Friday, February 3, 2012

Veny & Nila: Duo Seksi Dari Gang Sawo

Sejak dulu sampai sekarang, selalu ada pernyataan yang menyatakan bahwa jadi perempuan itu susah. Mau begini, takut dibilang murahan. Mau begitu, nanti dikira sok jual mahal. Mau ini itu, bisa dicap matrealistis. Tapi, biar bagaimana pun sifat dan perilaku seorang perempuan, tetap saja ada suatu benang merah yang membuat mereka khas dan itu bisa ditemukan di dalam hati dan perasaannya.


foto: Facebook Veny Oktaviani Darmawan

Alkisah, pada suatu waktu di dunia yang fana ini, tinggallah dua perempuan yatim-piatu yang merupakan kakak-beradik. Mereka berdua sudah ditinggal mati sang ibu sejak si kakak berusia empat tahun dan si adik berusia dua tahun di bawahnya. Sedangkan, ayahnya pergi meninggalkan sang ibu saat si adik masih menjadi janin di dalam kandungannya. Sampai saat ini, tak pernah diketahui keberadaan ayahnya, meski 17 tahun telah berlalu. Dan selama rentang waktu 15 tahun, mereka diasuh oleh paman dan bibi mereka, yang merupakan adik dan ipar dari sang ibu.

Si kakak bernama Nila, umurnya sudah 19 tahun dan bekerja sebagai SPG di sebuah perusahaan ternama di Ibukota. Lalu si adik bernama Veny, masih duduk di bangku SMA. Mereka berdua dijuluki Duo Seksi dari Gang Sawo, karena mereka berdua memang seksi, bahkan keseksiannya sudah terkenal sampai ke kampung-kampung tetangga. Hari ini, Veny yang berzodiak Libra ini genap berusia 17 tahun. Pesta kecil-kecilan digelar di rumah pamannya untuk merayakan Sweet Seventeen-nya.

Ada sebuah mitos yang menyatakan bahwa apapun permintaan di hari ulang tahun yang ke-17, maka permintaan itu pasti tekabul. Entah mengapa mitos tak pernah disingkirkan dan orang lebih memilih jalan aman untuk menghindarinya jika mitos itu berbau negatif dan akan mencoba jika mitos itu berbau positif. Nah, hal itulah yang coba dilakukan Veny di hari ulang tahunnya yang ke -17 kali ini.

"Ayo bikin permohonan," ujar sang paman diiringi lagu Selamat Ulang Tahun yang didendangkan bibi, Nila, dan beberapa rekan-rekan Veny yang hadir.
Sembari menutup mata dan menyematkan doa tulus dalam hatinya, ia menutup lilin berbentuk angka 17 di atas kue tar cokelat yang kemudian ditepuki dengan meriah oleh semua yang ada di dalam ruangan. Veny tersenyum manis di tengah gemuruh suara tepuk tangan. Dia begitu bahagia, terlebih bila suatu saat nanti doa tulusnya jadi kenyataan.

                 ***

Malam harinya, di kamar, Veny dan Nila saling berbincang mengenai pesta ulang tahun hari ini. Bahan pembicaraan pun berkisar dari kado-kado yang ia dapat dari teman-teman Veny yang rata-rata adalah laki-laki. Ada yang memberikan kalung hati, ada pula yang hanya memberikan puisi cinta (entah karena orang itu romantis atau tidak modal).

Tiba-tiba, Nila bertanya sesuatu yang sedikit mengejutkan Veny, "Kamu minta permohonan apa di ulang tahun kali ini. Kata orang, kelak permohonan di usia 17 tahun akan benar-benar menjadi kenyataan."
"Ah yang benar kak? Memangnya dulu kakak waktu 17 tahun minta permohonan apa?"
"Lho kok balik bertanya?" Nila mengerutkan dahi.
"Jawab saja kak, nanti pertanyaan kakak pasti aku jawab," ujar Veny polos.
"Iya deh. Dulu kakak minta agar jadi seorang model. Memangnya kenapa?"
"Tuh kan, berarti mitos itu belum tentu benar. Buktinya sampai sekarang kakak belum jadi model kan?" ledek Veny sambil tertawa kecil.
"Yee saat ini memang belum, tapi pasti sebentar lagi. Sudah, sudah, sekarang apa permintaan kamu?"

Veny sedikit gugup untuk mengatakannya, "Tapi kakak tidak marah kan?"
"Tidak adikku," ujar Nila makin penasaran.
"Aku memohon agar aku bisa bertemu ayah."
"Apa?" ujar Nila kaget dengan nada tinggi.
Dengan respon cepat pula Veny berucap, "Kata kakak, kaka tidak akan marah."

Nila menghela nafas sejenak, mengontrol emosinya.
"Kakak tidak marah kok, hanya kakak kaget saja sama permintaan kamu. Ayahmu, maksudku atyah kita itu sudah mati."
"Mati? Aku yakin belum kak, selama jasadnya belum ditemukkan, ayu yakin dia masih hidup."
"Terserah kamu sajalah, yang pasti dia sudah meninggalkan kita, bahkan meninggalkanmu saat kamu masih di dalam perut ibu," tegas Nila seakan menutup pembicaraan mereka.

Malam makin larut, Nila pun memilih tidur dan berharap bertemu bunga yang indah. Sementara itu, Veny mengusap air matanya yang tak kuat untuk terus ditampung dan terpaksa meleleh di kedua pipinya yang mulus. Ia begitu rindu dengan ayahnya, meski sejak sedetik ia lahir di dunia, tak pernah ada wajah ayahnya dalam pandangannya. Yang ia inginkan satu, bertemu ayahnya dan memeluk hangat dirinya. Ia hanya iri dengan kasih sayang seorang ayah yang tak pernah ia rasakan.

               ***

Suatu hari, impian Nila menjadi seorang model benar-benar nyaris terwujud. Tinggal selangkah lagi. Itu semua berkat bantuan teman-temannya yang menganggap Nila cocok menjadi model. Jelas saja, tubuhnya benar-benar sangat indah ditambah mukanya yang begitu cantik.

Ia hanya tinggal bertemu dengan pemilik studio model yang akan menerbitkannya menjadi seorang model. Pemiliknya adalah seorang suami-istri kaya raya yang sudah mendirikan studio model itu sejak lima belas tahun yang lalu. Walau masih tergolong muda, tapi di sinilah banyak tercetak model-model muda penuh talenta.

Dengan membawa formulir data dirinya, Nila memasuki ruangan sang bos.
"Permisi, pak!" ujar Nila ramah.
"Silakan masuk," ujar pria yang merupakan pemilik studio itu.
Nila pun masuk dan duduk di kursi tepat di depan wajah sang bos besar. Pertama kali melihat Nila, wajahnya seakan mengingatkan dirinya akan seseorang di masa mudanya.

"Maaf, pak, apa ada yang salah?" ucap Nila mengagetkan lamunan sang bos.
"Oh tidak ada apa-apa. Anda ini benar-benar cantik. Sungguh cocok untuk menjadi seorang model," ujarnya dengan nada yakin dan senyum sumringah. Nila pun ikut tersenyum, tersipu malu.
"Oh ya, saya mau melihat data diri anda," ujarnya lagi.
Nila pun menyerahkan data diri-nya yang ditaruh di dalam map biru kepadanya.

Saat dibuka, pria yang nampaknya sudah berusia empat puluh tahun-an ini begitu kaget saat apa yang ia khawatirkan terjadi. Ia melihat di data diri tersebut, nama ibu Nila adalah Sumiati, yang merupakan mantan istrinya, yang dengan kata lain, perempuan dihadapannya kini adalah anaknya.

Ia seakan ingin menangis dan memeluk anaknya namun perasaan berdosa membuat ia mengurungkan niatnya. Toh, Nila juga tak menyadari kalau dirinya adalah ayahnya. Dalam pikirannya, ia beranggapan bahwa Nila sudah melupakannya atau menganggap dirinya mati karena saking membencinya.

"Pak, ada apa?" lagi, Nila mengagetkan.
"Oh maaf." ujarnya pelan.
"Maaf? Maksud bapak..."
"Oh bukan, saya minta maaf karena tadi sedikit melamun. Melihat kamu seperti melihat isteri saya di rumah," jawab sang bos sambil tersenyum.
"Ooh, lalu saya bagaimana pak?"
"Mulai hari ini, kamu resmi menjadi model. Kamu hanya tinggal menandatangani kontrak dan saya pasti akan mengorbitkanmu menjadi terkenal," janjinya.

Nila pun begitu senang. Dia tak menyangka mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Di sisi lain, sang ayah menghadapi dilema besar harus mengatakannya atau tidak atau akan menunggu momen yang tepat atau membiarkan ini semua mengalir dan terkuak dengan sendirinya. Sungguh mengoyak emosi batin seorang ayah.

                     ***

Satu minggu kemudian, Nila datang ke studio dengan membawa Veny, paman, dan bibinya untuk melihatnya beraksi di depan kamera sebagai seorang model. Hal ini tentu tidak diketahui Rejo, pemilik studio yang tanpa diketahui Nila merupakan ayah kandungnya.

Saat mereka berempat masuk ke dalam ruangan, tepat di sana pula Rejo sedang berjalan menuju arah pemotreatan. Dengan begitu bersemangat, Nila menarik tangan bibinya, yang kemudian diikuti paman dan adiknya mengejar Rejo.

"Pak, sebentar pak, berhenti!" teriak Nila.
Rejo pun berhenti dan membalikkan badannya. Spontan paman dan bibi kaget dan pamannya berkata, "Kamu? Sedang apa kamu di sini?"
"Paman sudah kenal? Dia bos aku," ujar Nila polos.
Rejo makin berkeringat. Kedoknya terbongkar. Dia seakan sudah siap menghadapi caci maki anak-anak kandungnya, Nila dan Veny.
"Bos? Apanya yang bos? Dia itu ayah kandung kamu!" tegas paman lantang.

Nila menggeleng-gelengkan kepala dan air matanya mulai berlinang. Begitu pula Veny, yang tak menyangka bisa bertemu ayahnya di sini. Sementara itu, bibi seakan menaha paman yang emosinya mulai terlihat tak terkontrol karena bertemu dengan orang yang telah meninggalkan kakaknya.

Dengan emosi yang memuncak, Nila mencengkram baju ayahnya dan meluapkan emosinya, "Kenapa ayah meninggalkan kami? Kenapa? Kenapa?"
Sang ayah juga ikut menangis tapi sama sekali tak melawan. "Tenang, nak. Papa bisa jelaskan semua."
"Jelaskan saja kepada jasad ibu!" teriak Nila.

Tiba-tiba, Veny menarik tangan kakaknya sekaligus melepaskan cengkramannya dan seakan melindungi ayahnya.
"Ini yang aku mau, kak. Aku bisa bertemu dengan ayah. Biarkan dia menjelaskannya. Dia tetap ayah kita, kak. Ayah kita! Kita harus menghormatinya sejahat apapun dia!" tangkas Veny.

Veny lalu berbalik menghadap ayahnya sembari menitikan air mata.
"Ayah, aku merindukanmu," ujar Veny tulus sembari memeluk hangat tubuh ayahnya yang juga tak kuasa menahan haru.

                    ***

Beberapa saat kemudian, saat situasi sudah mulai tenang. Sang ayah mengajak Nila dan Veny ke lantai atas gedung. Sembari duduk melihat pemandangan kota dan merasakan hembus angin yang mendesah, sang ayah mulai bercerita dengan posisi duduk di antara kedua anaknya.

"Bapak dahulu di masa muda pernah membuat kesalahan besar."
"Apa?" tanya Veny dengan semangatnya.
"Saat ibumu mengandung kamu, bapak selingkuh dengan teman kerja bapak. Bapak tergoda oleh perempuan laknat itu dan kini bapak menyesal. Bapak mencoba minta maaf kepada ibumu, tapi dia malah mengusirku untuk pergi jauh. Bapak tak bisa berbuat apa-apa. Keputusan ibumu sudah bulat. Bahkan, ia langsung lari ke rumah pamanmu setelah itu."
"Lalu?" kini giliran Nila.
"Bapak hanya bisa memandangimu dari jauh. Bahkan, saat bapak dapat kabar ibumu meninggal, diam-diam bapak hadir ke pemakaman. Bapak melihat kedua anak bapak ini masih kecil-kecil digendong oleh paman dan bibimu. Dan semenjak saat itu, bapak meninggalkanmu. Lari dari Gang Sawo, hingga akhirnya bertemu dengan seorang perempuan kaya yang juga merupakan model, istri bapak sekarang, yang akhirnya mendirikan studio ini. Bapak memutuskan itu karena perasaan berdosa bapak yang begitu besar kepada ibumu dan kalian yang akhirnya memilih mencari kehidupan baru."

Suasana hening sejenak. "Apa kalian bisa memaafkan bapak?" tanya sang ayah.
Veny dan Nila saling bertatapan dan kemudian tersenyum bersama, lalu secara serempak memeluk ayahnya itu. Sang ayah begitu bahagia dengan pelukan darah daginya itu.

Tiba-tiba, Nila bertanya, "Ayah, apa dengan isitri bapak yang baru, ayah sudah punya anak?"
Sang ayah sembari menggelengkan kepala berucap, "Rahimnya sudah beku. Ia takkan pernah punya anak."
"Yah, sayang sekali. Padahal kalau punya, kami siap menjadi kakak tirinya, ya kan Ven?
"Iya, yah. Oya, aku punya satu pertanyaan lagi pak," ujar Veny.

Sang bapak penasaran, "Apa itu?"
"Dulu bagaimana bapak bertemu ibu?"
"Kamu ini, pertanyaannya sensitif ya? Dulu ibumu itu seorang model dan bapak fotografernya."
"Wah, bakat ibu masuk ke jiwaku," celetuk Nila.
"Oh so sweet ya? Terus bapak lebih cinta ibu atau istri bapak yang sekarang?

Bapaknya berunsut, "Katanya satu pertanyaan lagi tadi?"
"Satu lagi," pinta Veny memanja.
"Hm, kasih tahu gak ya?" ledek Ayah.
"Ah, bapak mah," Veny sedikit kesal.
"Iya, bapak lebih cinta ibu kalian. Kalian semua persis seperti ibumu. Cantik dan seksi."

Nila pun kembali berceletuk, "Ya jelas lah pak, kami kan dijuluki Duo Seksi dari Gang Sawo. Semua kampung juga sudah pada tahu."
Mereka bertiga pun tertawa dan larut dalam kebahagiaan. Pertemuan ayah dan anak yang tak terduga setelah sekian lama berpisah.

M. Fathir Al Anfal (Februari 2012)

No comments:

Post a Comment