Wednesday, December 14, 2011

Bu Puji

Malam itu, TV kesayanganku akhirnya kembali juga setelah kurang lebih 7 bulan mendekam di rumah mantan tetanggaku yang sangat baik kepadaku, Mas Aryo. Dua hari sebelumnya, beasiswaku cair. Tak penting masalah nominal. Tapi, uang yang sudah diberikan pemerintah itu kuambil untuk membayar kontrakanku yang sudah nunggak 3 bulan serta mengambil TV yang telah lama tergadai di tangan Mas Aryo. Aku begitu rindu dengan TV kesayanganku. Andai aku dulu tak mengontrak di kontrakan Bu Puji sialan itu, ini semua takkan terjadi.

Bulan Maret tahun 2011 adalah awal aku mengontrak di kontrakan Bu Puji. Aku mengontrak sendirian. Kenapa? Itu tak penting, yang jelas, sejak November tahun 2010, aku sudah tinggal sendirian. Ibu kandung di kampung halaman. Bapak dan ibu tiriku yang gila di sini, di kota ini juga. Aku tak mungkin tinggal bersama mereka, karena yang ada hanya masalah dan konflik, yang akhirnya berujung rasa malu. Malu kepada tetangga yang nyaris tiap hari disuguhi kegilaan-kegilaan yang dilakukan si ibu tiri gila itu.

Awalnya Bu Puji terlihat sangat baik. Dengan berstatuskan guru pengajian di RT setempat, ia dengan senyumnya yang palsu dan lidahnya yang bercabang dua membuatku terjebak di sana. Di kontrakan setan itu. Biaya sebulannya adalah 250 ribu. Itu belum sama biaya listrik.


Satu bulan berlalu, masalah belum muncul. Namun, ternyata kedok Bu Puji akhirnya terbongkar juga. Dia adalah orang yang matrealistis dan tak ada belas kasihan. Setiap awal bulan, ia selalu berdiri di bawah tangga kontrakan yang terdiri dari 7 pintu. Tiga di bawah dan empat di atas. Begitulah yang diucapkan Vivi, tetanggaku, yang sudah 9 bulan mengontar di situ. Dia risih sekali ditagih-tagihi terus. Dicegat di bawah tangga. Padahal tanpa ditagih pun, dia pasti membayarnya walau kadang terlambat. Tapi, anehnya kok dia betah ya?

Pada bulan pertama, biaya listrik saja mencapai 90 ribu-an. Apa-apaan itu? Dia benar-benar tak bisa dipercaya. Tak seperti awal kali ia bicara yang takkan mempersulit penghuni kontrakannya. Tapi nyatanya? Baru telat dua bulan saja, TV-ku sudah di ambil paksa sebagai jaminan dan di suruh get out sampai hutang kontrakan dua bulan itu lunas. Seharusnya, kalau aku memang harus keluar, ya tak perlulah membayar tagihan kontrakan. Dia pun makin mengada-ngada, dengan menambahkan biaya sampah dan menaikan biaya listrik di tagihan hutangku. Padahal sebelumnya, dia tak pernah bicara masalah uang sampah, tapi kini dia menangihnya selama 3 bulan terakhir. Ah, benar-benar gila orang itu.

Bapakku harus melunasinya sebesar 600 ribu, tapi hanya bisa di bayar setengahnya. Untungnya, tetanggaku yang juga benci dengan Bu Puji, Mas Aryo datang dan membayarkan 300 ribu sisanya dengan syarat TV di taruh di tempatnya.

"Daripada di taruh ditempat dia, mending taruh tempat gue aja Thir. Lumayan bisa buat gue nonton bola. Kalau sama dia, nanti masalah elu ga selesai-selesai. Kalau di taruh di gue, masalah elu sama Bu Puji tuntas.", ujar Mas Aryo saat itu.

Aku dan bapakku pun menyetujuinya. Namun, lagi-lagi, Bu Puji yang seakan tak ikhlas TV itu di taruh di tempat Aryo dan tak rela bila hutangku ditalangin Aryo pun mencoba menggagalkannya, namun dia tak berhasil. Hingga akhirnya, bapakku pun turun tangan dalam masalah ini. Bu Puji takut dengan bapak, karena jauh hari, mereka sempat berteleponan masalah tagihan kontrakan dan bapak membentaknya dengan kata-kata kasar yang membuatnya takut, nampaknya seperti itu.

Dia pun tak berani menjelek-jelekkanku seperti biasannya. Di depan bapak, dia seperti memuji-muji aku dan membela dirinya. Hah? Aku diam saja. Biarlah, lidah bercabangnya terus mengatakan hal-hal dusta. Toh, sebagai guru ngaji, harusnya dia tahu mana yang dosa, mana yang pahala. Ya kan?

Sejak saat itu sampai sekarang, aku mengontrak di kontarakan orang yang baik. Yang mau mengerti tentang masalah ekonomi orang lain. Biaya kontarakannya pun murah, sebulan hanya 230 ribu. Itu sudah termasuk kontrakan, listrik, dan iuran uang sampah.

Dan mulai malam itu, aku sudah bisa menikmati TV-ku kembali. Aku tersenyum dan tertawa lega. Oh, TV-ku sayang......

                       ***

"Memaafkan dia?", tanyaku.
"Ya, dia sudah sangat menderita. Dia tahu dulu punya salah kepada kamu. Jadi, tolong maafkan dia!", ujar Pak RT menengetangahkan permasalahan.
"Ia mas, tolong", ucap Sefty menambahkan dengan muka memelas dan sedikit tetes air mata.
"Biarlah dia kesakitan dan terbujur kaku. Seharusnya juga kalian tidak memilih dia sebagai guru ngaji. Kalian lihat dulu sisi lainnya dia. Aku memang hanya anak usia 18 tahun yang kalian sepelekan pastinya segala ucapannya. Namun, jangan lihat siapa yang berbicara, tapi lihat apa yang ia bicarakan. Ingatlah itu."

Semua terdiam. Hening. Seakan tak ada yang bernafas.
"Satu lagi, satu maaf dariku saja tak cukup. Dia punya banyak dosa dengan penghuni kontrakan dia yang lainnya. Semua sudah bercerita denganku, yang sudah muak dengan kematrealistisan dirinya dan riba yang ia dapat dari kontarakan kecil dan mahalnya itu. Mungkin juga, aku mau memaafkannya jika TV itu menjadi jaminannya.", tegasku sambil menunjuk TV LCD 21 inc yang ada di ruang tengah rumah itu.

Seperti hukum Newton 3: "Setiap aksi akan memberikan reaksi yang sama dan arahnya berlawanan". Teori itu yang membuat aku berkata demikian. Biar dia tahu rasanya jadi aku.

Aku lalu pergi meninggalkan mereka yang terdiri dari Bu Puji yang terbaring sakit tak berdaya, Pak RT, dua orang tetangganya, lima orang ibu-ibu yang biasa mengaji dengannya, Suami dan anak perempuannya yang cantik.

M. Fathir Al Anfal (2011)


No comments:

Post a Comment