Wednesday, February 1, 2012

Kisah Cinta Anak Sastra

Pada suatu masa, seorang ahli astrologi yang terpaksa menahan keinginan buang air kecilnya di sebuah perjamuan makanan (karena pada masa itu, buang hajat di saat perjamuan makanan sangatlah tidak sopan), mengalami pembengkakan pada anusnya dan meninggal dunia sebelas hari setelahnya. Lalu, seakan mengulang kejadian yang sama, seorang ibu yang mengikuti perlombaan menahan buang air kecil setelah minum beberapa botol air mineral juga harus meregang nyawa akibat menahan buang air kecil.* Jika menahan buang air kecil saja dapat menyebabkan kematian, pertanyaanya; apakah kita akan mati jika menahan perasaan cinta kepada seseorang?

Hal bodoh itulah yang kini tengah dirasakan dua sekawan berbeda sifat namun sama jenis kelamin, Riko dan Dwi. Riko adalah anak Kota Metropolis yang hidupnya tak pernah sepi dari kerlingan keindahan duniawi. Hidupnya pun sudah jauh dari Penciptanya sendiri. Tak pernah lagi ada sedetik pun nama Tuhan dalam ingatannya apalagi berjumpa dengannya dalam ibadah salat yang harusnya wajib dilakukan. Beralih ke Dwi, dia adalah antonimi dari Riko. Salat wajib dan salat sunah selalu ia jalankan. Ayat-ayat suci selalu ia babat habis setiap sore hari. Puasa Senin-Kamis menjadi pelengkapnya. Namun, bagaimana mereka bisa bertemu, bersahabat, dan sama-sama mengalami kisah cinta yang gersang?
foto: google.com
                      
                                            ***

Beberapa bulan yang lalu, di Aula Gedung yang hampir penuh sesak oleh calon-calon mahasiswa Universitas X yang tengah melakukan proses registrasi akademik dan administrasi, Dwi dengan kemeja hijau baru datang dengan map kuning di tangan mencoba mencari tempat kosong untuk duduk. Ia melirik ke pojokan, ia lihat celah kosong di sana yang muat untuk satu orang. Tanpa basa-basi, ia langsung melangkahkan kaki ke tempat tujuan.

Ia lega saat akhirnya bisa duduk di bagian pojok sambil bersandar. Terlihat di sisi kanannya yang tengah duduk pula, seorang pria dengan kulit cokelat matang dan rambut acak-acakan. Ia pun mencoba berkenalan dengan pria di sisi kanannya itu dan menghiraukan tembok yang tak bisa diajak bicara di sisi kirinya.

"Boleh kenalan?" ujar Dwi memulai sambil menjulurkan tangannya.
"Iya, aku Riko, kamu?" jawabnya.
"Dwi. Kamu asal dari mana?" tanya Dwi lagi penasaran.
"Anak Kota Metropolis. Kamu?"
"Oh, kalau aku dari luar kota. Dari kampung. Kamu jurusan apa?"

Dalam hati, Riko mulai kesal karena terlalu banyak ditanyai tapi mencoba meladeni karena tak ingin membuat lawan bicaranya jadi sakit hati.
"Aku Jurusan Sastra X, kamu sendiri?"
"Sastra X? Serius?", ujarnya kaget seakan diiringi suara musik yang biasa terjadi di sinetron-sinetron.
"Iya, memang kenapa?" tanya Riko yang balik penasaran.
"Aku juga Sastra X. Aku tidak menyangka kalau langsung bertemu teman satu jurusan di sini," ujarnya dengan nada yang sepertinya penuh semangat.
"Oh, aku juga. Kalau begitu salam kenal ya. Oh ya, omong-omong, kamu masuk ke universitas ini lewat jalur apa?" tanya Riko melanjutkan.

Mereka pun terus bercakap-cakap hingga akhirnya berpisah setelah keduanya sama-sama sudah menyelesaikan proses registrasi ulang.

Sekitar satu minggu kemudian, entah jodoh atau sekedar takdir, mereka kembali dipertemukan Tuhan di asrama kampus. Singkatnya, mereka sama-sama mendaftarkan diri untuk menjadi penghuni asrama dan karena sudah pernah bertemu sebelumnya, sudah saling kenal, dan satu jurusan pula, mereka sepakat untuk memilih tinggal dalam satu kamar. Sejak saat itu, mereka selalu bersama-sama. Makan bersama, menyanyi bersama, dan berangkat kuliah bersama. Bagaimana dengan mandi bersama?Tentunya tidak. Setidaknya mereka masih waras dalam masalah seks; mereka masih menyukai lawan jenisnya.

                     ***

Waktu terus berjalan, bahkan lebih cepat, seakan berkejaran dengan perjalanan kuliah mereka. Banyak cerita terjadi, tentunya (jika lebih signifikan) menyangkut masalah asmara, di atas masalah kuliah mereka sendiri yang kerapkali mereka sepelekan, yang ternyata tak terasa sudah mereka lalui selama 5 bulan.

Riko jatuh cinta oleh seorang perempuan yang juga mengambil jurusan Sastra X yang artinya mereka sekelas namun sebuah perbedaan mencolok seakan menjadi pembatas. Mereka berdua dibedakan oleh agama. Ya, Riko yang beragama Islam (Mungkin lebih tepatnya, Islam KTP) tak mungkin berpasangan dengan Wulan yang beragama Non-Islam. Pembatas makin tebal, saat di pertengahan semester, Wulan resmi berpacaran dengan seorang pria yang bukan merupakan mahasiswa Universitas X tersebut di akun facebook dan twitter-nya. Kabar buruk itu langsung menghujat hatinya dan membakar perasaanya hingga tertinggal sisa-sisa hitam yang sulit dilenyapkan.

Sementara itu, Dwi tertarik oleh pesona seorang gadis yang berbeda jurusan (Sebut saja Sastra Y) bernama Siska. Sejak pertama kali melihat Siska di Bus Kampus, ia sudah tergila-gila dengannya. Matanya, bibirnya, membuat ia terbuai. Ya, meski rajin beribadah, Dwi juga masih memiliki hawa nafsu, terlebih kepada Makhluk-Indah-Ciptaan-Tuhan tersebut. Ia makin berhasrat memacari gadis yang tingginya sebahu dirinya itu saat ia tahu bahwa Siska satu fakultas dengannya, meski tidak satu jurusan. Tekadnya tak kalah menggebu-gebu dengan tekad Riko yang juga ingin memacari Wulan.

Namun, mereka berdua sampai saat ini belum juga bergerak lebih jauh, minimal agar kedua gadis itu tahu akan perasaan mereka masing-masing. Mereka tak memiliki keberanian lebih layaknya seorang laki-laki. Namun, mereka tetaplah laki-laki, hanya saja, ke-gentle-annya belum tumbuh sempurna.

Di satu sisi, Riko terus mencurahkan isi hatinya hanya lewat Blog, lewat cerpen dan puisi-puisinya yang ia harap dibaca oleh Wulan yang notabene juga sangat menyukai sastra. Apalagi, Wulan juga memiliki blog yang juga berisikan cerpen dan puisi-puisi karya dirinya. Kesamaan itu pulalah yang membuat Riko makin mencintai Wulan. Baginya kata-kata yang dicurahkan Wulan dalam setiap karyanya sungguh sangat indah, seindah Sang Penulisnya.

Lain ladang, lain belalang. Lain Riko, lain pula Dwi. Di sisi lain, Dwi yang sebenarnya tak terlalu handal dalam hal sastra, hanya mencurahkan perasaannya lewat status facebook dan twitter-nya, juga dengan harapan yang sama denga Riko, agar orang yang ia cintai, Siska, membacanya. Ia juga terus memantau status-status Siska, nyaris sepanjang hari. Dia tak ingin terlewat satu curahan hati saja dari bidadarinya itu.

"Hari ini, Siska menulis status yang intinya dia tak ingin berpacaran dulu. Dia ingin lebih fokus ke urusan kuliah. Nampaknya aku harus kembali menunggu," ujar Dwi dengan raut muka datar.
"Terkadang ucapan perempuan itu justru melambangkan sebaliknya. Perempuan itu suka berpura-pura," tegas Riko sedikit sok tahu.
"Yang benar? Jadi, maksudmu dia sekarang justru menunggu pangeran datang menembaknya?"
"Ya, kurang lebih seperti itu dan ratusan pangeran pasti akan berebut mencuri hatinya. So, jadilah yang pertama, baru jadi yang terbaik!" ucap Riko sambil mengepalkan tangannya.
"Kau benar, teman. Oh ya, kalau Wulan-mu bagaimana? Apa perkembangannya?"

Riko tak langsung menjawab. Dia melangkahkan beberapa langkah kaki ke depan dan kemudian beberapa langkah kaki ke belakang selama beberapa kali yang disaksikkan Dwi dengan herannya yang akhirnya ia berhenti tepat di hadapan Dwi dan menghela nafas sembari mengajak temannya tersebut duduk. Dengan perpaduan muka yang sedih ditambah cemburu, Riko mulai menceritakkan semuanya.

"Beberapa hari yang lalu, aku menulis sebuah puisi yang intinya aku ingin selalu ada di belakangnya, menjaganya seumpama suatu saat dia jatuh, agar tak jatuh hingga ke dasar, meski aku takkan pernah bisa memilikinya," ucap Riko.
"Lalu?" hati Dwi bertanya-tanya.
Riko pun menambahkan, "Tadi pagi, Wulan juga menulis sebuah puisi yang intinya, jangan salahkan dia yang tak bisa mencintai seseorang yang memang tak mungkin atau mungkin tak bisa ia cinta. Dan kau tahu? Aku rasa 'seseorang' itu adalah aku."

Dwi menepuk-nepuk bahu Riko semabri berkata, "Sabar kawan. Tapi, setidaknya kau sudah selangkah lebih maju dibanding aku."
"Maksudnya?" tanya Riko mengerutkan kening.
"Ya, dari situ dapat disimpulkan kalau Wulan sudah tahu perasaanmu, sedangkan Siska, sama sekali belum."
Kini giliran Riko menepuk-nepuk bahu Dwi, "Tenang, suatu saat dia pasti tahu kok. Biarkan angin mengalir, membuka pintu jendela, dan dari pintu jendela itulah kamu menyelinap masuk ke dalam hatinya."
"Wah wah ternyata aku beruntung bisa punya teman yang puitis kayak kamu. Setidaknya bisa mengobati kegalauan ini."

Riko tersenyum manis, "Ah biasa saja kali. Ehm, tapi bagaimana ya kalau aku suatu saat berniat meng-islamkan Wulan?"
Dwi dengan entengnya berkata, "Ah kamu saja jarang salat, bagaimana mau meng-islam-kan Wulan?"
Mendengar perkataan tersebut, spontan Riko menoleh ke arah Dwi, menatapnya sedikit tajam.
"Oh maaf, aku cuma bercanda kok, jangan dimasukin hati ya," ujar Dwi bermaksud mencairkan suasana.
"Tidak, perkataan kamu tadi benar. Aku ini menyedihkan. Islam hanya sebagai status KTP. Tapi, aku cuma butuh waktu kok untuk kembali rajin salat. Kamu doakan saja!" ujarnya seperti penuh penyesalan.

Dengan perasaan penasaran Dwi mencoba menanyakan sesuatu kepada Riko, "Rik, selama ini kamu tak pernah cerita kenapa kamu jadi malas salat. Aku yakin kok kamu dulu tidak seperti ini."
"Iya, aku dulu anak yang rajin beribadah. Suatu saat nanti akan aku ceritakan."
Dwi terdiam.
"Oh ya, kau tak mencoba menembak Siska?" ujarnya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku masih ragu, kamu sendiri apa sudah ada keinginan untuk melakukan itu kepada Wulan? Maksudnya menembak."
"Rencananya begitu. Aku tak peduli kalau pun dia menolakku. Toh, kami memang sulit untuk bersama, ya kan? Yang penting dia tahu dan perasaanku lega. Aku tak mau mati hanya karena menahan perasaan cinta ini."
"Ya sudah, aku mendoakanmu. Tapi, memangnya menahan rasa cinta bisa menyebabkan kematian ya?" tanya Dwi mencari jawaban.
"Iya lah. Menahan perasaan cinta bisa membuat kita stress, terus bunuh diri, terus mati deh," ucapnay sambil menggelakkan tawa.
Mereka berdua pun tertawa di malam yang hampir menuju puncaknya, yang siap berganti demi hari esok yang tak sabar menampakkan keeksistensiannya.

                     ***

Beberapa hari berselang hingga suatu pagi di penghujung semester pertama ini, saat Ujian Akhir Semester tengah menjadi momok yang coba dilewati para mahasiswa yang tentunya sudah berpikiran intelek dalam menghadapi segala jenis ujian, Riko, yang terburu-buru karena sudah hampir terlambat secara tak sengaja melihat Wulan sedang kesakitan di trotoar jalan menuju Fakultas. Dia pun langsung menghampirinya.

"Ada apa, Wulan?" tanyanya.
"Tadi aku diserempet motor yang ugal-ugalan dan sekarang kakiku keseleo karenanya," ujar Wulan dengan mimik sedikit kesal.
"Oh aduh kaki kamu berdarah juga tuh, aku gendong ya ke Koperasi Fakultas biar tidak infeksi, ini juga sudah mau telat."
"Ah tidak usah, kamu tidak usah sok baik sama aku."

Perkataan sedikit menyakitkan itu tak membuatnya menjadi ciut.
"Ya sudah, kamu ngesot saja sampai kelas? Lihat! Jalanan sepi, siapa yang mau menolong kamu? Lagipula sampai kapan sih kamu mau menolak kebaikan orang? Hanya kebaikannya!" sergah Riko.
Mereka berdua pun saling bertatapan, dikibasi angin yang numpang lewat di antara mereka. Riko lalu membalikkan tubuhnya dan segera meninggalkan Wulan meski hatinya tak tega.

Namun, baru sekitar 9-10 langkah, Wulan dengan suara lirih memanggil nama Riko. Ia membalikkan badan menatap wajah Wulan yang sendu. Ia lalu menghampirinya dan tanpa sepatah katapun langsung menggendongnya, mengantarnya ke Koperasi Fakultas untuk membeli Hansaplast dan langsung menuju kelas dan selama perjalanan ke dua titik tersebut, Riko hanya diam. Sesampainya di kelas, meski telat, dosen yang bersangkutan tetap memperbolehkan mereka masuk untuk mengikuti UAS. Satu kelas pun menyambut mereka dengan ucapan-ucapan seperti: "Cieee" ataupun "Prikitiw".

Namun, malam harinya, saat Riko selesai berselancar di dunia maya di Perpustakaan Universitas, tiba-tiba ia dihadang oleh sesosok perempuan yang selama ini ia cintai di trotoar tempat mereka bertemu tadi pagi. Jalanan di sana sudah cukup sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang lewat yang bermunculan setiap kali dalam tenggat waktu yang agak lama.

Dengan dingin Riko bertanya, "Ada apa? Kenapa kamu belum pulang? Kakimu sudah sembuh?"
"Aku perlu tahu sesuatu dari kamu."
Riko mulai deg-deg-an saat tanyanya justru dijawab dengan kaliamt yang membuatnya terpojok tapi ia tetap mencoba tenang di hadapannya, tak ingin terlihat gugup.
Bidadari itu kembali melanjutkan, "Kenapa kamu selama ini baik kepadaku?"
"Jawabannya simple kok, hanya karena tiga kata."
"Tiga kata? Apa? Karena apa?", tanyanya sedikit memaksa.
"Karena aku..... aku memang baik," ujarnya lalu mencoba meninggalkan Wulan.

Namun, tiba-tiba Wulan memegang tangan Riko sambil sedikit menariknya dan berkata, "Tunggu!"
Riko terkejut dan sesaat menatap tangan Wulan yang memegang tangannya sebelum akhirnya dilepaskan.
"Maaf, maksud aku, bukan itu jawabannya. Aku ingin tahu kenapa kamu terkesan ingin menjaga aku. Toh kamu tahu kan? aku sudah punya cowok," ujar Wulan dengan mata yang mulai berlinang.
"Iya, tapi pacar kamu itu jauh, kan? Dia tidak akan bisa menjaga kamu kalau terjadi apa-apa di sini, kan? Jadi, biarlah aku menjagamu di ..."
"Di saat aku jatuh kan?" potong Wulan dengan cepatnya.

Riko mulai tersudut, ia malah justru membalikkan badan dan mencoba meninggalkan Wulan yang masih diluap emosi. Tapi, dengan reflek cepat, Wulan sudah berada di hadapannya dan mencegatnya.
"Kenapa? Kamu mulai tersudut? Kenapa pula kamu tak menyatakannya sekarang mumpung aku ada di depan kamu! Aku sudah tahu semua dari Blog kamu. Aku merasakannya."
"Oke, aku katakan kalau aku cinta sama kamu. Aku juga tak tahu kenapa bisa jatuh cinta sama kamu dan tak seharusnya karena toh hanya sia-sia jadinya."
"Sia-sia bagaimana?" tanya Wulan lagi.
"Ya sia-sia. Bayangkan, jika kita berpacaran dan akhirnya berpisah juga karena perbedaan yang ada. Puas?"
"Harusnya kamu mengatakannya sejak dulu, sebelum aku berpacaran dengan orang lain."
"Apa bedanya? Toh kamu tetap akan menolakku, kan?"

Wulan jadi menatap lebih tajam, menusuk mata Riko yang juga mulai berlinang.
"Cowok macam apa kamu? Sudah kalah sebelum perang!"
"Kamu baru tahu? Aku memang bukan cowok gentle, jadi biarkan aku pergi!"


Langkah Riko akhirnya tak terbendung lagi, begitu pula tangisannya. Apakah pria tak boleh menangis? Toh pria kan juga tercipta dengan kantung air mata, sama seperti perempuan, jadi manusiawi sekali, bukan?


Di sisi lain, Wulan juga menangis sesunggukan, seakan tak percaya apa yang terjadi barusan. Perasaannya bertalu dengan emosi melahirkan sesuatu yang biasa kita sebut dilema. Dengan langkah gontai dan ditemani rembulan yang seakan ingin menghiburnya dan mengusapkan air mata yang berlinang di pipinya agar tak jatuh membasahi jalan yang ia lewati, jalan menuju rumah.

Tapi, cerita belum berakhir sampai di sini, sama sekali belum. Ini hanya awal dari kisah cinta anak sastra, kisah cinta yang gersang.

Trilogi Cerpen karya Muhammad Fathir Al Anfal (Februari 2012)

Ket:
* Dikutip dari On The Spot Trans 7

No comments:

Post a Comment