dari tempat ia berbaring dan mendekat namun tetap waspada. Ia mengambil sebilah gunting dari meja. Perlahan-lahan ia buka, jantung berdetak keras, badan sedikit gemetar dan benar saja, seseorang berjubah hitam dari dalam lalu mencoba menyergapnya. Namun, ia berhasil mengelak. Kini, ia balik menyerang orang berjubah hitam itu. Dengan gunting di tangannya, dia mencoba menikamnya, namun orang berjubah hitam itu menendang bagian selangkangnya dan dengan tendangan pula orang misterius itu berhasil menjatuhkan gunting dari tangannya ke lantai di saat ia sedang kesakitan. Tapi, pertarungan tak berhenti sampai di situ, dia juga belum menyerah, lalu balik menendang kaki dan memukul perut orang itu hingga terjungkal ke lantai.

Monday, November 14, 2011

Puisi Yang Gagal

Bukan sekedar banyolan. Ini kisah aku yang tersudut di pojokan. Di malam jumat kliwon.

Hanya ditemani kucingku, pusy cat. Hawa dingin mulai mengetat. Suara-suara itu seakan kian dekat. Suara desah angin yang membawa ketakutan setiap saat. Aku jadi tak berkutat. Diam di tempat. Hingga penat.

Mungkin ini tak penting. Tapi, sesungguhnya, aku mulai merinding. Masih dan terus mengelus bulu-bulu kucing. Tenggorokanku jadi terasa kering. Jujur, ketakutan ini benar-benar membuatku sinting. Tangan-tangan itu ternyata hanya bayang ranting. Yang terlukis di dinding.

Tapi, tiba-tiba......
Jebrak!



Saturday, November 12, 2011

Cinta Jedag-Jedug (Eps 3)

Rey dan Rifky saling mengepalkan tangan. Lalu...
Rey & Rifky: "Satu, dua, tiga ...!"
Rey mengeluarkan ibu jarinya dan Rifky mengeluarkan jari telunjuk.
Rey: "Nah, aku menang. Jadi aku berhak dekat sama Merry"
Rifky: "Tidak bisa, aku tidak terima. Aku lebih tampan dan lebih tua"
Rey: "Ya, kau setengah benar"
Merry: "Sudah! Sudah! Aku pikir kalian mau berkelahi. Tapi, please kalian jangan seperti ini. Kalian sudah besar, bukan anak kecil lagi!" (Pergi meninggalkan mereka berdua yang sibuk saling menyalahkan satu sama lain)

                             ***

Malam hari di rumahnya, Merry masih memikirkan kejadian tadi pagi. Dia pun mencoba menceritakannya kepada ibunya.
Tante Sarah: "Merry anakku, kamu kenapa kelihatan sedih? Ada masalah?"
Merry: "Aku bukannya sedih, Bu. Aku bingung. Tadi pagi, ada dua laki-laki hampir berkelahi karena aku"
Tante Sarah: "Lalu apa yang kamu bingungkan? Biarkan saja mereka berkelahi. Bukan urusan kamu"
Merry: "Aku bingung, kenapa mereka harus bersikap seperti itu karena aku? Dan sekarang jadi urusanku juga"
Tante Sarah: "Itu karena mereka sedang berlomba memperebutkan hatimu"
Merry: (Terdiam sejenak sambil menahan isak) "Bu, apa aku sudah boleh pacaran? Selama ini, ibu selalu saja melarangku. Aku sudah besar, Bu. Aku janji akan jaga diri dan aku tahu akan batas-batas"
Tante Sarah: " Baiklah, Ibu izinin, tapi kamu harus bisa memilih laki-laki yang terbaik buat kamu. Jangan sampai salah pilih!"
Merry: Terima kasih, Bu. Aku sayang Ibu"
Mereka pun berpelukan. Suasana hangat terjalin dari mereka berdua yang sebenarnya jarang merasakan saat-saat seperti ini.

                                       ***

Friday, November 11, 2011

Kucing Yang Tercabik

Awas matanya mulai gelisah.
Raut wajahnya makin memerah.
Mengais tulang belulang di tempat sampah.
Hingga jenuh sambil terus mendesah.

Tak ada guna lagi menutup kedok.
Karena badan sudah penuh borok.
Bulu-bulunya kian cepat rontok.
Di sepanjang jalan yang bobrok.

Wahai, kucing yang tercabik..
Terimalah salam hangatku yang memekik.

"Selamat malam!"
"Selamat makan!"

M. Fathir Al Anfal (2011)

Thursday, November 10, 2011

Boogle City

Dia dilahirkan di kota ini dua puluh tiga tahun yang lalu. Kota yang dahulu sampai sekarang penuh dengan pepohonan rimbun yang mengelilinginya, bagai sebuah kota di tengah hutan. Terdapat sebuah sungai yang membelah kota ini. Sungai yang begitu panjang, bersih, tanpa limbah pabrik. Tak seperti sungai-sungai yang ada di kota-kota besar yang keruh dan penuh sampah. Dahulu waktu ia masih kecil, ia sering sekali mandi di sungai tersebut tanpa rasa gatal ataupun koreng di kaki. Bahkan sampai sekarang, sungai itu tak pernah membawa penyakit untuk warga. Tak pernah ada bencana yang terjadi. Tak ada banjir begitupun tanah longsor. Warganya hidup tentram walau dalam ketertinggalan zaman.

Kini, ia kembali ke kota ini dengan sebuah rencana. Rencana yang ia anggap sangat baik untuk mengembangkan bisnisnya. Misinya adalah memajukan kota ini dan mensejahterakan penduduk kota ini. Kota ini bernama Bugel. Kota kecil yang besar jiwanya. Inilah kotaku. Tempat dimana aku lahir. Kotanya juga. Kami adalah kawan masa kecil, jauh sebelum ia kembali ke sini dari kota besar yang jiwanya kecil itu.

Kami selalu bersama-sama. Main bersama, makan bersama, kadang juga mandi bersama. Tapi lagi-lagi, itu dulu, sebelum dia bersama keluarganya pindah ke sana. Saat terakhir kali kami bertemu, aku memeluknya. Kami terbawa dalam suasana haru dalam pelukan itu seperti yang dilakukan orang dewasa di sinetron ataupun di dunia nyata, padahal saat itu kami masih berumur 9 tahun.


Wednesday, November 9, 2011

Laba-Laba Hitam Putih

Kita adalah laba-laba. Delapan kaki. Dua sisi.
Hitam. Putih.

Kita adalah laba-laba. Empat kaki hitam. Empat kaki putih.
Hitam hitam hitam hitam. Putih putih putih putih.
Putih hitam hitam hitam. Hitam putih putih putih.
Hitam putih hitam putih. Putih hitam putih hitam.

Kita adalah laba-laba. Dua kaki hitam. Enam kaki putih.
Hitam putih putih putih. Putih putih putih hitam.
Putih putih putih hitam. Hitam putih putih putih.

Kita adalah laba-laba. Enam kaki hitam. Dua kaki putih.
Putih hitam hitam hitam. Hitam hitam hitam putih.
Hitam hitam hitam putih. Putih hitam hitam hitam.

Kita adalah laba-laba. Delapan kaki hitam.
Hitam hitam hitam hitam. Hitam hitam hitam hitam.

Kita adalah laba-laba. Delapan kaki putih.
Putih putih putih putih. Putih putih putih putih.

Kita adalah laba-laba.

Hitam. Putih.

Kita adalah laba-laba.
Laba-laba yang bagaimanakah kita?

M. Fathir Al Anfal (2011)

Tuesday, November 8, 2011

SAWO episode 3

Briptu Adam terbangun di sebuah ruangan yang begitu gelap. Dia melihat-lihat ke kanan, ke kiri, atas, semuanya. Dia tak tahu sedang ada dimana. Tak ada pintu, tak ada jendela, dan hanya ditemani lampu yang terang-redup berkali-kali. Raut mukanya begitu ketakutan. Dia ingin berdiri namun kakinya tak kuasa untuk berdiri lagi.

Lalu muncullah seseorang berjubah hitam di hadapannya yang tak tahu datang darimana. Dengan membawa sebilah pisau yang berlumuran darah, dia menatap Briptu Adam yang ketakutan. Briptu Adam menengadahkan wajahnya, namun ia tetap tak bisa mengetahui siapa di balik wajah yang gelap itu. Hingga akhirnya, orang berjubah hitam itu membungkukan tubuhnya sampai-sampai wajahnya terlihat jelas oleh Briptu Adam. Briptu Adam terkejut dan sempat tak bisa berkata.

"Veni? Jangan Ven, mas mohon!", ujar Adam.
Dia tak peduli, lalu berdiri, dan siap menghujamkan pisaunya hingga ke ulu hati Adam.
Adam yang tak bisa berdiri, dengan ketakutan, menyeret tubuhnya ke belakang sampai dia terpojok. Dia sadar dia akan mati karena tak ada jalan keluar.
"Ven, kenapa kamu jadi seperti ini? Aku masih mencintaimu. Bunuhlah mas jika memang itu maumu", ujar Adam. Lagi lagi dia seakan tak mendengarkan, tanpa ampun, orang berjubah hitam yang Adam sebut "Veni" itu menusukkan pisau ke perut Adam. Darah pun memuncrat. Membasahi pisau yang semakin merah.

                                  ***



Monday, November 7, 2011

Kedok Magic

Aku bukan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Aku hanya manusia awam yang tak mengerti tentang surga dan neraka. Aku tak bisa memutuskan akan kemana dia nanti. Surga atau neraka? Aku tak tahu, sungguh tak tahu, dan takkan pernah tahu. Aku hanya ingin mengambil pelajaran. Dari apa yang terjadi hari itu. Bukan tentang aku, tapi tentang dia yang raganya ada di sana tapi aku tak tahu jiwanya kini ada dimana.

Pukul 07.00 WIB, Yayasan Yatim Piatu.
Dia berjalan dengan tegap, bajunya rapi, dan senyum yang ramah kepada penghuni yayasan. Dia disenangi oleh anak-anak di sana. Setiap kali dia datang, tampak raut muka gembira anak-anak yang masih polos dan lugu menghiasi suasana yayasan. Dia dikenal sebagai orang yang dermawan bagi semua penghuni yayasan termasuk pendiri yayasan karena dialah donatur tetap yayasan yang sudah berdiri sejak masa orde baru itu. Setiap bulan, gelontoran uang bernominal puluhan juta pasti didonasikan untuk yayasan. Sungguh perbuatan yang mulia. Sulit menemukan orang yang masih peduli dengan anak-anak yatim piatu di zaman seperti ini.

Pukul 11.00 WIB, Margo City.
"Jadi aku harus bagaimana agar ini bisa terselesaikan, kawan?", ujar seorang pria kepadanya.
"Gampang, asalkan ada uang, masalah tuntas", ujarnya.
"Kau yakin?", tanya temannya lagi kepadanya.
"Ya, semua bisa di atur, aku akan menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisinya dan kita akan berpesta malam ini!", tegasnya dengan senyum meyakinkan.


Sunday, November 6, 2011

Cinta Jedag-Jedug (eps. 2)

Malam harinya, Rifky yang dengan gayanya yang pede benar-benar nekat ke rumah Merry. Sesampainya disana .....
Rifky: (Mengetuk pintu) "Selamat malam"
Pintu dibuka, namun yang keluar bukan sosok cantik yang diidam-idamkannya itu, melainkan ibunya yang sudah terkenal galak.
Rifky: "Malam tante, Merrynya ada, saya mau ...."
Tante Sarah: (Menampar Rifky) "Mau apa?"
Rifky: "Kok saya ditampar, tante?"
Tante Sarah: "Kenapa? Tidak suka atau mau lagi?"
Rifky: "Tidak tante, terima kasih. Ini sudah sangat sakit! Saya pulang dulu ya tante"
Tante Sarah: (Menarik Rifky) Mau kemana? Seenaknya saja kamu. Datang tak diundang, pulang main nyelonong aja"
Rifky: "Lalu saya harus bagaimana tante?"
Tante Sarah: "Mudah, kamu hanya tinggal mengatakan bahwa saya adalah permpuan tercantik di kota ini!" (Tertawa puas)
Rifky hanya menganga.
Tante Sarah: "Cepat katakan! Kamu mau saya tampar semalaman disini?"
Rifky: "Oke Tante. Pokoknya tante itu adalah perempuan yang paling cantik di kota ini. Kecantikan tante tiada duanya" (Tersenyum lebar)
Tante Sarah: (Tertawa lagi) "Bagus bagus. Sekarang kamu boleh pulang dan jangan kembali lagi!"

                                       ***

Saturday, November 5, 2011

Pendidikan

Jika kau ingin mencari ilmu
Dialah jalannya.
Jika kau ingin memerangi kebodohan
Dialah senjatanya.
Jika kau ingin membuka masa depan
Dialah kuncinya.
Jika kau ingin membangun cita-cita.
Dialah pondasinya.

Dia tak menuntunmu menjadi mereka:
Yang merubah ilmu menjadi api,
Yang gila harta bahkan kuasa,
Yang malas dalam jiwanya,
Yang tak tahu siapa dirinya,
Yang berkata mawar adalah melati,
Yang mendzalimi dan merampas hak kami.

Dia menuntunmu menjadi kami:
Para kurcaci dengan tekad besar
Didera nominal rupiah yang menghadang
Kami tetap melangkah dengan gentar
Demi satu tujuan menuju petang.

Bersamanya,
kami menjelma menjadi raksasa
Bukan raksasa yang hanya bisa tertawa
kami raksasa yang menerangi setiap jalan
Agar kau tak tersesat dalam negeri gelap ini.
 
M. Fathir Al Anfal (2011)

Makna Cinta

Cinta itu rumit.
Belum pasti "Ya", belum pasti "Tidak".
Tak hanya pesona, Tak hanya materi.
Cinta butuh alasan, bukan bualan.
Karna cinta adalah bukti, bukan janji.

Cinta seperti permainan.
Kadang ditarik, kadang diulur.
Mungkin mengejar, mungkin dikejar.
Tapi, cinta tak ingin dipermainakan.
Dia hanya ingin singgah di setiap sanubari.

Cinta penuh rasa.
Coklat & kopi, susu & keju.
Membuatmu tersenyum, membuatmu menangis.
Namun, cinta tak sekedar untuk dinikmati.
Dia adalah rasa yang harus dijaga sepenuh hati.

Cinta adalah misteri.
Menunggu untuk galau, mencari untuk bimbang.
Tak kenal waktu, tak tentu tempat.
Sesungguhnya cinta punya caranya sendiri.
Cara untuk memperkenalkan makna dirinya yang sejati.

M. Fathir Al Anfal (2011)
 
Selamat Hari Raya Idul Adha bagi Anda yang merayakannya.
Mari berbagi CINTA kepada sesama.

Thursday, November 3, 2011

Semua Ada Di Sini

Kisah apa yang kau inginkan, nak?
Katakanlah!
Kisah tentang hutan yang tak lagi hijau,
Gerombolan fauna yang hijrah ke kota,
Semua ada di sini.

Kisah apa yang kau inginkan, nak?
Katakanlah!
Kisah tentang penganiayaan,
Pemberontakan kaum buruh,
Tragedi kemanusiaan yang panjang,
Semua ada di sini.

Kisah apa yang kau inginkan, nak?
Katakanlah!
Kisah tentang kegilaan manusia,
Pejantan yang memakai rok,
Perawan yang duduk mengangkang,
Penyuka sesama kelamin,
Semua ada di sini.

Teror!
Intimidasi!
Kelaparan!
Kezaliman!
Kebohongan!
Semua ada di sini.

Katakanlah!
Aku tak punya banyak waktu.

M. Fathir Al Anfal (2011)

Wednesday, November 2, 2011

Setia Tak Setia

Warnet adalah tempat yang tepat bagiku di hari itu untuk mendinginkan hati yang saat itu begitu panas. Bukan karena ruangannya yang ber-AC tapi dari situlah aku bisa mencurahkan panas hatiku kepada dunia. Panas yang kualami bukan hanya sekedar panas akibat surya bara neraka yang menyentuh kulit tapi lebih dari itu. Siang di hari itu yang begitu panas mendadak mendung di sore hari, di saat aku sudah berada di depan layar komputer. Menuangkan perasaan marahku di facebook dan juga twitter.

Tapi, kenapa aku marah dan kenapa hatiku begitu panas? Mungkin kamu ingin tahu atau mungkin kamu tak peduli, lalu pergi begitu saja. Percayalah, aku juga tak peduli. Aku hanya ingin menceritakan apa yang kurasakan. Rasanya sakit hati, rasanya dikhianati, rasanya diselingkuhi, dan semuanya. Aku akan mengenalkan siapa diriku dan mulai mengisahkan kisah pedih yang mungkin pernah kamu alami juga ini, tak peduli kamu ingin mengetahuinya atau tidak. Sekarang, pilihan ada di tanganmu.


Tuesday, November 1, 2011

SAWO episode 2

Di dalam sebuah ruangan yang cukup gelap seakan sinar matahari sulit masuk, entah dimana, seseorang yang menggunakan jubah hitam sedang membersihkan tangannya dari darah yang sudah agak mengering. Tangannya begitu halus dan putih dan nampak semakin cerah setelah noda darah itu benar-benar lenyap dari tangannya. Dia matikan keran, berjalan, lalu duduk di sebuah kursi yang di depannya terdapat sebuah meja. Ia membuka laci meja yang paling atas yang di dalamnya terdapat sebuah buku kecil, semacam buku catatan. Tangan kirinya lantas mengambil buku itu dan tangan kanannya secara bersamaan mengambil spidol merah yang berdiri di atas meja. Buku itu nyaris kosong, hanya ada tulisan di tengah buku. Tulisannya berupa daftar nama-nama yang sebagian sudah tak asing lagi. Nama-nama itu adalah sebagai berikut:

Ahmad Tarmizi / Joni
Suryadi / Bejo
M. Anwar / Koplak
Reni Elliani
Purnomo


Nama yang pertama sudah tercoret garis merah. Kini, ia mencoret nama yang kedua secara perlahan dengan spidol merah itu lalu menutup buku tersebut dan meletakkannya kembali di laci yang sama.

                                        ***


Monday, October 31, 2011

Untuk Dia Yang Merasa Gila

Memangnya siapa dia?
Menganggap dirinya gila.
Ketahuilah!
Aku jauh lebih gila.
Gila yang segila-gilanya gila.

Gila harta!
Gila kuasa!
Gila wanita!
Gila dunia!

Kurang gila apa?

M. Fathir Al Anfal (2011)

Sunday, October 30, 2011

Pesan Seorang Pria Tua

Entah siapa pria tua itu. Nama, asal, semuanya, aku tak tahu. Mungkin saja dia malaikat yang menyamar jadi manusia seperti kisah zaman Nabi di buku-buku islami. Mungkin juga orang gila yang mampu berkata-kata dengan bijaknya. Tapi, apa mungkin orang gila bisa berkata bijak dan memiliki pandangan atau cara berpikir yang seperti kaum intelek?

Ucapannya terus terngiang di otakku. Seakan memaksaku merenung dalam sepinya malam.

Sejak kecil, aku selalu bercita-cita menjadi seorang artis papan atas -minimal di Indonesia sajalah- yang dikenal dan dikagumi banyak orang. Punya uang banyak dan main gila dengan banyak wanita. Tentunya, pikiran tentang "main gila" itu baru muncul setelah aku beranjak dewasa dan mengetahui sisi lain menjadi seorang artis. Namun, cita-cita itu segera menjadi renungan setelah aku bertemu pria tua itu.

Kemarin, di sebuah pemakaman umum di dekat rumahku, ada syuting sebuah film yang katanya akan rilis di bioskop akhir tahun nanti. Aku yang sebagai calon artis pun, lantas tak ingin ketinggalan melihat proses syuting film yang disutradarai oleh sutradara terkemuka di negeri ini serta dibintangi oleh wajah-wajah yang sudah tak asing menghiasi layar TV kita. Bahkan aku rela membolos sekolah demi memenuhi keinginan hati.


Cinta Jedag-Jedug (eps.1)

Pagi itu, di kantin sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di LA (Lenteng Agung), dua orang sahabat berbeda kelamin sedang asyik berbincang.
Rey: "Pagi jeng!" (sambil menepuk bahu Ajeng lalu mengamati raut mukanya), suntuk sekali kau, kenapa kau ini?"
Ajeng: "Ya begitulah, aku sedang bingung memikirkan tugas dari Pak Abdullah. Banyak sekali! Kamu mau bantu aku?"
Rey: (mengelus dada) "Bisa diatur, wani piro?" (Tersenyum licik sambil memainkan jarinya -melambangkan uang-)
Ajeng: "Huh, setengah Rupiah saja ya?" (Tertawa kecil)

Tiba-tiba, seorang perempuan cantik, secantik aktris papan atas Korea, lewat di depan mereka. Wajahnya begitu putih dan mulus. Badannya langsing, tinggi, dan seksi. Rambutnya hitam panjang terurai. Ia kibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri saat melewati mereka. Seakan menyela pembicaraan mereka dan membuat Rey menganga lalu berlalu begitu saja.
Ajeng: "Woi! Melihatnya biasa saja kali, seperti baru pertama kali melihat perempuan saja seumur hidup"
Rey: "Melihat perempuan sih setiap hari, tapi yang cantiknya subhanallah seperti dia itu dan live ya baru sekali ini. Kira-kira, siapa ya namanya?"
Ajeng: "Namanya Merry. Dia memang perempuan tercantik di sekolah ini. Tidak heran kalau banyak laki-laki yang naksir sama dia tapi ada satu yang paling ambisius sampai-sampai tak ada yang berani mendekati Merry karena dia. Namanya Rifky"
Rey: Kamu tahu darimana semuanya? Terus Rifky itu siapa? Terus perasaan Merry ke Rifky bagaimana?"
Ajeng: "Aduh Rey, kalau bertanya itu satu-satu! Sudah pusing tambah pusing aku. Lagian kamu kemana saja sampai tak tahu menahu tentang mereka berdua?"
Rey: "Yasudah, aku minta maaf, aku kan masih baru disini, tapi jawablah pertanyaanku, oke?" (Tersenyum manis)
Ajeng: "Intinya, jangan main-main sama Merry deh kalau tidak mau berurusan sama Rifky. Tapi, Merry sendiri sebenarnya juga tidak mudah didekati bahkan oleh Rifky sekalipun. Waktunya banyak dihabiskan dengan baca novel. Kurang lebih begitu. Apa informasi itu cukup untukmu?" (Melotot ke arah Rey)
Rey: (Hanya mengangguk)

                                                              ***

Saturday, October 29, 2011

Di Ambang Pintumu

Ketika malam datang
Kau terlelap di atas ranjang
Aku menjaga di ambang pintumu.

Kala fajar membias
Kau bersiap bergegas
Aku masih di ambang pintumu.

Doa dan cinta ini berpadu
Melingkari setiap langkahmu
Hingga kemerahan di langit biru
Aku menunggu di ambang pintumu.

Masihkah kau sengaja buta?


Thursday, October 27, 2011

Api Yang Tak Kunjung Padam

Dia teringat sebuah malam
Di mana api itu berkobar sebulan yang lalu
Api yang membakar hingga ke ujung tali
Api yang tak kunjung padam
Meski hujan turun

Di sisi bumi yang gelap
Pengap
Di tengah sinar pudar bulan
Sedan
Aku menyaksikan sebuah pedih hati
Sahabatnya telah pergi

Mengapa api itu ada di saat jutaan orang
Mencuci bersih segala kebencian
Di dada?
Dia makin pilu
Membisu
Seperti batu


Wednesday, October 26, 2011

SAWO episode 1

"Aaaaaaaaa! ada mayat! ada mayat!", teriak seorang wanita paruh baya yang hendak ke pasar sambil menutupi matanya dan berlari ketakutan, mendengung di telinga setiap warga yang mendengar, mengacaukan waktu tidur mereka di pagi yang masih buta di desa itu. Sontak, mereka berhamburan dari rumah menuju kebun Sawo di pinggir desa untuk mengerumuni jasad pria yang ternyata dikenali sebagai Bejo, pemabuk sekaligus penjudi di desa itu. Jasadnya masih segar. Darah yang berceceran pun belum terlalu hitam dan pekat.

Desa Sawo yang dulu tentram kini kian mencekam. Ini bukan pembunuhan yang pertama. Lima hari yang lalu, Joni, yang juga merupakan teman Bejo ditemukan tewas di kontrakannya. Salah satu warga segera menelepon polisi dan beberapa warga lainnya bergegas ke rumah Pak RT untuk melaporkan hal ini.


Puisi Rumpang

Dulu miskin, sekarang tambah miskin.
Dulu kaya, sekarang tambah kaya.
Dulu korupsi, sekarang (.....)

Sekali kuning, tetap kuning.
Sekali merah, tetap merah.
Sekali biru, (.....)

Di sini bisu, di sana bisu.
Di sini tuli, di sana tuli.
Di sini bencana, di sana (.....)

Kamu inginkan jawaban?
Sesungguhnya aku pun demikian.

M. Fathir Al Anfal (2011)