Tuesday, March 6, 2012

Status: Mencari Cinta Sejati

Cinta adalah misteri.
Menunggu untuk galau, mencari untuk bimbang.
Tak kenal waktu, tak tentu tempat.
Sesungguhnya cinta punya caranya sendiri.
Cara untuk memperkenalkan makna dirinya yang sejati.

(Pemuisi Berlevel Amatir-Makna Cinta, 2011)

foto: google.com

Cinta memang diliputi misteri. Tak ada seorang pun yang akan tahu; kapan, dimana, dan kepada siapa ia akan jatuh cinta. Bisa saja kau akan jatuh cinta kepada anak tukang pecel di perempatan jalan, esok atau lusa, ya kan? Karena memang benar, kalau cinta datang tak sengaja. Kita tak bisa menyengajakan cinta kita kepada siapapun, begitu juga menyengajakan cinta orang lain kepada kita atau lebih parahya memaksakan. 

Untuk mayoritas kaum hawa, mereka lebih suka menunggu untuk didatangi pangerannya (mungkin dengan kuda merah yang gagah). Tapi, masalahnya, menunggu terkadang membuat bosan dan dari kebosanan itulah kegalauan menyerang. Apalagi kalau menunggu sesuatu yang tak mungkin menghampiri. Rasanya bagai melakukan ketololan yang konyol.

Sementara itu, bagi kaum adam yang gagah berani, selalu ingin mencari dan mengejar. Tapi, terkadang di setiap pencarian, selalu ada dilematika yang mengantar kebimbangan sampai ke pangkal hati. Bisa saja dua atau mungkin empat wanita sekaligus menjadi kandidat hatinya. Namun, biasanya, untuk lelaki sejati bukan lelaki bertelinga kelinci, mereka lebih selektif walau memiliki banyak kandidat dan pastinya hanya akan memilih satu wanita meskipun sah-sah saja kalau dia bisa memiliki keempat-empatnya (toh rasio antara lelaki dan perempuan saat ini kan 1:9, jadi satu laki-laki bisa memiliki 9 wanita) tapi bukan berarti berhak. Karena memiliki banyak pasangan itu harus dengan persetujuan dan tentunya konsekuensi yang besar. Jadi, amannya, cukup satu saja.

Toh, baik adam ataupun hawa, yang memang pada dasarnya diciptakan berpasang-pasangan, tak perlu takut tak mendapatkan cinta sejatinya karena sesungguhnya cinta punya caranya sendiri. Ya, caranya sendiri. Bagai sebuah invisible hand, dia mampu menyatukan dua hati yang prosesnya penuh misteri. Toh, kalau sudah jodoh, dia lari ke ujung dunia pun, suatu saat nanti tetap akan kembali ke pelukanmu, kan?

                        ***

Alan bukan seorang lelaki bertelinga kelinci, juga tidak berhidung harimau. Hanya saja, dia sulit untuk memilih. Sebagai seorang arjuna pencari cinta, dia sudah menemui banyak tipe perempuan dan tak jarang ia ditikam cinta hingga ke ulu hati. Namun, ia tetap berdiri, dengan bersimbah luka yang ia jahit sendiri meski pelan-pelan agar lukanya tak malah menjadikannya pesakitan.

Dia sadar, jatuh dari cinta itu sakit, tapi jika tak bisa bangkit lagi, jauh lebih sakit. Begitulah yang selalu disugestikannya kepada dirinya sendiri. Jadi, dengan sekuat tenaga, setelah mengalami putus cinta yang kesekian kalinya, ia kembali mencari dan bertekad untuk benar-benar mencari cinta sejatinya. Tak perlu jauh-jauh, cukup di lingkungan kampusnya saja. Di sana sudah berkumpul banyak perempuan cantik yang siap dinominasikan dan dipilih pemenangnya bagai sebuah Piala Oscar.

Yang pertama, ia bertemu Lena. Awal pertemuannya sungguh tak terduga. Dari sebuah seminar tentang film dan seni, Alan dan Lena yang sama-sama menyukai dunia perfilman dan kesusastraan, mulai menjadi dekat, apalagi saat ternyata secara kebetulan mereka sudah berteman di jejaring sosial Facebook justru sebelum mereka bertemu. Tak ada yang tahu, siapa yang meng-add terlebih dahulu, tapi itulah kenyataannya.

Tapi Alan masih belum yakin kepada Lena, karena di sisi lain, masih ada bagian hatinya yang tak bergetar karena telah terpecah menjadi dua bagian. Ya, masih ada satu perempuan lagi yang membuatnya dilema, galau, bimbang, resah, dan kata apapun jua yang mampu melengkapinya.

Namanya Sani. Gadis manis & lugu ini memang sudah lama menyukai Alan. Itu sangat terlihat saat mereka berdua satu ruangan dalam sebuah mata kuliah wajib di kampus. Seringkali tertangkap basah memandanginya, Alan tetap cool walau sedikit GR alias Gede Rasa. Tapi, bukan GR lagi kalau ternyata memang kenyataannya seperti itu.

Kata teman-temannya, dicintai lebih enak daripada mencintai. Yang perlu dilakukan, kata temannya, hanya belajar mencintai orang yang mencintainya dengan tulus itu atau dengan kata lain, mencintai Sani. Tapi, apa mau dikata? Buat Alan belajar mencintai itu tidak semudah "hanya", tapi benar-benar sulit.

                        ***

Salah satu teman Alan, Dinda, yang sudah ia kenal sejak SMA juga memberikan saran demikian. Bagi Dinda, Alan adalah teman atau sahabat yang baik. Yang mau mendengarkan curhatnya, keluh-kesahnya, dan membantunya mengatasi segala problema. Alan juga yang membantu Dinda yang akhirnya kini memiliki pacar. Itu semua karena bantuan Alan. Dia bagaikan perantara hubungan Dinda dengan pacarnya saat itu (sebelum resmi jadian). Jadi, seakan membalas budi baik Alan, Dinda rela diajak curhat semalaman atau mungkin berkali-kali dalam beberapa malam olehnya.

"Kau hanya tinggal mencintainya, Alan!" ujar Dinda di suatu malam saat mereka sedang berdua di sebuah kafe.
"Tidak semudah itu, Dinda. Coba kau bayangkan, jika aku mencintaimu dan kau dipaksa untuk mencintaiku, bagaimana rasanya?" Alan balik bertanya sambil menatap Dinda dengan tajam.
"Aku tidak tahu," jawab Dinda pelan.
"Nah, kau saja tidak tahu. Lalu untuk apa kamu memberi saran demikian?"
Dinda terdiam. Mulutnya sedikit manyun. Hening seketika meski suasana kafe saat itu sangat ramai. Maklum malam minggu.

"Baiklah. Jadi, kamu akan mengejar Lena kah?" tanya Dinda.
"Entahlah, aku belum tahu dan aku belum yakin," jawab Alan sembari menunduk seakan malu.
"Belum yakin kenapa?" Dinda heran.
"Aku belum yakin kalau dia cinta sejati aku, cinta yang aku cari. Aku sudah tak ingin bermain-main dengan cinta lagi. Aku ingin serius kali ini. Sudah dewasa."
Dinda tertegun dan seakan menelan ludah.

"Kamu ada saran?" tanya Alan lagi sembari mengayun-ayunkan tangannya di depan muka Dinda yang melongo.
"Bagaimana kalau kamu Salat Istikharah. Mintalah kepada Allah agar diberikan jawaban."
"Ide bagus!" sergah Alan sedikit mengagetkan.

Alhasil, Alan pun berniat untuk merealisasikan saran Dinda nanti malam. Ia dan Dinda pun beranjak pulang meninggalkan kafe yang juga belum ada tanda-tanda mau sepi itu. Sebelum pulang, dengan Blackberry-nya, Alan membuka akun facebook-nya dan langsung meng-update status seperti ini: "Mencari cinta sejati". Status itu langsung mengundang banyak komentar dari teman-teman, yang ia kenal maupun tidak, yang turut mendoakan, serta belasan "jempol" yang tersemat di status terbarunya itu.

                       ***

Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, setelah dini harinya Salat Istikharah dalam gelap malam yang hampir membiru dan kesunyian yang benar-benar mendekap kalbu, Alan menemukan cara agar dia bisa yakin untuk memilih yang tepat diantara Lena dan Sani.

Dia meng-SMS keduanya secara bersamaan tanpa memberitahu satu sama lain, agar mereka datang ke rumahnya pada pukul delapan malam dengan alasan meminjam buku. Dalam pikiran dan hatinya, yang datang lebih dulu berarti dialah wanita yang tepat untuknya. Tak lama berselang, keduanya menyetujui untuk datang dan nampaknya yang akan datang duluan adalah Sani, yang dari pesan balasannya nampak sangat bersemangat dan bergairah. Alan hanya tinggal menunggu beberapa jam untuk memastikan jawabannya.

Waktu bergulir bagai air sungai yang dari hulu tanpa terasa sudah berada di hilir. Dia sudah berdandan sangat rapi. Menanti keduanya datang, terlebih yang datang lebih dahulu. Berarti dialah cinta sejatinya.

Namun, semuanya seakan berubah saat pukul 8 hanya tinggal setengah jam lagi. Secara nyaris bersamaan, Lena dan Sani menghubungi Alan. Sani menelepon Alan dan memberitahu bahwa dia dengan sangat menyesal tidak jadi ke rumahnya karena tiba-tiba saudara-saudaranya datang ke rumah. Ia tidak enak jika harus pergi meninggalkan rumah di saat para saudara terdekatnya sedang mengunjunginya.

Berarti Lena, ucapnya dalam hati sebelum akhirnya dia membaca sebuah pesan singkat di Blackberry-nya yang berasal dari Lena.
"Maaf ya Alan, aku tidak bisa ke sana, karena motorku mendadak mogok, tak bisa dinyalakan. Maaf banget ya. Sekali lagi maaf."

Pesan singkat itu mendadak meruntuhkan hati dan mentalnya. Apa-apaan ini? mengapa Tuhan tak memberikannya jawaban? Dia makin pusing. Dandanannya dan rambutnya yang tadinya begitu rapi, dalam sekejap menjadi acak-adul lagi.

Tapi, tiba-tiba.. Tok tok tok..
Terdengar suara ketukan pintu. Siapa pula yang datang ini? Wong jelas-jelas Lena dan Sani tak bisa datang.

Saat Alan membuka pintu, ia terkejut menemui sosok wajah yang sudah lama ia kenali berdiri di depan pintunya, di depan matanya, tepat pukul 8.
"Dinda?" mata Alan membelalak.
"Kenapa? Kok terkejut begitu?" Dinda berkerut kening.
"Kamu mau apa ke sini?"
"Mau main saja. BT di rumah sendirian."
"Tapi kenapa tidak bilang-bilang dulu?"
"Kenapa harus bilang-bilang? Biasanya juga kalau aku main ke sini, tidak pernah bialng-bilang, kamu fine-fine saja kok. Aneh deh! Terus kenapa kamu berantakan begitu?

Alan tak menjawab, apalagi menceritakan hal yang sesungguhnya. Dia harus merahasiakannya dari Dinda sampai waktu memang telah mengizinkannya. Dalam hatinya, apa mungkin Dinda-lah jodohnya? Kepalanya tiba-tiba seakan diadu dengan kepala domba. Brakkkk!!!

                 ***

Sepuluh tahun kemudian.

"Masak apa, Ma, malam ini?"
"Masakan kesukaan Papa. Rendang."
"Wah cocok banget! Oh ya, Aldi sudah tidur?"
"Belum, mau Mama panggilkan?
"Boleh, sekalian mau Papa ceritakan tentang rahasia Papa ke Mama dan Aldi sepuluh tahun yang lalu."
"Ah Papa, ternyata punya rahasia-rahasiaan segala. Tapi, tahu tidak Pa? Mama juga punya rahasia, Lho!"
"Ah? Masa sih?"
Alan yang berniat membuat penasaran dan mengejutkan istrinya, Dinda, malah dibuatnya penasaran dan terkejut lebih dahulu di rumah tinggal mereka yang baru, di Cimanggis.

M. Fathir Al Anfal (Maret 2012)

2 comments: