Wednesday, December 7, 2011

Imam Vs Makmum

"Allahu Akbar, Allahu Akbar.....", azan berkumandang di pagi buta yang masih lekat dengan gelap walau terang sudah mulai menghinggap langit meski kadang tak terlihat. Empat orang aneh bangun secara bersamaan seperti sudah janjian sebelumnya. Meski kantuk masih terasa dan badan belum 100% kembali, satu per satu dari mereka berdiri, mengambil sarungnya masing-masing dalam sebuah lemari kayu, lalu melangkah ke kamar mandi, tempat mereka mengambil air wudu.

Semalaman suntuk Agus, Rudi, dan Ozan menginap di kosan Cahyo, yang cukup sepi di kala malam walau malam itu malam minggu sekalipun. Mereka mengerjakan tugas kuliah bersama lalu bermain kartu remi hingga hawa dini memaksa mereka tidur. Baru 2,5 jam tidur, azan sudah membangunkan mereka dan seakan memaksa mereka bangun untuk menghadap Pencipta-Nya.

Selepas mengambil air wudhu, mereka lalu memulai solat berjamaah.
"Rud, imam?", ujar Cahyo.
"Jangan! Tuan rumah dulu lah", jawab Rudi.
Akhirnya, Cahyo menjadi imam di salat Subuh yang terdiri dari dua rakaat tersebut.

"Rapatkan shaf-nya", ujar Cahyo mengawali. Salat pun dimulai. Cahyo mengucapkan Takbiratul ihram yang diikiuti oleh ketiga makmumnya yang terlihat masih ngantuk dan tidak 100% semangat untuk salat.

Surah Al-Fathihah mulai dibacakan dengan suaranya yang lantang yang kemudian diikuti dengan surah lainnya yang begitu panjang, aku sendiri tak tahu surah apa yang ia bacakan. Namun, pembacaannya dengan dilagukan dan agak mendayu-dayu. Ketiga orang makmum tersebut, dalam hatinya, ternyata memiliki pendapat berbeda-beda, seperti sedang berdebat, namun di dalam hati, seperti di sinetron-sinetron.

"Apaan nih? Tambah ngantuk deh gue.", ujar Agus dalam hatinya.
"Imam yang kayak gini nih yang bagus, pembacaan surah-nya fasih dan sanat enak di dengar sambil dilagukan seperti itu.", isi hati Ozan.
"Memang sih, tapi ya tidak seperti itu juga. Salat subuh yang 2 rakaat yang seharusnya bisa kurang dari 5 menit saja bisa serasa satu jam bila seperti itu. Belum lagi, pembacaan surah lainnya. Untuk apa pula dia membaca surah pendek yang panjang-panjang? Mau pamer kah?", tanya Agus, masih dalam hati mereka masing-masing.
Rudi coba mengetengahkan, "Tajwid dan kefasihan itu memang penting namun tak harus dilagukan jika konteks kita sedang salat berjamaah bukan tadarus Al-Quran. Harusnya Imam berpikir, bisa saja, makmumnya punya urusan lain yang karena Imamnya lama memimpin solat, membuat dia jadi gondok. Satu hal yang ku tahu, dalam solat berjamaah, bila 51% makmumnya jengkel, salat itu seakan tak berarti."

Salat subuh pun berakhir dan mereka bersalam-salaman. Imam yang tak tahu menahu perbincangan dalam hati para makmun, tersenyum puas. Dia tak tahu. Mungkin takkan pernah tahu.

                                    ***


Siang dan sore berlalu. Banyak aktivitas mereka lakukan setelah salat Subuh tadi. Dari jogging, bermain PS, sampai bermain bola tanpa melupakan salat Dzuhur dan Ashar yang juga mereka lakukan berjamaah.

Tak terasa, senja yang begitu indah, yang banyak disukai orang-orang yang mencintai keindahan sudah menyatu dengan langit biru dan menemani kepergian sang matahari. Azan Magrib berkumandang. Sudah saatnya salat Magrib yang mereka putuskan untuk kembali berjamaah.

"Bagaimana jika kau saja yang imam, Zan? Ayolah, si Cahyo lama.", pinta Agus kepada Ozan secara empat mata tanpa sepengetahuan Cahyo. Rudi pun menyanggupi. Akhirnya, Ozan pun menjadi imam di salat Magrib kali ini.

Seperti biasa, surah Al Fatihah yang dikumandangkan menjadi penilaian pertama para makmum dan lagi-lagi perdebatan dalam hati pun terjadi. Kali ini, antara Cahyo, Rudi, dan Agus. Cahyo memulai, "Kok imam seperti ini? Pembacaannya pelan sekali dan sangat cepat, ini tidak khusyuk namanya."
"Justru yang cepat yang bagus, tapi memang tak sepelan ini, mungkin memang karena suara Ozan yang kecil jadi agak mendem gitu"
"Lho kenapa? solat jamaah kan untuk orang banyak, bukan untuk diri sendiri, kalau bacanya pelan begitu, siapa yang mau mendengar. Itu sama saja dia solat seorang diri.", tegas Cahyo.
Agus lalu memutar perkataan Cahyo, "Lah kalau tahu solat untuk orang banyak, kenapa kamu sendiri saat jadi imam seperti sedang solat seorang diri yang harus khusyuk dan lama. Ke-khusyuk-an itu tidak harus dilihat dari lama atau tidaknya solat tapi kalau para makmum sudah jengkel, salat itu bisa dikatakan tidak khusyuk lagi dalam solat berjamaah"
"Ah, sudah, lebih baik aku saja yang menjadi imam di salat Isya nanti", ujar Rudi mengakhiri percakapan dalam hati mereka.

Solat Magrib yang dipimpin Ozan pun berakhir dan mereka bersalam-salaman. Dalam hati, Ozan berungsut, "Komentar apa ya yang mereka katakan padaku saat aku jadi imam tadi?"

                             ***

Tak terasa, azan Isya sudah terdengar lagi. Seperti yang sudah dikatakan Rudi tadi, dia yang menjadi imamnya. Mereka pun menyetujui.

Salat di mulai. Rakaat pertama dan kedua berjalan lancar dengan pembacaan yang lantang, namun tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat, serta pemilihan surah pendek yang tidak panjang-panjang dan banyak orang tahu, setidaknya untuk Agus, Cahyo, dan Ozan sendiri.

Lalu Rudi melakukan takhiyat akhir yang membuat para makmum bingung. Mereka pun berkata, kali ini tidak dalam hati, "Woy, jadi imam yang bener! Solat Isya empat rakaat, bukan tiga!!!"

M. Fathir Al Anfal (2011)

No comments:

Post a Comment