Monday, January 30, 2012

Menanti Bulan Cinta

foto: google.com

Menanti Bulan Cinta.
Menanti kawanan burung berbulu hitam menutupi tubuh matahari,
menjadikannya malam.
Mendatangkan yang dinanti.

Hanya tinggal kita berdua di Tanah Tandus ini.
Menanti Bulan Cinta.

Kita berciuman di bawah sorotnya
dan cinta kita akan abadi
selamanya.

Maka, ucapkanlah: "Selamat datang, Bulan Cinta."

M. Fathir Al Anfal (Sekitar 10 Jam Menuju Bulan Cinta)

Beasiswa

Almarhum Ibuku pernah berkata seperti ini kepadaku: "Kamu sudah diberi jalan, Nak. Hanya saja jalan yang akan kamu lalui itu penuh beling dan duri. Nah, sekarang tinggal bagaimana cara kamu menyingkirkan pecahan beling dan duri-duri itu hingga sampai ke ujung jalan?"
foto: google.com

Kata-kata singkat penuh makna itu selalu aku ingat karena itu adalah petuah terakhir ibu sebelum ia menghadap Illahi beberapa bulan yang lalu karena penyakit jantung yang telah lama dideranya atau setelah aku diterima di salah satu universitas terbaik di negeri ini dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah.

Kematian ibu jelas membuatku terpukul. Terang saja, karena aku tak pernah menduga sebelumnya akan ditinggal secepat ini, sebelum aku dapat membahagiakannya. Saat Sang Malaikat Maut menjemput ibu, aku sedang menjalani Kamaba (Kegiatan awal mahasiswa baru) atau mungkin lebih dikenal dengan sebutan ospek.

Siang yang begitu panas di bulan puasa itu terasa tambah panas dan membuatku semakin berkeringat saat tetanggaku yang juga merupakan mantan teman kerja ibuku meneleponku, mengabarkan bahwa penyakit jantung ibuku kambuh lagi dan dalam kondsi yang gawat darurat. Aku bergegas pulang setelah meminta izin kepada panitia Kamaba.

Di sisi lain, ayahku, yang pada saat bersamaan sedang bekerja di bengkel juga langsung meminta izin pulang. Di dalam angkot yang penuh penumpang dan panas, rasa was-was dan khawatir membayangiku saat itu. Aku sangat takut sekali kehilangan ibuku yang lembut dan penuh kasih sayang sekalipun aku sering bandel di masa kecilku. Tetes air mata rasanya ingin mengalir tapi sekuat mungkin aku tahan di antara orang-orang tak kukenal yang berada di dalam angkot.

Seperempat jam berlalu. Terik bara neraka yang membakar tubuh serta pikiran menemaniku dalam setaip langkah menuju rumah selepas turun dari angkot. Namun, sesampainya di rumah, aku melihat para tetangga sudah penuh mengerubungi pelataran rumahku. Dari situ, aku menyadari sesuatu yang tak kuinginkan.

Aku masuk ke dalam rumah. Jasad ibu terbaring kaku dengan bibir yang sepertinya tersenyum.
"Ibumu meninggal 5 menit yang lalu, dek. Sabar ya," ujar salah seorang tetanggaku sambil merangkulku. Aku melepaskan diri dari rangkulannya dan menangis sesunggukkan tanpa sepatah kata apapun di depan jasadnya. Tak lama kemudian, ayah datang, yang kemudian ikut menyusulku menangis bersama. Suasana haru menyelubungi dinding, pintu, dan atap rumahku. Membuat mereka seakan ikut menangis.

Itu adalah saat-saat terakhir aku melihat wajah ibu. Kini, meski sudah tiada, kenangan bersamanya takkan pernah mati, begitu pula petuah terakhirnya. Aku akan menyingkirkan segala duri dan beling dan sampai di ujung jalan dengan senyum bahagia. Pasti.

                          ***

Sunday, January 29, 2012

Jangan Tanya Apa Judulnya

Foto: Dokumen Pribadi.

(I)
Kala waktu berbicara;
Kedewasaan mengikat resah,
Menggulung kesah.

Bagai kepak sayap kupu-kupu
yang tak lelah mengibas udara.

Kau yang berulang tahun hari ini;
yang meraibkan segala gundahku,
mengajakku tersenyum dalam gelap,
dan berpetualang menembus Khayangan.

Terima kasih, Sahabatku.

Semoga kau tetap menjadi kupu-kupu
dan meraih segala manis
dan biarlah waktu kembali berbicara
sebagai Juru Bicara Yang Maha Sempurna.

(II)
Jika kau membaca ini, Sahabatku,
jangan tanya apa judulnya,
karena ini bukan sekedar puisi
tapi juga tumpahan doa

dari Sahabatmu.

M. Fathir Al Anfal (29 Januari 2012)

Friday, January 20, 2012

Ketika Sesorang Berada di Atas

Ada dua kemungkinan ketika seseorang berada di atas. Pertama, dia bisa melihat apa saja yang ada di bawah atau dia takkan pernah memandang apa saja yang ada di bagian bawah dan hanya memilih ke depan; melihat pemandangan yang dari jauh begitu jelas dan indah bila dilihat dari atas.
foto: google.com

Mawar tiba-tiba menarik tanganku yang dingin di pagi itu, pagi yang dingin dan sunyi, di sekolah, karena jam pun baru menunjukkan pukul 6.15 tapi aku sudah ada di sana sejak 15 menit yang lalu. Ya, karena sekolahku hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.

Aku pasti selalu jadi salah satu orang yang suka datang lebih awal termasuk Mawar, sahabatku yang lama-kelamaan mulai aku cintai. Aku tak pernah menduga, kalau hal konyol yang kukira hanya ada di sinetron-sinetron itu bisa terjadi padaku juga. Seseorang yang jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri karena terlalu dekat.

"Mau kemana?" tanyaku kepadanya saat ia menarik tanganku.
Ia lalu tersenyum begitu manis. "Sudahlah ikut saja."

Aku tak bisa menolak ajakannya. Dia adalah perempuan yang unik dan juga "cuek". Pernah suatu ketika, di Perpustakaan saat ramai orang, dia dengan cuek-nya makan siang di tempat itu yang sudah ia siapkan sebagai bekal dan uniknya lagi ia makan dengan menggunakan tangannya langsung tanpa sendok, garpu, apalagi sekop. Aku bertanya kepadanya: "Kamu tidak malu, War?". Lalu dia menjawab: "Untuk apa malu? Aku melakukan apa yang aku suka. Jika orang  tak suka, ya itu urusan orang."

Sebuah ketegasan yang luar biasa dari seorang perempuan menurutku. Di zaman sekarang, perempuan lebih suka meniru jadi orang lain, terlebih artis idolanya; menjadi putih seperti mereka, langsing, dan sebagainya ketimbang menjadi diri sendiri yang sesungguhnya. Mereka lebih suka bersandiwara dengan topeng yang menutupi muka asli mereka atau dengan tangan yang tembus pandang. Tidak seperti Mawar, yang manjalani hidup apa adanya. Tersenyum apa adanya dan mencinta apa adanya.

Aku masih dibawa olehnya. Entah malaikat kecil apa yang merasukinya hingga ia begitu bersemangat. Aku terus diajak menaiki tangga sekolah hingga berada di balkon.


Wednesday, January 18, 2012

Cinta Yang Terbingkai

foto: google.com

Perlukkah kita ambil perkakas untuk
menghancurkannya?

atau kita gunakan kapas untuk melepaskannya?

atau kita biarkan saja cinta ini terus terbingkai
sampai angin tiba?

Aku merenung, kau menangis,
dan Tuhan tertawa.

M. Fathir Al Anfal (2012)

Tuesday, January 17, 2012

Aku dan Kisah Horror di UI

Sebelumnya, aku tak pernah mempercayai hantu ataupun sejenisnya. Mungkin sekedar tahu dan tak sungguh-sungguh percaya kalau mereka memang ada. Buatku, yang hidup di zaman serba canggih ini, hantu adalah tokoh fiksi yang semu bagai sebuah omong kosong yang tak berdalih.


foto: google.com

Banyak sekali kisah horror yang pernah mampir di telingaku, khususnya di kampusku tercinta ini, Universitas Indonesia, yang dikisahkan teman-temanku. Dimulai dari hantu kuntilanak merah, hantu di Fakultas Teknik yang selalu muncul setiap tahunnya di acara wisuda, arwah perempuan yang gantung diri di kantor Rektorat, sampai Arwah gadis penghuni Gerbatama.

Sebagai seorang teman dan pendengar yang baik, aku memang mendengarkan kisah-kisah itu dan mencernanya dengan baik namun itu hanya bagai angin lalu untukku, yang masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri ataupun sebaliknya.

Hingga suatu malam, tiga kejadian aneh dalam satu malam benar-benar mengubah pemikiranku tentang hantu dan sejak itu, aku "meneliti" banyak hal tentang mereka; mengapa mereka ada dan untuk apa? apa mereka memang suka menggangu manusia atau justru manusia yang membuatnya merasa terganggu. Bahkan, aku pernah mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti uji nyali di salah satu acara televisi yang cukup ternama hanya untuk sekedar mengetahui tentang mereka.

                     ***

Malam itu, aku lupa tanggal berapa, tapi aku ingat harinya. Ya. Hari Kamis malam Jum'at. Entah Jum'at Kliwon ataupun bukan, tapi yang pasti malam Jum'at kala itu benar-benar mencekam aku dan temanku, Nusa.

Saat itu, di kampus, tengah ada konser musik yang diadakan FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) dan dimeriahkan oleh beberapa band kampus dan guest star-nya adalah salah satu band yang sangat tenar dan telah malang-melintang di penjuru Indonesia, sebut saja Jigsaw Band.

Konser selesai pukul 10 Malam. Temanku, Nusa, yang berasal dari kampung dan sedikit kampungan, dengan narsis-nya minta difotoin oleh aku dengan Handphone-ku. Dalam pikiranku: "Aduh, ini temanku sudah narisi, tidak modal pula."

Tapi, entah mengapa, seakan tertular oleh virus narsis yang begitu kuat, aku juga tak mau hanya memenuhi album fotoku dengan foto orang lain tanpa ada foto akunya. Alhasil, akupun ikut ber-narsis-narsis-ria.

Usai berfoto, kami bergegas pulang dan entah ini sebuah kebetulan atau ada "sesuatu" yang membuat kami berfikiran hal yang sama yaitu pulang ke asrama berjalan kaki. Bukan karena kami tak punya uang untuk naik angkot, tapi aku ingin sekedar menguji nyali dan untuk si Nusa, dia memang hobi berjalan kaki. Katanya, dulu waktu sekolah, dia harus berjalan kaki menaiki tangga bukit dan menyeberangi sungai untuk sampai sekolah di kampungnya yang dari rumah kira-kira berjarak 7 Kilometer. Hah, benar-benar orang pedalaman, namun dia cukup jenius, setidaknya satu level di bawahku. Jika dia Expert, aku Master-nya (level dalam beberapa game).

Akhirnya, dengan tekad yang mantap, kami mulai berjalan kaki. Menyusuri gelap jalan yang lengang dan kegelapan hutan yang seakan mengiringi setiap langkah kami. Malam itu sudah pukul 11. Mungkin lewat.

                     ***

Sunday, January 15, 2012

"Anda Dalang Malari, kan?"

Foto: google.com


15 Januari 1974, seorang polisi dengan tubuh kekar berotot, bersama beberapa anak buahnya,
menyatroni sebuah rumah di jalan Tanaka Kakuei.

"Apa anda Dalang?" tanya polisi itu kepada pria pemilik rumah.
"Ya," jawab si pemilik rumah dengan tubuh gemetar diserati rasa penasaran.
"Pengawal, tangkap dia!" ujar polisi itu kepada anak buahnya yang akhirnya memborgol pria itu.

"Apa salah saya, pak? Apa salah saya?" teriak pria itu dengan meronta-ronta.

"Jangan berpura-pura! Nama anda Ali, kan? Dan anda dalang Malari, kan? Anda juga eks PSII dan Masyumi kan?" tanya si polisi dengan wajah yang sangar dan pandangan mata yang menusuk.

"Dasar polisi bego! Bapak salah tangkap! Nama saya itu Soemitro! Saya itu dalang OVJ! Saya juga bukan eks PSII tapi PSIS Semarang. Kalau Mak Syumi, nama panggilan ibu saya."



M. Fathir Al Anfal (15 Januari 2012)

*Di sana gunung, di sini gunung. Penulisnya bingung, pembacanya juga bingung. =)
Cerita yang sedikit ngawur ini dipersembahkan untuk mengenang tragedi Malari, 15 Januari 1974.

Thursday, January 12, 2012

Aku Rindu Negeri Asalku, Indonesia

foto: google.com


Setahun sudah aku tinggal di Negeri Senja* ini. Negeri yang makmur dan maju. Teknologi mutakhir yang tak tertandingi ada di negeri ini.


Setahun yang lalu, aku mendapatkan beasiswa yang membawaku untuk melanjutkan studi di sini. Awalnya aku sangat gembira dan ingin cepat-cepat meninggalkan negeri asalku yang penuh tikus got, anjing berbulu domba, pengadu domba, dan segala jenis binatang. Negeri yang bernama Indonesia. Restu orang tua pun mengiringi langkahku meski peluh air mata membanjiri jalan.


Tapi, kini, aku begitu rindu dengan Indonesia. Bukan hanya rindu dengan kedua orang tuaku dan bukan rindu dengan tikus got, korupsi, dan segala macam sampah dan kebusukannya, tapi rindu dengan keramahan orang Indonesia. Seluruh dunia pun tahu. Senyum selalu terpatri, tak seperti di sini, yang cenderung individualisitis. Budaya yang elok dan keindahan alam yang mengagumkan juga ada di negeri asalku.


Tapi, aku harus bersabar karena aku memiliki sebuah misi. Misi untuk memajukkan negeri asalku dari ilmu yang kuperoleh di sini sekaligus memberantas korupsi yang tak pernah terjadi di Negeri Senja ini.
Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…
Harapan untuk Indonesia yang lebih baik dan aku takkan pulang sebelum membawa perubahan.


Ket:
* Nama "Negeri Senja" diambil dari novel Seno Gumira A. yang berjudul sama.


Muhammad Fathir Al Anfal (2012). Peserta RAMEN no. 106.
Klik link di bawah ini ya:


http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2012/01/12/ramen-aku-rindu-negeri-asalku-indonesia/

Tuesday, January 10, 2012

Untuk Hari Esok, Dirinya, dan Cinta


Foto: ketiganya diambil dari Google.com dan diedit di Pizap.com.

Risau merayap, menghinggapi angan yang terbengkalai.
Mendesah gumam dalam rintik hujan yang mendayu,
membawa sesosok bayang berkelebat memutariku,

Dingin,

Hitam,

Namun indah, begitu indah.

Aku terperanjat, menyaksikkan galau menyiksa diri.
Memperkosaku dalam lengang, memintal rindu.

Cakrawala menyibak senja, membangunkan diri dalam rangkaian keputus-asaan
dan rangkakan lenguh.
Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…

Ya, untuk hari esok, untuk dirinya, untuk cinta.

Muhammad Fathir Al Anfal, Peserta Ramen Nomer 106.
Baca ya di link di bawah ini:


Hari Rizka Yang Mengesankan

"Kadang tampang bisa menipu."
"Semua seakan memiliki benang merah."


Untuk Rizka Safitri (Mungkin dia adalah cinta pertama Si Penulis Cerpen Ini).





Foto: google.com


Pagi menjelang siang itu terasa begitu panas bagi Rizka, mahasiswi cantik yang sedang menanti bus yang akan membawanya pulang di sebuah halte. Tangannya sibuk mengotak-atik Handphone, membuka akun Facebook dan Twitter-nya seraya menghilangkan kejenuhan yang timbul karena terlalu lama menunggu.

Setelah beberapa menit, bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Ia pun menaruh kembali Handphone-nya ke dalam tas lalu berdiri mengawasi jalan dan mulai gelisah. Tanpa sepengetahuannya, sedari tadi seorang pria ternyata sudah memperhatikan gerak-geriknya dan kerapkali mengawasi keadaan sekitar dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat dirasa aman, pria itu mendekati Rizka dan secepat kilat merampas tasnya.. Spontan Rizka berteriak, "Jambret! Tolong! Jambret!."

Mendengar teriakan gadis manis yang berulang-ulang itu, beberapa pria langsung mengejar jambret itu dan Rizka pun ikut mengejar di belakang gerombolan pria yang sama-sama ingin menjadi seorang pahlawan.

Sementara itu, bagai seorang Pelari Nasional yang tengah memperebutkan medali emas, si jambret berlari dengan cepatnya meninggalkan orang-orang yang mengejar dan meneriakinya. Orang-orang di pinggir jalan itu hanya melihat tanpa ada yang berani menghentikkan langkah seribunya. Namun, saat asyik berlari tiba-tiba seoarng pengamen langsung menghantamkan gitarnya ke muka jambret yang brewokan itu, membuatnya terjungkal sekaligus menghentikan pelariannya. Pengamne itu pun langsung merebut tas dari tangan si jambret yang mukanya tengah kesakitan. Sialnya lagi, belum sempat bangun, orang-orang yang tadi mengejarnya langsung menghadiahi bogem mentah kepadanya. Sungguh malang. Tapi untungnya, tak sampai babak belur karena keburu dilerai oleh si pengamen. Atas saran pengamen pula, mereka sepakat untuk menyerahkan pelaku kriminal kelas teri itu ke pihak yang berwajib.

Saat itu pula, Rizka yang tadi ikut mengejar baru sampai dengan terengah-engah dan berdiri sedikit bungkuk dengan kedua tangan di pinggangnya.

"Ini tas kamu?," tanya sang pengamen.
"Iya, terima kasih ya," jawab Rizka masih agak terengah-engah dan meraih tasnya yang disodorkan pengamen itu.

Pengamen itu hanya tersenyum manis lalu berbalik badan dan mulai melangkah kaki untuk pergi meninggalkannya. Rizka hanya diam terpaku dan tampaknya dia begitu terkesan dengan senyuman itu. Hal itu sejenak membuatnya lupa untuk mengecek tasnya. Mungkin saja isinya sudah tak ada, pikirnya.

Setelah sadar, ia pun langsung mengecek isi tasnya. Untuk saja isinya masih utuh termasuk Handphone yang tadi ia simpan di tas tersebut. Tapi sebenarnya, bukan benda kotak yang menjadi nyawa kedua manusia saat ini itulah yang membuatnya khawatir, karena toh dia pasti bisa membelinya lagi bila hilang. Yang membuatnya khawatir adalah buku-bukunya yang berisikan banyak catatan penting berupa ilmu dan baginya ilmu tak bisa dibeli dengan uang meski pendidikan tentunya tak gratis 100%. Ditambah, dia malas untuk mencatat ulang bila catatan-catatan itu hilang.

Dia pun menarik nafas lega dan bersyukur karena isi tasnya masih utuh. Ia pun jadi teringat kembali oleh pengamen itu dan ingin menanyakan namanya. Tapi sayangnya, pengamen itu sudah hilang bersama siluetnya dan ia tak tahu kemana perginya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke rencana awal yaitu pulang ke rumah.

                     ***

Sunday, January 8, 2012

Sendal Ini Untuk Pak Hukum


foto: google.com

Pada suatu masa, seorang pemuda berumur belasan tahun, dengan langkah yang berderap mantap,
datang ke sebuah rumah di Jalan Satu Nomor Tiga.

Ia membawa sebuah kado berbungkus kertas lusuh bergambar Burung Derabat* untuk Pak Hukum yang hari ini berulang tahun yang ke-66.

Pak Hukum makin renta. Makin buta warna. Hitam dibilang putih, putih dibilang hitam.
Makin tak bisa berbuat apa-apa. Makin bungkuk. Ditambah sakit-sakitan pula.
Otaknya mengalami Demensia**. Tikus dibilang Anjing. Anjing dibilang Kucing.
Borok-borok pun menyebar di sekujur tubuhnya. Benar-benar memprihatinkan.

Pemuda itu membuka kado yang berisikan sepasang sendal bermerk Swallow di depan mata Pak Hukum yang merem-melek.

"Sendal ini untuk Bapak." ujar si Pemuda.
"Untuk apa sendal itu, Nak?" tanya Pak Hukum.
"Untuk Bapak agar bisa terus berjalan di jalan yang penuh Beling."
"Oh, saya kira buat ditamparkan di muka saya."

Ket:
* Diangkat dari tokoh fiksi cerpen Derabat karya Budi Darma dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1999. Derabat dalam cerpen Budi Darma tersebut digambarkan sebagai burung yang sangat besar, sangat hitam, dan sangat jahat serta suka mencelakakan siapapun.
** Demensia adalah salah satu penyakit pada otak, di mana orang yang mengalaminya tak mampu memformulasikan ide (benda).

M. Fathir Al Anfal (2012)

Wednesday, January 4, 2012

Mengejar Bikun, Mengejar Cinta

"Apa makna kebetulan menurutmu?" tanyaku kepada temanku, Nur. Dia diam sejenak seakan bertanya 'kenapa?'. "Aku membaca novel Dadaisme karya Dewi Sartika dan di novel ini, ia menyuguhkan banyak 'kebetulan' di dalamnya. Aku hanya ingin tahu makna kebetulan darimu?", tambahnya lagi. "Menurutku, kebetulan itu memang sesuatu yang tak terduga dan tak sengaja terjadi, tapi bukan berarti kebetulan tak bisa dicapai dengan sengaja kan?" dia balik bertanya dengan mata yang penuh cahaya seperti namanya. Aku tak bergeming karena ketidakpahaman. "Terkadang kebetulan juga harus dicapai agar kebetulan itu benar-benar terjadi, karena sesungguhnya Tuhan tahu, tak ada yang namanya kebetulan." tegasnya.

 Foto: Bikun (Bus Kuning) UI (kiri). Kedua-duanya diambil dari google.com dan diedit di pizap.com


Yah, dia memang jago sekali berfilsafat, maklum saja, dia adalah Mahasiswa Universitas Indonesia, Program Sudi Filsafat. Terkadang aku tak paham atau mungkin tak peduli dengan segala celoteh dan tetek-bengek yang ia jabarkan berdasarkan teori-teori para filsuf Yunani, Soccertes atau Pohon Tales -entahlah siapa namanya itu- yang sedikit aneh dan membingungkan.

Sedangkan aku, mahasiswa universitas yang sama, hanya saja aku dari Program Studi Sastra Indonesia, lebih menyukai berceloteh dalam puisi, cerpen, dan segala jenis sastra, terlebih dalam hal cinta. Hanya untuk mencurahkan jiwa melankolis yang -kata buku tes kepribadian- terdapat pada diriku. Kelebihanku yang lainnya adalah berkhayal, berangan-angan, membayangkan seorang wanita datang dengan cinta yang tulus dan rela berdiri di ambang pintu hanya untuk menunggu aku bangun dari tidurku dan bunganya yang tak harum.

"Bagaimana Nada-mu?" tanyaku padanya.
"Tak ada harapan. Dia makin menjauh, Fer. Tadi saja di kantin, kami hanya saling pandang tanpa bicara seperti lagunya Evo -nama sebuah grup band Indonesia-," jawabnya dengan nada cukup menyentuh.
"Kau sendiri bagaimana dengan Livia?" tanyanya balik.
"Kau tak ada harapan, aku tak ada kemajuan. Aku ini lelaki bukan sih? Mendekati perempuan saja, aku tak bisa. Aku malah berkhayal perempuan yang datang padaku. Ah, hidup memang terkadang kejam!" jawabku dengan sedikit lampiasan perasaan.

"Hidup tak kejam, kawan. Buat apa Tuhan menaruh kita di Bumi, bukan di planet-planet yang lain? Karena Dia tak kejam untuk memberikan kehidupan yang kejam, dia tak ingin kita berada di Merkurius untuk mati terbakar, Dia juga tak ingin kita ada di Saturnus untuk mati konyol tanpa adanya oksigen. Jadi, hidup tak kejam. Manusia-manusia tanpa syukurlah yang membuatnya menjadi kejam. Seharusnya kita bersyukur, kawan!" ujarnya dengan begitu bijak dan kharismatik.

"Kau memang benar. Kalau bicara soal Tuhan, rasanya aku ingin ia memberikan aku sebuah kebetulan untuk bertemu dengan Livia, entah itu di mana, dan bisa berbincang-bincang dengannya," lirihku pelan.
"Amin, Insya Allah, Dia akan mengabulkannya. Tapi, ingat, kau juga harus berusaha untuk mencapainya!"

                     ***

Horeeee! Aku Mendapatkan 7,7 Miliar!





Kata orang, yang namanya rezeki, jodoh, dan maut itu di tangan Tuhan. Terkadang kita tak pernah tahu kapan ketiganya hadir. Orang juga bilang hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Tapi, apakah yang kini sudah di atas harus ketar-ketir karena suatu saat akan di bawah atau yang kini masih di bawah harus berbangga karena suatu saat akan di atas?

foto: google.com

Alkisah, di akhir tahun 2011, dua orang sahabat sedang bermain Kartu Uno, sebuah kartu dengan empat warna yang sangat seru dan masih banyak orang yang belum mengetahui soal kartu unik tersebut. Yang agak kurus dan berkulit cokelat tua bernama Farhan, sedangkan yang agak gemuk dan berkulit cokelat muda bernama Andi. Keduanya adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di negeri yang tak kalah ternama soal korupsinya ini.

Tiba-tiba, Farhan yang sebenarnya sedang menginap di kamar Andi yang tinggal di asrama kampus mendapat sebuah SMS dari nomer: +44777000xxxx (untuk keamanan). Tak penting masalah nomernya tapi yang membuat ia dan Andi kaget adalah bunyi SMS-nya. Karena SMS-nya menggunakan bahasa Inggris dan rakyat negeri ini banyak yang belum menguasai bahasa internasional tersebut, jadi saya terjemahkan saja. Begini bunyinya:

"Selamat, nomor ponsel anda memenangkan 550.000,00 Pounds. Untuk mengklaimnya, silakan kirim nama dan nomor ponsel anda via email ke: blablabla@blablabla.com (untuk keamanan)."

"Menurut kamu, apa ini sungguhan?," tanya Farhan.
"Entahlah, tapi tidak ada salahnya juga kalau di kirim nama dan nomormu. Siapa tahu saja benaran?", jawab Andi.
"Tapi, jangan-jangan ini jebakan?", ketus Farhan lagi.
"Tenang saja. Kan cuma nama sama nomer HP, jadi takkan berbahaya menurutku." tegas Andi dengan nada meyakinkan.

                           ***

Tuesday, January 3, 2012

Hidup Tak Bernyawa

Aromamu merasuk sukmaku. Mendekap relung memelukku.
Melihat apa yang tersembunyi di balik mata indah itu.
Jiwa yang resah terlukis dalam setiap gerakan anggun
di atas pentas laga.
Sesuatu menahanku!
Meraibkan nada-nada di sisipan tingkahku.

"Aku di sini!"

Di bawah awan kalbu kau lenyap
terhempas angin.
Kugapai ia yang tergulung tinggi.

"Aku memegangmu!"

Kau membuka telapak tanganmu, melepaskan asa.
Menghancurkan segala sergahku.

Ketika waktu takkan berjalan
tanpamu.
Nafas tertahan, tercekik di tenggorokan.

"Ambil nafasku!"

"Leburkan nadiku!"

Kau membuat raga ini pasi,
di bawah terik Sang Pusat Tata Surya,
melumatku hidup-hidup.

Shandy Donarisma, Filsafat UI 2011. (19 Juli 2009)
Editor: Muhammad Fathir Al Anfal.

Sunday, January 1, 2012

1 Januari 2012

Foto: google.com

Deraan kalbu menggiring
sekelebat bayang yang aus dalam suam.

Kemudian, pesta kembang api bertebaran
di langit hitam,
membahana hingga penjuru dunia.
Kecuali, di duniaku.

Duniaku yang sempit,
lusuh,
dan fana.

Yang aku ingat hanya Tuhanku,
bukan resolusi sia-sia,
bukan mitos kiamat,
celoteh Suku Maya Tolol,
ataupun badai matahari,
ataupun Dajjal yang katanya hendak keluar
dari perut bumi,
Begitu pula lelucon dan anekdot
yang membuat manusia
setengah menangis, setengah ketakutan.
Hingga melenyapkan tawa.

Bayang diri pun tenggelam dalam malam pergantian tahun.

Kututup segala tirai
yang mengakhiri segala pertunjukkan
di dunia luar tanpa arti.

Lalu adakah yang sepertiku?

M. Fathir Al Anfal (1 Januari 2012)