Friday, March 2, 2012

Mulia

Setiap manusia pastinya ingin hidup mulia. Namun, kata "mulia" di sini ternyata hanya berasaskan kekayaan, materi, harta, ataupun segala sesuatu lainnya yang berhubungan dengan keduniawian. Jarang sekali kita menemukan orang yang mencari kemuliaan di akhirat kelak (syukur-syukur jika mulia di dunia dan akhirat). Peluangnya mungkin satu banding sejuta. Ya, sejuta. Atau mungkin lebih.


foto: google.com

Saat hidup bagai sebuah roda, terkadang kita harus siap untuk berada di bawah bagi yang sudah di atas ataupun berada di atas setelah mati-matian bertahan hidup di bawah roda. Namun, bukan tak mungkin jika roda kehidupan kempes, sehingga tak berputar-putar. Yang di atas tetap adem ayem dan yang di bawah tetap berkucuran keringat. Tak tanggung-tanggung, kadang keringatnya pun berwarna merah alias keringat darah. Tapi, anehnya, banyak di antara mereka seakan tak merasakan sakit sampai pada waktunya, darah mereka habis di jalanan. Lalu tergeletak tak bernyawa. Mayatnya wangi namun tak tercium.

Mantan tetangga saya, sebut saja Fariz. Usianya dua puluh tahun tahun lebih muda dari umur saya yang bagai jarum jam menunjukkan angka 39 (walau angka pada jarum jam hanya sampai 12).  Pada masa kecilnya dulu dan sekitar setahun yang lalu, ia masih merupakan anak seorang pengusaha sukses. Sebelum sebuah bencana kebakaran meludeskan semua aset berharga tanpa ada sisa. Roda benar-benar telah berputar pada kasus ini. Tak kempes.

Jauh sebelum ia lahir, ayahnya adalah seorang yang gigih dan pekerja keras serta rajin beribadah. Dia tak pernah berhenti belajar serta berkarya, hingga akhirnya ia dapatkan hasilnya dengan sangat manis. Walau pada dasarnya, ayahnya ayah Fariz alias kakek Fariz adalah seorang yang sudah kaya raya tapi ayahnya Fariz tak mau hidup hanya dengan meneruskan apa yang sudah dimiliki kakeknya Fariz. Dia pribadi yang mandiri dan ingin memulainya dari nol. Dan tak berapa lama selang keberhasilan ayahnya Fariz, kakek Fariz meninggal di usia 63 tahun. Saat itu Fariz belum lahir bahkan ayahnya Fariz pun belum menikah.

Sekitar 1,5 tahun setelah kematian itu, ayahnya Fariz bertemu dengan seorang perempuan bernama Amelia. Pertemuan mereka di sebuah restaurant di Ibukota begitu sangat romantis. Singkatnya, setelah kedua-duanya mantap dengan cinta mereka, mereka menikah pada bulan September 1995 dan sejak saat itulah pasangan ini menjadi tetangga saya, hingga sebuah kebakaran di malam yang kelam, sedikit memisahkan kedekatan saya, Fariz, dan ayah serta ibunya.

                              ***

Walau saya lebih cocok bergaul dengan ayah atau ibu Fariz dari segi usia, tapi kenyataannya, saya justru lebih akrab dengan anak laki-laki tunggal mereka yang (tadi sudah saya sebut) bernama Fariz. Fariz seringkali main ke rumah dan menceritakan kembali apa yang sudah ayahnya ceritakan kepadanya. Itu sebabnya mengapa saya seperti begitu tahu banyak tentang keluarga mereka.

Fariz pun juga dekat dengan anak perempuan saya, Mala. Mungkin itu salah satu penyebab Fariz sering berkunjung ke rumah. Ya, dia menyukai anak saya dan kelihatansekali anak saya juga menyambutnya dengan senang hati karena dia pun menyukai Fariz. Selain tampan, Fariz juga memiliki kepribadian yang sama seperti ayahnya. Mandiri dan pekerja keras. Saya sebagai orang tua, pastinya sangat senang bila kelak memiliki menantu seperti Fariz. Menantu idaman dan ideal. Kalau kata orang jawa, bibit bebet bobot-nya terjamin.

Dan semenjak peristiwa kebakaran aneh itu (yang sampai saat ini belum bisa dipastikan penyebabnya), mereka hidup pas-pasan di sebuah kontarakan kecil di pinggiran Ibukota. Namun, keluarga ini tetap bersahaja dan tak menyesalinya. Mereka tak mengutuk Tuhan, menangis, ataupun bunuh diri. Karena mereka sudah siap berada di bawah walau saya yakin, mereka juga tak menduga bisa berada dalam kondisi seperti ini.

Saya dan anak saya juga seringkali berkunjung ke rumahnya. Terkadang sambil mengantarkan makanan. Kontarakan kecil yang kumuh ini, tak menjadi sekat bagi canda tawa mereka. Mereka tak pernah berubah, walau dalam kondisi apapun. Meski harus mulai dari 0 lagi, namun mereka yakin pasti ada hikmah dari semua ini. Waktu pasti akan menjawabnya.

                          ***

Pernah suatu ketika, Fariz bercerita tentang sahabat ayahnya pada masa lampau datang mengunjungi mereka. Dia adalah seorang pemilik perusahaan sebuah instansi ternama yang ingin mempekerjakan Fariz sebagai staff-nya. Dia ingin membalas jasa orang tua ayahnya alias kakeknya yang pada masa lampau itu telah membiayai kuliahnya.

Dahulu, sahabatnya ayahnya ini hidup dari keluarga yang kurang mampu namun kini menjadi kaya raya karena kata Fariz yang mengutip kata-kata ayahnya, sahabat ayahnya itu menjadi pejabat yang korupsi yang akhirnya membuat keakraban mereka di masa muda seakan sirna. Padahal semasa mudanya dulu, ia adalah seorang yang jujur dan sopan. Kini, dia memperkaya dirinya dan menjadi sosok yang arogan (seperti kata peribahasa, kacang lupa akan kulitnya). Roda nasib ternyata berputar bersamaan dengan roda sifat.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya saya waktu itu.
"Ayah tentu saja menolaknya, walau saat itu aku terkejut mendengarnya, karena belum tahu apa-apa tentang sahabat ayah itu," jawabnya.
Aku menatap wajahnya yang tampak makin putih di tengah cahaya matahari yang meneranginya. Terpaku mendengar ceritanya kali ini.

Lalu ia memberitahuku bahwa sebelum ia diceritakan tentang sahabat ayahnya itu, ia sempat bertanya kepada ayahnya begini: "Kenapa ayah menolak kebaikan bapak itu? Padahal dia kan ingin menolong kita."
Lalu ayahnya menjawab: "Ceritanya sangat panjang. Intinya, daripada ditolong oleh pejabat koruptor, lebih baik hidup sederhana dalam kekurangan tapi mulia. Mulia di akhirat. Di mata Yang Maha Mulia."

Alhasil, saat itu juga, Fariz memaksa ayahnya bercerita tentang sahabat ayahnya itu.

M. Fathir Al Anfal (Maret 2012)

2 comments: