Sunday, June 3, 2012

Arke di Planet Titan

Senin, 2 Januari 2027, Perairan Masalemb kembali menelan korban. Kali ini sebuah kapal pesiar bernama Mary yang khusus ditumpangi oleh keluarga para korban kecelakaan pesawat Adam Air yang tenggelam di Perairan Masalembo untuk memperingati dua puluh tahun tragedi Adam Air. Namun, tiba-tiba saja kapal itu dikabarkan tenggelam dan hingga saat ini bangkai kapalnya belum bisa ditemukan. Dalam kasus ini, Prof. Adikusumo, dosen Universitas Indonesia angkat bicara, "Ini bukan kasus pertama, tapi ini juga tidak ada kaitannya dengan hal mistis. Masalembo hanya misteri alam yang belum terpecahkan. Sama seperti Segitiga Bermuda." Namun, masyarakat Indonesia tampak tetap panik dan memilih enggan berpergian ke Sulawesi melewati perairan Masalembo. (Berita Indonesia edisi 2 Januari 2027)

"Bacalah!" perintah seorang remaja pria usai membacanya kepada temannya yang asyik menonton televisi dan melemparkan koran tersebut tepat di hadapannya. Penasaran, ia pun tak ragu-ragu membacanya. Toh, sedang iklan, pikirnya. Sejenak lengang suara, hingga sebuah suara yang sedikit menggelegar memecah kelengangan.
"Berita macam apa ini? Basi!" komentarnya.
"Aku sungguh penasaran."
"Kenapa?" tanyanya sambil mengerutkan dahinya.
"Tentang dunia lain di bawah tempat itu. Aku yakin ada sesuatu yang lain. Yang tersembunyi. Yang mungkin aku, kau, orang tua kita, pacar kita, siapapun jua akan sampai di sana pada suatu saat nanti. Kita hanya menunggu giliran."
Seketika temannya seperti menelan ludah. Namun, secepat itu pula ia mengabaikannya. Ruangan kembali senyap seketika meski suara televisi begitu kencang terdengar. Mereka hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
             ***
Kemarin, 1 Januari 2027

Kapal Mary masih mengapung tenang di atas air saat ketua penyelenggara acara peringatan dua puluh tahun tragedi Adam Air yang juga merupakan Cagub Ibukota memberi sambutan atau lebih tepatnya basa-basi bagi Arke. Itu semua hanya pencitraan di matanya yang menganggap acara ini sebagai salah satu cara mengambil simpati rakyat agar ia menang dalam pilkada. Semua hanya topeng yang menutupi tengkorak yang sesungguhnya. Begitulah asumsinya. Ia sudah terlanjur menaruh perasaan negatif kepada orang-orang besar negeri ini.

Acara sambutan selesai, kini tiba saatnya acara penaburan bunga. Kapal bekas yang baru direnovasi itu kini berada tepat di lokasi yang diyakini merupakan titik tenggelamnya pesawat Adam Air. Di saat-saat inilah, sembari menabur bunga, Arke teringat dengan perlakuan kasarnya kepada orang tuanya, khususnya ibunya. Dahulu Arke sering membantahnya, melawannya, bahkan tak ada kata "tunduk kepada ibu" dalam kamusnya. Kepada bapaknya, dia takutnya setengah mati, namun di hatinya terpelihara sebuah kebencian.

Dua puluh tahun yang lalu, saat terakhir Arke bertemu kedua orang tuanya, dia secara mentah-mentah menolak ajakan kedua mereka untuk berlibur ke Makassartempat kakek-nenek dari ayahnya. Jelas saja dia tak ingin ke sana lagikampung yang terletak di tengah-tengah kebun karet itu. Lebih baik di sini, katanya. Semua ada, tidak perlu repot-repot, tidak seperti di sana. Terpencil dan serba sulit. Tapi, sampai saat ini, ia masih tak menyangka bila itu adalah saat terakhir ia menatap raut muka orang tuanya yang sejak bayi selalu ada untuknya. Andai, waktu yang ajaib itu memberikannya sebuah kesempatan kembali ke masa itu, ia rela ikut bersama orang tuanya dan kehilangan nyawa. Tetes air mata perlahan jatuh. Setetes demi setetes. Ia tak peduli, toh kata siapa seorang laki-laki tak boleh menangis? Semua seakan gelap, hanya ia sendiri di atas kapal itu.

Tiba-tiba, Arke merasa sebuah getaran dari dalam air. Seakan ada gelembung raksasa yang tengah ingin menyembul ke permukaan air. Dia tahu getaran itu makin terasa, makin naik, dan tak sabar ingin menelan kapal itu. Benar saja, kapal mendadak bergetar, bergoyang tak karuan. Namun, suara gemuruh yang begitu besar masih kalah tersaingi dengan teriakan para penumpang yang panik dan berhamburan. Hanya dia yang masih berdiri tenang dan dia mulai merasakan sesuatu yang kuat mulai menarik kapal besar ini ke dalam air.

Selang beberapa lama kemudian, dia sudah merasakan air menariknya, bersama bangkai kapal yang lebih dulu tertarik mendahuluinya. Dia berusaha melawan. Dia juga masih bisa melihat orang-orang di segala arah yang juga turut tertarik ke bawah. Namun, tiba-tiba gelap. Ia membiarkan gelap menaklukannya.

            ***

Thursday, May 31, 2012

Dalam Keterbengkalaian Hari

Dalam keterbengkalaian hari, tiba-tiba muncul dirimu lagi
Bagai siluet tak asing yang berkelebat
Seakan merobek selembar memori
Tersadar rindu yang hadir secepat kilat.

Sudah berapa kali kau absen dalam ingatku, sobat?
Berkali-kali hingga aku tak peduli lagi dengan kekuranganmu
Karena yang ku tahu kau adalah sahabat yang kuat
Meski keterbatasan fisik menderamu.

Ingat membawa kisah kita pada masa sekolah dulu
Melewati pagi bersama menuju sekolah
Menikmati sore yang lepas ketika rumah menanti
Memandang senja, mencoba menyibak misteri masa depan dibaliknya.

Kau yang mengajariku bersyukur atas berapapun angka yang diberikan guru
Mengajariku menjadi sosok yang disiplin, tangkas, dan pandai
Serta memberiku faedah penting tentang persahabatan.

Masa sekolah telah berakhir dan kita berpisah
Kau melanjutkan langkah, mencari ilmu ke negeri seberang.

Dalam keterbengkalain hari, ruangan ini sekan mendoakan rinduku terobati
dan dalam sisa-sisa masa terselip tanya
untuk sobatku yang tak henti-hentinya melawan keterbatasan diri,
"Kapan kita bersua kembali?"

M. Fathir Al Anfal (Mei 2012)

Monday, May 28, 2012

Rindu Kekasih Allah

Bagai meminta semangkok air dari laut
pun jua dengan setitik dari hujan,
aku benar-benar merindukannya.
Meski mata tak pernah melihatnya.

Hanya aku berpegang pada tali yang teguh
untuk memperoleh syafaatnya.

Beliau adalah Kekasih Allah
yang kemuliaannya membawa sinar
pada kehidupan yang mendung
sampai belum jatuh setetes pun air dari langit
karena riuh rendah suara Azan sudah berkumandang
dan menyebar luas hingga aku bernafas, kini.

Sungguh, aku sangat ingin bertemu. Aku rindu.

M. Fathir Al Anfal (April 2012)

Tuesday, May 22, 2012

Pendidikan Budaya yang Terlupakan

Seakan terombang-ambing di tengah samudra
nan kebodohan gemuruh ombak tampak nyata
dan tersesat akan mata angin nan
membawa gelap pekik
Manusia lupa tentang Pendidikan Budaya?

Cemooh burung-burung yang tak berakal
memenuhi udara hingga
nafas manusia makin sesak
Bagaimana mungkin Makhluk yang katanya Khalifah Bumi
melalaikan Pendidikan Budaya?

Reruntuhan di ujung Padang, hutan telanjang,
dan bencana tak terhitung
adalah buah tangan manusia
yang tak berbudaya dan tak menghargai budaya
tak berpendikan dan tak menghargai pendidikan

Sudah saatnya manusia menghentikan
jerit-jerit makian pembawa perpecahan,
memotong tangan-tangan setan nan jahil
dan merobohkan menara gading
penghalang kebersamaan dan kebhinekaan

Bentengilah dengan pendidikan
Gali sedalam-dalamnya ilmu
Dan arahkan, kendalikan, dan terangi!
Satukan kebudayaan!
Jangan biarkan Pendidikan Budaya
raib dan terdampar di Planet Mars!

(M. Fathir Al Anfal-April 2012)

Saturday, April 14, 2012

Aku, Dian, dan Misteri Sepatu & Kunci yang Hilang

foto: google.com


Selasa, 10 April


Seperti hari-hari yang lain yang telah lalu semenjak aku menjadi penghuni gelap Asrama UI dan terlibat kasus hilangnya HP & PSP itu*, aku selalu bangun lebih awal ketimbang sahabatku, Nur Diansyah. Hari itu sudah pukul tujuh kurang sepuluh menit dan tanpa ba-bi-bu atau membangunkan Diansyah, aku langsung membuka lemari dan mengambil gayung berisikan sikat gigi, sabun, pasta gigi, dan pelembab. Lalu dengan langkah gontai karena mata masih merem-melek, aku membuka pintu dan alangkah terkejutnya saat aku menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang. Sepatu Dian hilang!

"Dian, sepatumu hilang!" teriakku sambil menggoyang-goyangkan badannya.
Sekejap dia lalu membuka matanya dan matanya seakan menanyakan kembali apa yang barusan aku katakan.
"Sepatumu hilang," ulangku.
"Apa?" ujarnya kaget. Dia langsung menarik sarung yang dijadikan selimutnya itu dan melongok ke luar.
"Tapi kok sepatumu ada, Thir?"
"Entahlah, mungkin karena sepatumu baru dicuci hari Minggu yang lalu jadi masih terkesan baru. Nah, sepatuku saja masih kotor."
"Ah, sial! Sialan maling-maling itu! Waktu itu sendal dan sepatu Yusuf juga hilang beberapa minggu yang lalu. Sekarang giliranku!"
"Sabar, sabar, aku rasa pelakunya sama dan mungkin dengan modus yang sama."
"Ya, dia pasti langsung menjualnya!"
"Mungkin, tapi belum tentu. Bisa jadi pelaku kita ini memiliki suatu penyakit yang mana dia memang senang mengambil barang orang lain."
"Apa? Orang gila macam apa itu?" mukanya makin memerah.
Aku hanya mengangkat bahu.
"Dia pasti akan berulah lagi dalam waktu dekat ini. Pasti. Menurutmu siapa?" tanyanya lagi.
"Semua punya kans untuk duduk di kursi pelaku, Diansyah. Tetanggamu di lantai tiga ini, baik itu Rifky, Algor, atau siapa saja bisa menjadi pelaku, kecuali Yusuf, karena dia sendiri adalah korban. Penghuni asrama yang ada di lantai atau gedung lain, atau OB, atau pula satpam, semua berpeluang. Kita hanya perlu bukti untuk menguatkannya. Bila perlu kita harus menjebaknya." jawabku bergaya detektif handal.

Semenjak keseringan membaca novel-novel misteri karya S. Mara Gd, aku memang bertingkah detektif seperti Gozali, tokoh detektif kepolisian di dalam novel-novel misteri tersebut yang jika dibilang sesuai dengan diriku, baik dari penampilannya maupun sifat dan sikapnya. Dan dengan hilangnya sepatu Diansyah ini adalah langkah awal bagiku untuk mewujudkan obsesi aneh tersebut. Obsesi untuk memecahkan sebuah misteri atau kasus kejahatan. Aku tertawa dalam hati.
"Ya sudah, mandi dulu kau. Sudah jam tujuh lewat lima menit."
"Lalu kau nanti berangkat kuliah pakai sepatu apa?"
"Aku punya sepatu dua. Satu lagi ada di kamar Fuad. Nanti bisa kuambil."
Aku mengangguk dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sambil mandi, pikiranku melayang memikirkan siapa orang di balik semua ini.

                ***


Jum'at, 13 April


Setelah dua malam tak menemui hasil, Jum'at malam, aku dan Diansyah memutuskan untuk tidak tidur di kamar kami, tapi mengikuti ajakan Jalal untuk berkemah sekaligus bermalam di hutan UI lalu keesokan paginya memungut sampah-sampah yang berhamburan di pinggir-pinggir danau UI yang benar-benar tak sedap dipandang mata.

Diansyah baru datang saat aku dan Jalal selesai membuat tenda. Malam itu sudah pukul sebelas malam. Dia membawa botol Aqua di tangan kanan dan dua buah bantal di tangan kiri yang ia pepetkan dengan pinggangnya. Dia lalu duduk karena terlihat sangat letih.

Setelah itu, kami bertiga bersenda gurau sambil menikmati indahnya malam. Bernyanyi dan juga berdebat mengenai masalah ini-itu. Sorot lampu dari pos penjaga di seberang danau sebelah sana yang dijadikan tempat bermain golf sempat mengarah ke arah kami dan kami melambaikan tangan sebagai tanda bahwa kami hanya berkemah di sana. Lalu sebuah perahu nelayan juga melintas di depan kami yang kemudian menyorotkan senter ke arah kami seakan menyapa kami meski wajah si pencari ikan tersebut sama sekali tak terlihat. Sekitar pukul dua malam, kami semua baru mulai beranjak tidur.

                  ***

Monday, April 9, 2012

Sayembara Menulis Novel DKJ 2012


Ketentuan Umum
  • Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
  • Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
  • Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
  • Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
  • Tema bebas.
  • Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya).
Ketentuan Khusus
  • Panjang naskah minimal 150 halaman A4, spasi 1,5, Times New Roman ukuran 12.
  • Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap pada lembar tersendiri, di luar naskah.
  • Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:
Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2012
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta 10330
  • Batas akhir pengiriman naskah: 30 Agustus 2012 (cap pos atau diantar langsung).
Lain-lain
  • Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada bulan Desember 2012.
  • Hak Cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
  • Pajak ditanggung pemenang.
  • Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2009-2012 dan keluarga inti Dewan Juri.
  • Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id.
  • Dewan Juri terdiri dari kalangan sastrawan dan akademisi sastra.
Hadiah
Pemenang utama
Rp.
20.000.000
Empat unggulan
@Rp.
4.000.000
Jadwal
Publikasi Maklumat Maret 2012
Pengumpulan karya : April—Agustus 2012
Penjurian : September—November 2012
Pengumuman pemenang Akhir Desember 2012

Friday, April 6, 2012

Jasad Seorang Pahlawan Devisa

foto: google.com

(I)
Hengkang jauh, tinggalkan Tanah Ibu Pertiwi
Mengejar bayangan abu-abu
Berharap memangku bulan di negeri orang

Namun, harapan itu menjadi harap
Perih getir adalah keseharian
Was-was dalam ketakutan
Rindu sanak saudara tak terobati

Kau bagai ladang bagi mereka
Kucuran keringatmu laksana mutiara untuk mereka
Kau upeti bagi penguasa
Senantiasa

Tetesan air matamu tak sebanding
dengan nama besarmu,
Pahlawan Devisa.

(II)
Bertahun sudah

Jasadmu kembali di Tanah Ibu Pertiwi
Tidak dengan roh-mu, yang entah kemana

Dirampas oleh oknum gila!

Jasadmu tanpa noda darah, setetespun
Senyum tak kentara
Wangi tak tercium

M. Fathir Al Anfal (Maret 2012)

Alhamdulilah, puisi ini masuk 100 besar lomba puisi TKI  yang diadakan Umahaju Publisher bulan Maret lalu. Info selengkapnya:
http://umahaju.blogspot.com/2012/04/100-besar-lomba-puisi-tki.html#more

Thursday, March 8, 2012

Untuk Bulan Yang Pudar

Blap!
Kau tiba-tiba malu
Cahayamu pudar tertutup awan
Bagai titik-titik abu-abu dalam bayang
Mencoba mengabarkanku akan datangnya pagi
Dan apakah pagi itu bisa membuat seseorang bahagia?

Aku tak tahu
Tanyakan pada matahari!
Karena aku sendiri tak pernah melihat pagi

Foto: google.com

M. Fathir Al Anfal (Maret 2012)

Sudah diterbitkan dalam Majalah Gaung Sastra Indonesia FIB UI edisi Maret 2012.

Tuesday, March 6, 2012

Status: Mencari Cinta Sejati

Cinta adalah misteri.
Menunggu untuk galau, mencari untuk bimbang.
Tak kenal waktu, tak tentu tempat.
Sesungguhnya cinta punya caranya sendiri.
Cara untuk memperkenalkan makna dirinya yang sejati.

(Pemuisi Berlevel Amatir-Makna Cinta, 2011)

foto: google.com

Cinta memang diliputi misteri. Tak ada seorang pun yang akan tahu; kapan, dimana, dan kepada siapa ia akan jatuh cinta. Bisa saja kau akan jatuh cinta kepada anak tukang pecel di perempatan jalan, esok atau lusa, ya kan? Karena memang benar, kalau cinta datang tak sengaja. Kita tak bisa menyengajakan cinta kita kepada siapapun, begitu juga menyengajakan cinta orang lain kepada kita atau lebih parahya memaksakan. 

Untuk mayoritas kaum hawa, mereka lebih suka menunggu untuk didatangi pangerannya (mungkin dengan kuda merah yang gagah). Tapi, masalahnya, menunggu terkadang membuat bosan dan dari kebosanan itulah kegalauan menyerang. Apalagi kalau menunggu sesuatu yang tak mungkin menghampiri. Rasanya bagai melakukan ketololan yang konyol.

Sementara itu, bagi kaum adam yang gagah berani, selalu ingin mencari dan mengejar. Tapi, terkadang di setiap pencarian, selalu ada dilematika yang mengantar kebimbangan sampai ke pangkal hati. Bisa saja dua atau mungkin empat wanita sekaligus menjadi kandidat hatinya. Namun, biasanya, untuk lelaki sejati bukan lelaki bertelinga kelinci, mereka lebih selektif walau memiliki banyak kandidat dan pastinya hanya akan memilih satu wanita meskipun sah-sah saja kalau dia bisa memiliki keempat-empatnya (toh rasio antara lelaki dan perempuan saat ini kan 1:9, jadi satu laki-laki bisa memiliki 9 wanita) tapi bukan berarti berhak. Karena memiliki banyak pasangan itu harus dengan persetujuan dan tentunya konsekuensi yang besar. Jadi, amannya, cukup satu saja.

Toh, baik adam ataupun hawa, yang memang pada dasarnya diciptakan berpasang-pasangan, tak perlu takut tak mendapatkan cinta sejatinya karena sesungguhnya cinta punya caranya sendiri. Ya, caranya sendiri. Bagai sebuah invisible hand, dia mampu menyatukan dua hati yang prosesnya penuh misteri. Toh, kalau sudah jodoh, dia lari ke ujung dunia pun, suatu saat nanti tetap akan kembali ke pelukanmu, kan?

                        ***

Friday, March 2, 2012

Mulia

Setiap manusia pastinya ingin hidup mulia. Namun, kata "mulia" di sini ternyata hanya berasaskan kekayaan, materi, harta, ataupun segala sesuatu lainnya yang berhubungan dengan keduniawian. Jarang sekali kita menemukan orang yang mencari kemuliaan di akhirat kelak (syukur-syukur jika mulia di dunia dan akhirat). Peluangnya mungkin satu banding sejuta. Ya, sejuta. Atau mungkin lebih.


foto: google.com

Saat hidup bagai sebuah roda, terkadang kita harus siap untuk berada di bawah bagi yang sudah di atas ataupun berada di atas setelah mati-matian bertahan hidup di bawah roda. Namun, bukan tak mungkin jika roda kehidupan kempes, sehingga tak berputar-putar. Yang di atas tetap adem ayem dan yang di bawah tetap berkucuran keringat. Tak tanggung-tanggung, kadang keringatnya pun berwarna merah alias keringat darah. Tapi, anehnya, banyak di antara mereka seakan tak merasakan sakit sampai pada waktunya, darah mereka habis di jalanan. Lalu tergeletak tak bernyawa. Mayatnya wangi namun tak tercium.

Mantan tetangga saya, sebut saja Fariz. Usianya dua puluh tahun tahun lebih muda dari umur saya yang bagai jarum jam menunjukkan angka 39 (walau angka pada jarum jam hanya sampai 12).  Pada masa kecilnya dulu dan sekitar setahun yang lalu, ia masih merupakan anak seorang pengusaha sukses. Sebelum sebuah bencana kebakaran meludeskan semua aset berharga tanpa ada sisa. Roda benar-benar telah berputar pada kasus ini. Tak kempes.

Jauh sebelum ia lahir, ayahnya adalah seorang yang gigih dan pekerja keras serta rajin beribadah. Dia tak pernah berhenti belajar serta berkarya, hingga akhirnya ia dapatkan hasilnya dengan sangat manis. Walau pada dasarnya, ayahnya ayah Fariz alias kakek Fariz adalah seorang yang sudah kaya raya tapi ayahnya Fariz tak mau hidup hanya dengan meneruskan apa yang sudah dimiliki kakeknya Fariz. Dia pribadi yang mandiri dan ingin memulainya dari nol. Dan tak berapa lama selang keberhasilan ayahnya Fariz, kakek Fariz meninggal di usia 63 tahun. Saat itu Fariz belum lahir bahkan ayahnya Fariz pun belum menikah.

Sekitar 1,5 tahun setelah kematian itu, ayahnya Fariz bertemu dengan seorang perempuan bernama Amelia. Pertemuan mereka di sebuah restaurant di Ibukota begitu sangat romantis. Singkatnya, setelah kedua-duanya mantap dengan cinta mereka, mereka menikah pada bulan September 1995 dan sejak saat itulah pasangan ini menjadi tetangga saya, hingga sebuah kebakaran di malam yang kelam, sedikit memisahkan kedekatan saya, Fariz, dan ayah serta ibunya.

                              ***

Wednesday, February 29, 2012

Buatkan Aku Puisi, Tolong.....

Aku merindukkan rangkaian kata-katamu dalam
bait dan rima yang mendalam.
Yang membawa makna merangkak dari mata
ke hati.

Aku mengagumi untaian mutiara bibirmu
Seperti aku mengagumi,
seutuhnya.

Juga wajahmu yang diam-diam
mengintip di bunga lelapku
yang makin hari
makin membuatku jatuh hati.

Galau!

Kemudian aku memohon dalam hati,
"Buatkan aku puisi, tolong.... Sesungguhnya aku sangat membutuhkannya saat ini."

M. Fathir Al Anfal (saat galau, 2012)
Untuk seseorang yang belum kunjung berhenti memutari otakku!

Monday, February 27, 2012

Nawang Wulan

Jilbab bagi perempuan shalihah bukan sekedar aksesoris penutup kepala, tapi juga harga diri. Itulah yang selalu dipegang teguh oleh perempuan yang selalu menginspirasiku, Nawang Wulan. Nama yang indah, bukan?


Foto: Tak Dikenal (Google.com)

Jika aku melihat artis-artis berjilbab di televisi, aku pasti selalu mengingatnya. Jelas saja, karena Wulan memang begitu cantik seperti artis-artis papan atas itu. Selain itu, dia juga jago dalam hal berakting dan bisa saja dia sekarang sudah sama terkenalnya dengan mereka.

Aku pernah satu kelompok drama dengannya waktu SMP dulu. Aku berperan sebagai pangeran yang menyelamatkannya dari kejaran-kejaran orang-orang jahat, begitulah intinya. Saat itu aku sangat bahagia bisa beradu peran dengannya.

Hari demi hari berganti, impiannya menjadi seorang artis nyaris terwujud, saat sebuah produksi film mengontraknya dalam sebuah film layar lebar meski hanya menjadi seorang figuran. Namun, ia akhirnya menolaknya. Kenapa? pikirku saat itu.

Ia bercerita kalau Sutradara film itu menginginkannya membuka jilbab.
"Sutradara gila!", teriaknya padaku.
"Lho kenapa?" tanyaku kembali.
"Dia menginginkaku membuka jilbab. Tentu saja aku menolak. Dia malah berkata kalau aku lebih cocok jika menggunakan pakaian seksi."

Hal itu benar-benar membuatku geram, namun aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, Wulan membatalkan kontraknya di film itu hanya karena jilbab yang merupakan harga diri baginya dan ia pun memilih menjadi orang biasa saja. Dia tahu impiannya kala itu hanyalah semu dan berlebih. Dia baru menyadarinya.

Seandainya waktu tak memanggilnya satu minggu yang lalu, aku mungkin masih bisa melihat wajahnya dan bercanda-canda dengannya. Aku juga baru tahu dari orang tuanya kalau ia menyidap penyakit kanker sudah cukup lama. Ia selalu merahasiakannya dariku. Mungkin agar aku tak bersedih dan mengkhawatirkannya. Tapi, sesuatu yang sudah tiada memang tak pernah kembali dan hanya kenangannya yang mungkin akan menjadi inspirasi ataupun motivasi bagi orang-orang yang ditinggalkannya.


Oleh: Kau-Tahu-Siapa (2012)

Monday, February 20, 2012

Nak, Dahulu Ada Negeri Bernama Indonesia

foto: google.com

Alkisah, pada tahun 2100 ada seorang ayah yang ingin menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya yang berusia tujuh tahun.

"Nak, dahulu ada negeri bernama Indonesia," ujar si ayah.

"Indonesia? Nama yang bagus, ayah," ujar si anak dengan polosnya.

"Tidak hanya namanya yang bagus, tapi negeri ini juga kaya raya."

"Wah pasti rakyatnya makmur ya, ayah?"

"Tidak, nak. Justru kebalikannya. Hingga akhirnya negeri itu raib oleh lima unsur."

"Lima unsur? Apa saja ayah?" tanyanya sambil memandangi jari tangannya yang berjumlah lima."

"Tanah, udara, api, air, dan rakyatnya sendiri."

"Kok bisa? Bagaimana ceritanya?" tanya anaknya makin penasaran.

"Dimulai dari tanah ya, Nak? Jadi, negeri kaya raya itu penuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah pohon. Alhasil, tanah Indonesia tak kuat menahan beban jutaan ton gedung yang akhirnya membuat sebagian tanah Indonesia amblas beserta gedung-gedung itu."

"Ooh, berikutnya ayah!" si anak makin bersemangat mendengarkan.

"Sekarang udara. Selain gedung-gedung yang banyak, pabrik-pabrik dengan cerobong asap mematikan juga berdiri. Asapnya berlomba meludahi langit dan membuat nafas sesak akibat senyawa jahat yang mengotori udara. Nyaris tak ada udara bersih di Indonesia. Rakyat kecilnya pun akhirnya banyak yang mati karenanya."

Si anak mengangguk. Si ayah pun melanjutkan.

"Api. Rakyat Indonesia senang bermain api. Apalagi jika api itu bersumbu dari hati mereka sendiri. Mereka saling baku-hantam guna mempertahankan yang namanya harga diri ataupun status."

Suasana makin hening, tapi si anak masih terlihat antusias mendengarkan.

"Dan yang terakhir air. Indonesia yang diapit dua samudera luas malah dimanfaatkan rakyatnya untuk menjadi tempat membuang sampah. Wajar saja bila lama-kelamaan air murka dan mengamuk, menghancurkan kota, bahkan akhirnya menenggelamkan Indonesia."

"Oh, tapi kan baru empat ayah, tadi katanya ada lima."

"Oh iya ayah lupa. Sebenarnya keempat unsur di atas sudah cukup menjelaskan unsur kelima ini. Tapi, ada satu hal yang membuat Tuhan marah yang akhirnya dengan Kuasa-Nya meraibkan Indonesia dengan empat unsur tadi."

Anaknya menatap tajam.

"Korupsi. Rakyat Indonesia paling hobi korupsi, khususnya yang sudah menjadi raksasa," tambah si ayah.

"Raksasa? Seram dong, ayah."

"Iya, seram. Tapi, mukanya lebih seram daripada topengnya. Dan raksasa yang ini, nongkrongnya di meja kantor," jelas si ayah.

"Oh tapi ayah bukan raksasa itu, kan? ayah kan juga di kantor."

"Bukan kok. Ayah raksasa yang baik. Sudahlah, nak. Sekarang kamu tidur."

"Siap Ayah!"

"Selamat tidur!" ujar si ayah sambil mengecup kening anaknya.

M. Fathir Al Anfal (2012)

Saturday, February 18, 2012

Penyakit Lupa

Tak ada yang tahu namaku,
bahkan aku.
Orang-orang memelototiku
tak percaya.
Mencoba membongkar isi otakku.
Menyibak kebenaran.

Aku jadi lupa saat di meja hijau.
Mendadak!

Penyakit lupa itu kian
menjalari kepala ini
dan mengendap bagai sisa-sisa
kotoran permanen.

Aku lupa namaku,
Agamaku,
Orang-tuaku,
Tuhanku.

dan pula kesaksianku.

Tapi, sebentar, apa ada yang keliru?

M. Fathir Al Anfal (2012)

Tuesday, February 14, 2012

Makna Cinta 2

Cinta bukan sekedar kata.
Yang bisa diobral kepada siapa saja.
Yang terbang meluncur begitu saja.
Cinta adalah perbuatan.
Yang harus dibuktikan kesungguhannya.

Cinta seperti virus.
Kadang menyakitkan dan seakan melumpuhkan diri.
Dia jua bisa mendatangkan kematian.
Tapi, cinta pun memiliki penawarnya.
Yaitu dirinya sendiri.

Cinta penuh warna.
Tak hanya merah jambu yang romantis.
Tapi juga biru yang menenangkan.
Pun dengan putih sebagai lambang ketulusan.
Tapi bukan hitam, yang gelap dan kelam.

Cinta adalah teka-teki.
Yang selalu bersembunyi di balik dinding.
Yang menginginkan kita untuk menemukannya.
Dan menghancurkan dindingnya.
Hingga dia menjadi milikmu selamanya.

M. Fathir Al Anfal (14 Februari 2012)
Selamat Hari Valentine bagi anda yang merayakannya.

Saturday, February 11, 2012

Cerita di Balik Kecelakaan Maut Cimanggis

Minggu, 12 Februari 2012, kecelakaan maut kembali terjadi. Kali ini dialami sebuah bus yang berisikan 33 orang penumpang di Cimanggis, Depok. Kecelakaan diduga karena kelalaian sopir yang mengantuk saat mengendarai bus sehingga bus tergelincir masuk ke dalam Sunga Ciliwung. Kecelakaan ini pun menewaskan 23 orang termasuk sopir dan sisanya mengalami luka berat. Semua korban baik yang meninggal atau mengalami luka berat kini berada di RS Sentra Medika, Cimanggis, Depok.


-Depok Post Edisi 12 Februari 2012-
foto: google.com


Sebuah Tempat Wisata, Sehari Sebelum 12 Februari 2012

Tujuh orang yang satu sama lainnya benar-benar berbeda namun satu dan menamai diri mereka "PIONEERS" sedang mengisi masa-masa liburan kuliah mereka sebelum dua hari setelahnya harus berjibaku kembali dengan buku-buku dan ilmu-ilmu ala perkuliahan. Kelompok kecil alias geng yang cukup kompak ini terdiri dari tiga cewek dan empat cowok. Sudah setahun lebih mereka mendirikan geng ini dan tak pernah tercerai berai. Setidaknya sampai hari itu.

Mereka bertujuh adalah:
1. Andina. Cewek yang satu ini, satu-satunya yang berjilbab di antara ketiga cewek lainnya didalam geng. Orangnya sangat supel dan enak buat dijadiin tempat curhat.
2. Rachel. Cewek yang super modis dan sangat glamor. Oh ya ada satu lagi yang terlewat, dia juga seksi.
3. Herlambang. Bisa dikatakan dialah orang yang pertama kali memprakarsai berdirinya kelompok ini.
4. Anwar. Namun, meski Herlambang yang memprakasainya, namun Anwar lah yang akhirnya menjadi pemimpin dan dia pulalah yang paling menonjol di dalam Pioneers.
5. Maya. Kata Pioneers yang akhirnya menjadi nama kelompok mereka adalah idenya. Pioneers merupakan kata dalam bahasa inggris yang artinya pionir-pionir, yang dengan harapan, 7 orang dalam kelompok ini bisa menjadi seorang pionir atau perintis atau pelopor terhadap kejayaan di masa depan. Begitulah ungkapnya.
6. Sebastian. Hobinya membaca buku. Walau pendiam, namun dapat diakui kalau dialah yang terpandai dari kesemuanya.
7. Taufan. Orangnya sangat ramai dan humoris. Dia adalah orang yang paling dinanti-nanti karena lelucon dan banyolannya yang suka membuat gelak tawa anggota lainnya.

Malam makin larut saat itu dan dingin makin tak terasa karena api unggun yang menyala seakan menjadi obat penawar yang mujarab di tengah dingin hembus nafas malam. Di samping itu, petikan gitar dan lantunan lagu yang mereka nyanyikan bersama juga mampu membuat mereka lupa akan dingin malam dan rasa kantuk.

Saat sudah mulai capek dan ngantuk, mereka akhirnya memutuskan untuk tidur sebelum kembali ke Jakarta, besok pagi. Sebelum tidur, mereka tos bersama dan juga berdoa yang dipimpin oleh Anwar.

"Datang ke sini bersama-sama, Senang-senang bersama-sama, dan pulang pun juga harus bersama-sama. Kita akan terus bersama. Untuk selamanya. Go Pionerrrssss..."

                          ***

Wednesday, February 8, 2012

Betapa Bodohnya Aku, Tuhan?

foto: google.com

Betapa bodohnya aku!

Mencintai seseorang yang ternyata
juga Makhluk-Mu,
Hamba-Mu.

Aku mencintainya lebih dari apapun,
bahkan dari Diri-Mu.

Betapa bodohnya aku!

Mencintai seseorang yang ternyata
juga Makhluk-Mu,
Ciptaan-Mu.
Lebih dari Diri-Mu.

Padahal Kau adalah Maha Cinta.

Maafkan aku, Tuhan.....
Telah mencintainya
melebihi cintaku kepada-Mu.

Padahal Kau bisa membawanya pergi setiap saat.

Betapa bodohnya aku, Tuhan?

Bodoh!
Bodoh!
Bodoh!

Namun, apakah ada Makhluk-Mu yang mengetahui kebodohanku?

M. Fathir Al Anfal (2012)

Saturday, February 4, 2012

Mencintaimu

foto: google.ccom

Mencintaimu bukan sekedar kata "I Love You"
yang tak pernah sampai.

Lalu kapan?

Mencintaimu adalah pedal gas yang
tak sanggup direm.

Mengapa?

Mencintaimu laksana menjambak pipi
dan menampar mata
hingga cucuran air kulit
menyatu dengan air mata.
Membekas bagai jejak.

Dimanakah?

Mencintaimu sama dengan membeli
satu kotak obat anti galau.

Untuk apa?

Mencintaimu layaknya jam pasir
yang tak dapat kupecahkan.

Jadi bagaimana?

Mencintaimu dengan tulus adalah hatiku.
Aku!

Siapa?
Siapa?
Siapa?

Muhammad Fathir Al Anfal (Februari 2012)

Friday, February 3, 2012

Veny & Nila: Duo Seksi Dari Gang Sawo

Sejak dulu sampai sekarang, selalu ada pernyataan yang menyatakan bahwa jadi perempuan itu susah. Mau begini, takut dibilang murahan. Mau begitu, nanti dikira sok jual mahal. Mau ini itu, bisa dicap matrealistis. Tapi, biar bagaimana pun sifat dan perilaku seorang perempuan, tetap saja ada suatu benang merah yang membuat mereka khas dan itu bisa ditemukan di dalam hati dan perasaannya.


foto: Facebook Veny Oktaviani Darmawan

Alkisah, pada suatu waktu di dunia yang fana ini, tinggallah dua perempuan yatim-piatu yang merupakan kakak-beradik. Mereka berdua sudah ditinggal mati sang ibu sejak si kakak berusia empat tahun dan si adik berusia dua tahun di bawahnya. Sedangkan, ayahnya pergi meninggalkan sang ibu saat si adik masih menjadi janin di dalam kandungannya. Sampai saat ini, tak pernah diketahui keberadaan ayahnya, meski 17 tahun telah berlalu. Dan selama rentang waktu 15 tahun, mereka diasuh oleh paman dan bibi mereka, yang merupakan adik dan ipar dari sang ibu.

Si kakak bernama Nila, umurnya sudah 19 tahun dan bekerja sebagai SPG di sebuah perusahaan ternama di Ibukota. Lalu si adik bernama Veny, masih duduk di bangku SMA. Mereka berdua dijuluki Duo Seksi dari Gang Sawo, karena mereka berdua memang seksi, bahkan keseksiannya sudah terkenal sampai ke kampung-kampung tetangga. Hari ini, Veny yang berzodiak Libra ini genap berusia 17 tahun. Pesta kecil-kecilan digelar di rumah pamannya untuk merayakan Sweet Seventeen-nya.

Ada sebuah mitos yang menyatakan bahwa apapun permintaan di hari ulang tahun yang ke-17, maka permintaan itu pasti tekabul. Entah mengapa mitos tak pernah disingkirkan dan orang lebih memilih jalan aman untuk menghindarinya jika mitos itu berbau negatif dan akan mencoba jika mitos itu berbau positif. Nah, hal itulah yang coba dilakukan Veny di hari ulang tahunnya yang ke -17 kali ini.

"Ayo bikin permohonan," ujar sang paman diiringi lagu Selamat Ulang Tahun yang didendangkan bibi, Nila, dan beberapa rekan-rekan Veny yang hadir.
Sembari menutup mata dan menyematkan doa tulus dalam hatinya, ia menutup lilin berbentuk angka 17 di atas kue tar cokelat yang kemudian ditepuki dengan meriah oleh semua yang ada di dalam ruangan. Veny tersenyum manis di tengah gemuruh suara tepuk tangan. Dia begitu bahagia, terlebih bila suatu saat nanti doa tulusnya jadi kenyataan.

                 ***

Wednesday, February 1, 2012

Kisah Cinta Anak Sastra

Pada suatu masa, seorang ahli astrologi yang terpaksa menahan keinginan buang air kecilnya di sebuah perjamuan makanan (karena pada masa itu, buang hajat di saat perjamuan makanan sangatlah tidak sopan), mengalami pembengkakan pada anusnya dan meninggal dunia sebelas hari setelahnya. Lalu, seakan mengulang kejadian yang sama, seorang ibu yang mengikuti perlombaan menahan buang air kecil setelah minum beberapa botol air mineral juga harus meregang nyawa akibat menahan buang air kecil.* Jika menahan buang air kecil saja dapat menyebabkan kematian, pertanyaanya; apakah kita akan mati jika menahan perasaan cinta kepada seseorang?

Hal bodoh itulah yang kini tengah dirasakan dua sekawan berbeda sifat namun sama jenis kelamin, Riko dan Dwi. Riko adalah anak Kota Metropolis yang hidupnya tak pernah sepi dari kerlingan keindahan duniawi. Hidupnya pun sudah jauh dari Penciptanya sendiri. Tak pernah lagi ada sedetik pun nama Tuhan dalam ingatannya apalagi berjumpa dengannya dalam ibadah salat yang harusnya wajib dilakukan. Beralih ke Dwi, dia adalah antonimi dari Riko. Salat wajib dan salat sunah selalu ia jalankan. Ayat-ayat suci selalu ia babat habis setiap sore hari. Puasa Senin-Kamis menjadi pelengkapnya. Namun, bagaimana mereka bisa bertemu, bersahabat, dan sama-sama mengalami kisah cinta yang gersang?
foto: google.com
                      
                                            ***

Monday, January 30, 2012

Menanti Bulan Cinta

foto: google.com

Menanti Bulan Cinta.
Menanti kawanan burung berbulu hitam menutupi tubuh matahari,
menjadikannya malam.
Mendatangkan yang dinanti.

Hanya tinggal kita berdua di Tanah Tandus ini.
Menanti Bulan Cinta.

Kita berciuman di bawah sorotnya
dan cinta kita akan abadi
selamanya.

Maka, ucapkanlah: "Selamat datang, Bulan Cinta."

M. Fathir Al Anfal (Sekitar 10 Jam Menuju Bulan Cinta)

Beasiswa

Almarhum Ibuku pernah berkata seperti ini kepadaku: "Kamu sudah diberi jalan, Nak. Hanya saja jalan yang akan kamu lalui itu penuh beling dan duri. Nah, sekarang tinggal bagaimana cara kamu menyingkirkan pecahan beling dan duri-duri itu hingga sampai ke ujung jalan?"
foto: google.com

Kata-kata singkat penuh makna itu selalu aku ingat karena itu adalah petuah terakhir ibu sebelum ia menghadap Illahi beberapa bulan yang lalu karena penyakit jantung yang telah lama dideranya atau setelah aku diterima di salah satu universitas terbaik di negeri ini dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah.

Kematian ibu jelas membuatku terpukul. Terang saja, karena aku tak pernah menduga sebelumnya akan ditinggal secepat ini, sebelum aku dapat membahagiakannya. Saat Sang Malaikat Maut menjemput ibu, aku sedang menjalani Kamaba (Kegiatan awal mahasiswa baru) atau mungkin lebih dikenal dengan sebutan ospek.

Siang yang begitu panas di bulan puasa itu terasa tambah panas dan membuatku semakin berkeringat saat tetanggaku yang juga merupakan mantan teman kerja ibuku meneleponku, mengabarkan bahwa penyakit jantung ibuku kambuh lagi dan dalam kondsi yang gawat darurat. Aku bergegas pulang setelah meminta izin kepada panitia Kamaba.

Di sisi lain, ayahku, yang pada saat bersamaan sedang bekerja di bengkel juga langsung meminta izin pulang. Di dalam angkot yang penuh penumpang dan panas, rasa was-was dan khawatir membayangiku saat itu. Aku sangat takut sekali kehilangan ibuku yang lembut dan penuh kasih sayang sekalipun aku sering bandel di masa kecilku. Tetes air mata rasanya ingin mengalir tapi sekuat mungkin aku tahan di antara orang-orang tak kukenal yang berada di dalam angkot.

Seperempat jam berlalu. Terik bara neraka yang membakar tubuh serta pikiran menemaniku dalam setaip langkah menuju rumah selepas turun dari angkot. Namun, sesampainya di rumah, aku melihat para tetangga sudah penuh mengerubungi pelataran rumahku. Dari situ, aku menyadari sesuatu yang tak kuinginkan.

Aku masuk ke dalam rumah. Jasad ibu terbaring kaku dengan bibir yang sepertinya tersenyum.
"Ibumu meninggal 5 menit yang lalu, dek. Sabar ya," ujar salah seorang tetanggaku sambil merangkulku. Aku melepaskan diri dari rangkulannya dan menangis sesunggukkan tanpa sepatah kata apapun di depan jasadnya. Tak lama kemudian, ayah datang, yang kemudian ikut menyusulku menangis bersama. Suasana haru menyelubungi dinding, pintu, dan atap rumahku. Membuat mereka seakan ikut menangis.

Itu adalah saat-saat terakhir aku melihat wajah ibu. Kini, meski sudah tiada, kenangan bersamanya takkan pernah mati, begitu pula petuah terakhirnya. Aku akan menyingkirkan segala duri dan beling dan sampai di ujung jalan dengan senyum bahagia. Pasti.

                          ***

Sunday, January 29, 2012

Jangan Tanya Apa Judulnya

Foto: Dokumen Pribadi.

(I)
Kala waktu berbicara;
Kedewasaan mengikat resah,
Menggulung kesah.

Bagai kepak sayap kupu-kupu
yang tak lelah mengibas udara.

Kau yang berulang tahun hari ini;
yang meraibkan segala gundahku,
mengajakku tersenyum dalam gelap,
dan berpetualang menembus Khayangan.

Terima kasih, Sahabatku.

Semoga kau tetap menjadi kupu-kupu
dan meraih segala manis
dan biarlah waktu kembali berbicara
sebagai Juru Bicara Yang Maha Sempurna.

(II)
Jika kau membaca ini, Sahabatku,
jangan tanya apa judulnya,
karena ini bukan sekedar puisi
tapi juga tumpahan doa

dari Sahabatmu.

M. Fathir Al Anfal (29 Januari 2012)

Friday, January 20, 2012

Ketika Sesorang Berada di Atas

Ada dua kemungkinan ketika seseorang berada di atas. Pertama, dia bisa melihat apa saja yang ada di bawah atau dia takkan pernah memandang apa saja yang ada di bagian bawah dan hanya memilih ke depan; melihat pemandangan yang dari jauh begitu jelas dan indah bila dilihat dari atas.
foto: google.com

Mawar tiba-tiba menarik tanganku yang dingin di pagi itu, pagi yang dingin dan sunyi, di sekolah, karena jam pun baru menunjukkan pukul 6.15 tapi aku sudah ada di sana sejak 15 menit yang lalu. Ya, karena sekolahku hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.

Aku pasti selalu jadi salah satu orang yang suka datang lebih awal termasuk Mawar, sahabatku yang lama-kelamaan mulai aku cintai. Aku tak pernah menduga, kalau hal konyol yang kukira hanya ada di sinetron-sinetron itu bisa terjadi padaku juga. Seseorang yang jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri karena terlalu dekat.

"Mau kemana?" tanyaku kepadanya saat ia menarik tanganku.
Ia lalu tersenyum begitu manis. "Sudahlah ikut saja."

Aku tak bisa menolak ajakannya. Dia adalah perempuan yang unik dan juga "cuek". Pernah suatu ketika, di Perpustakaan saat ramai orang, dia dengan cuek-nya makan siang di tempat itu yang sudah ia siapkan sebagai bekal dan uniknya lagi ia makan dengan menggunakan tangannya langsung tanpa sendok, garpu, apalagi sekop. Aku bertanya kepadanya: "Kamu tidak malu, War?". Lalu dia menjawab: "Untuk apa malu? Aku melakukan apa yang aku suka. Jika orang  tak suka, ya itu urusan orang."

Sebuah ketegasan yang luar biasa dari seorang perempuan menurutku. Di zaman sekarang, perempuan lebih suka meniru jadi orang lain, terlebih artis idolanya; menjadi putih seperti mereka, langsing, dan sebagainya ketimbang menjadi diri sendiri yang sesungguhnya. Mereka lebih suka bersandiwara dengan topeng yang menutupi muka asli mereka atau dengan tangan yang tembus pandang. Tidak seperti Mawar, yang manjalani hidup apa adanya. Tersenyum apa adanya dan mencinta apa adanya.

Aku masih dibawa olehnya. Entah malaikat kecil apa yang merasukinya hingga ia begitu bersemangat. Aku terus diajak menaiki tangga sekolah hingga berada di balkon.


Wednesday, January 18, 2012

Cinta Yang Terbingkai

foto: google.com

Perlukkah kita ambil perkakas untuk
menghancurkannya?

atau kita gunakan kapas untuk melepaskannya?

atau kita biarkan saja cinta ini terus terbingkai
sampai angin tiba?

Aku merenung, kau menangis,
dan Tuhan tertawa.

M. Fathir Al Anfal (2012)

Tuesday, January 17, 2012

Aku dan Kisah Horror di UI

Sebelumnya, aku tak pernah mempercayai hantu ataupun sejenisnya. Mungkin sekedar tahu dan tak sungguh-sungguh percaya kalau mereka memang ada. Buatku, yang hidup di zaman serba canggih ini, hantu adalah tokoh fiksi yang semu bagai sebuah omong kosong yang tak berdalih.


foto: google.com

Banyak sekali kisah horror yang pernah mampir di telingaku, khususnya di kampusku tercinta ini, Universitas Indonesia, yang dikisahkan teman-temanku. Dimulai dari hantu kuntilanak merah, hantu di Fakultas Teknik yang selalu muncul setiap tahunnya di acara wisuda, arwah perempuan yang gantung diri di kantor Rektorat, sampai Arwah gadis penghuni Gerbatama.

Sebagai seorang teman dan pendengar yang baik, aku memang mendengarkan kisah-kisah itu dan mencernanya dengan baik namun itu hanya bagai angin lalu untukku, yang masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri ataupun sebaliknya.

Hingga suatu malam, tiga kejadian aneh dalam satu malam benar-benar mengubah pemikiranku tentang hantu dan sejak itu, aku "meneliti" banyak hal tentang mereka; mengapa mereka ada dan untuk apa? apa mereka memang suka menggangu manusia atau justru manusia yang membuatnya merasa terganggu. Bahkan, aku pernah mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti uji nyali di salah satu acara televisi yang cukup ternama hanya untuk sekedar mengetahui tentang mereka.

                     ***

Malam itu, aku lupa tanggal berapa, tapi aku ingat harinya. Ya. Hari Kamis malam Jum'at. Entah Jum'at Kliwon ataupun bukan, tapi yang pasti malam Jum'at kala itu benar-benar mencekam aku dan temanku, Nusa.

Saat itu, di kampus, tengah ada konser musik yang diadakan FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) dan dimeriahkan oleh beberapa band kampus dan guest star-nya adalah salah satu band yang sangat tenar dan telah malang-melintang di penjuru Indonesia, sebut saja Jigsaw Band.

Konser selesai pukul 10 Malam. Temanku, Nusa, yang berasal dari kampung dan sedikit kampungan, dengan narsis-nya minta difotoin oleh aku dengan Handphone-ku. Dalam pikiranku: "Aduh, ini temanku sudah narisi, tidak modal pula."

Tapi, entah mengapa, seakan tertular oleh virus narsis yang begitu kuat, aku juga tak mau hanya memenuhi album fotoku dengan foto orang lain tanpa ada foto akunya. Alhasil, akupun ikut ber-narsis-narsis-ria.

Usai berfoto, kami bergegas pulang dan entah ini sebuah kebetulan atau ada "sesuatu" yang membuat kami berfikiran hal yang sama yaitu pulang ke asrama berjalan kaki. Bukan karena kami tak punya uang untuk naik angkot, tapi aku ingin sekedar menguji nyali dan untuk si Nusa, dia memang hobi berjalan kaki. Katanya, dulu waktu sekolah, dia harus berjalan kaki menaiki tangga bukit dan menyeberangi sungai untuk sampai sekolah di kampungnya yang dari rumah kira-kira berjarak 7 Kilometer. Hah, benar-benar orang pedalaman, namun dia cukup jenius, setidaknya satu level di bawahku. Jika dia Expert, aku Master-nya (level dalam beberapa game).

Akhirnya, dengan tekad yang mantap, kami mulai berjalan kaki. Menyusuri gelap jalan yang lengang dan kegelapan hutan yang seakan mengiringi setiap langkah kami. Malam itu sudah pukul 11. Mungkin lewat.

                     ***

Sunday, January 15, 2012

"Anda Dalang Malari, kan?"

Foto: google.com


15 Januari 1974, seorang polisi dengan tubuh kekar berotot, bersama beberapa anak buahnya,
menyatroni sebuah rumah di jalan Tanaka Kakuei.

"Apa anda Dalang?" tanya polisi itu kepada pria pemilik rumah.
"Ya," jawab si pemilik rumah dengan tubuh gemetar diserati rasa penasaran.
"Pengawal, tangkap dia!" ujar polisi itu kepada anak buahnya yang akhirnya memborgol pria itu.

"Apa salah saya, pak? Apa salah saya?" teriak pria itu dengan meronta-ronta.

"Jangan berpura-pura! Nama anda Ali, kan? Dan anda dalang Malari, kan? Anda juga eks PSII dan Masyumi kan?" tanya si polisi dengan wajah yang sangar dan pandangan mata yang menusuk.

"Dasar polisi bego! Bapak salah tangkap! Nama saya itu Soemitro! Saya itu dalang OVJ! Saya juga bukan eks PSII tapi PSIS Semarang. Kalau Mak Syumi, nama panggilan ibu saya."



M. Fathir Al Anfal (15 Januari 2012)

*Di sana gunung, di sini gunung. Penulisnya bingung, pembacanya juga bingung. =)
Cerita yang sedikit ngawur ini dipersembahkan untuk mengenang tragedi Malari, 15 Januari 1974.

Thursday, January 12, 2012

Aku Rindu Negeri Asalku, Indonesia

foto: google.com


Setahun sudah aku tinggal di Negeri Senja* ini. Negeri yang makmur dan maju. Teknologi mutakhir yang tak tertandingi ada di negeri ini.


Setahun yang lalu, aku mendapatkan beasiswa yang membawaku untuk melanjutkan studi di sini. Awalnya aku sangat gembira dan ingin cepat-cepat meninggalkan negeri asalku yang penuh tikus got, anjing berbulu domba, pengadu domba, dan segala jenis binatang. Negeri yang bernama Indonesia. Restu orang tua pun mengiringi langkahku meski peluh air mata membanjiri jalan.


Tapi, kini, aku begitu rindu dengan Indonesia. Bukan hanya rindu dengan kedua orang tuaku dan bukan rindu dengan tikus got, korupsi, dan segala macam sampah dan kebusukannya, tapi rindu dengan keramahan orang Indonesia. Seluruh dunia pun tahu. Senyum selalu terpatri, tak seperti di sini, yang cenderung individualisitis. Budaya yang elok dan keindahan alam yang mengagumkan juga ada di negeri asalku.


Tapi, aku harus bersabar karena aku memiliki sebuah misi. Misi untuk memajukkan negeri asalku dari ilmu yang kuperoleh di sini sekaligus memberantas korupsi yang tak pernah terjadi di Negeri Senja ini.
Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…
Harapan untuk Indonesia yang lebih baik dan aku takkan pulang sebelum membawa perubahan.


Ket:
* Nama "Negeri Senja" diambil dari novel Seno Gumira A. yang berjudul sama.


Muhammad Fathir Al Anfal (2012). Peserta RAMEN no. 106.
Klik link di bawah ini ya:


http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2012/01/12/ramen-aku-rindu-negeri-asalku-indonesia/