Tuesday, January 10, 2012

Hari Rizka Yang Mengesankan

"Kadang tampang bisa menipu."
"Semua seakan memiliki benang merah."


Untuk Rizka Safitri (Mungkin dia adalah cinta pertama Si Penulis Cerpen Ini).





Foto: google.com


Pagi menjelang siang itu terasa begitu panas bagi Rizka, mahasiswi cantik yang sedang menanti bus yang akan membawanya pulang di sebuah halte. Tangannya sibuk mengotak-atik Handphone, membuka akun Facebook dan Twitter-nya seraya menghilangkan kejenuhan yang timbul karena terlalu lama menunggu.

Setelah beberapa menit, bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Ia pun menaruh kembali Handphone-nya ke dalam tas lalu berdiri mengawasi jalan dan mulai gelisah. Tanpa sepengetahuannya, sedari tadi seorang pria ternyata sudah memperhatikan gerak-geriknya dan kerapkali mengawasi keadaan sekitar dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat dirasa aman, pria itu mendekati Rizka dan secepat kilat merampas tasnya.. Spontan Rizka berteriak, "Jambret! Tolong! Jambret!."

Mendengar teriakan gadis manis yang berulang-ulang itu, beberapa pria langsung mengejar jambret itu dan Rizka pun ikut mengejar di belakang gerombolan pria yang sama-sama ingin menjadi seorang pahlawan.

Sementara itu, bagai seorang Pelari Nasional yang tengah memperebutkan medali emas, si jambret berlari dengan cepatnya meninggalkan orang-orang yang mengejar dan meneriakinya. Orang-orang di pinggir jalan itu hanya melihat tanpa ada yang berani menghentikkan langkah seribunya. Namun, saat asyik berlari tiba-tiba seoarng pengamen langsung menghantamkan gitarnya ke muka jambret yang brewokan itu, membuatnya terjungkal sekaligus menghentikan pelariannya. Pengamne itu pun langsung merebut tas dari tangan si jambret yang mukanya tengah kesakitan. Sialnya lagi, belum sempat bangun, orang-orang yang tadi mengejarnya langsung menghadiahi bogem mentah kepadanya. Sungguh malang. Tapi untungnya, tak sampai babak belur karena keburu dilerai oleh si pengamen. Atas saran pengamen pula, mereka sepakat untuk menyerahkan pelaku kriminal kelas teri itu ke pihak yang berwajib.

Saat itu pula, Rizka yang tadi ikut mengejar baru sampai dengan terengah-engah dan berdiri sedikit bungkuk dengan kedua tangan di pinggangnya.

"Ini tas kamu?," tanya sang pengamen.
"Iya, terima kasih ya," jawab Rizka masih agak terengah-engah dan meraih tasnya yang disodorkan pengamen itu.

Pengamen itu hanya tersenyum manis lalu berbalik badan dan mulai melangkah kaki untuk pergi meninggalkannya. Rizka hanya diam terpaku dan tampaknya dia begitu terkesan dengan senyuman itu. Hal itu sejenak membuatnya lupa untuk mengecek tasnya. Mungkin saja isinya sudah tak ada, pikirnya.

Setelah sadar, ia pun langsung mengecek isi tasnya. Untuk saja isinya masih utuh termasuk Handphone yang tadi ia simpan di tas tersebut. Tapi sebenarnya, bukan benda kotak yang menjadi nyawa kedua manusia saat ini itulah yang membuatnya khawatir, karena toh dia pasti bisa membelinya lagi bila hilang. Yang membuatnya khawatir adalah buku-bukunya yang berisikan banyak catatan penting berupa ilmu dan baginya ilmu tak bisa dibeli dengan uang meski pendidikan tentunya tak gratis 100%. Ditambah, dia malas untuk mencatat ulang bila catatan-catatan itu hilang.

Dia pun menarik nafas lega dan bersyukur karena isi tasnya masih utuh. Ia pun jadi teringat kembali oleh pengamen itu dan ingin menanyakan namanya. Tapi sayangnya, pengamen itu sudah hilang bersama siluetnya dan ia tak tahu kemana perginya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke rencana awal yaitu pulang ke rumah.

                     ***

Baru sampai, letih, di rumah ia sudah disambut oleh Fitri, adiknya yang bawel dan agak centil.
"Hei kak, kenapa baru pulang jam segini?"
"Tadi tas kakak sempat kejambret."
"Lho kok bisa? Terus bagaimana kak? Makanya kak lain kali harus lebih berhati-hati, apalagi di ibukota," jelas Fitri seakan menggurui.
"Iya adikku yang bawel, Tapi untungnya, ada seorang pengamen yang berhasil merebut tas kakak lagi dari tangan jambret sialan itu. Pakaiannya sih memang agak lusuh, tapi yang pasti, senyumnya itu berkesan sekali dan sampai saat ini masih terbayang di pikiran kakak kalau ingat pengemen itu," deskripsi Rizka sambil matanya menerawang ke atas."

"Terus kakak kenalan sama dia?"
"Nah itu dia kebodohan kakak. Kakak tidak sempat menanyakan namanya karena dia keburu pergi dan menghilang," Rizka menjawab.
"Tapi kalai kakak lihat mukanya, sepertinya dia lebih muda usianya dari kakak dan dia juga sepertinya seumuran sama kamu," tambahnya lagi.

"Oh begitu. Kalau dibayangkan pengamen itu kasihan juga ya? Di usia muda seperti itu, harusnya dia mendapatkan pendidikan yang layak seperti aku dan anak-anak lainnya yang hingga kini masih beruntung bisa sekolah. Tapi dia tidak. Dia justru menjadi pengamen jalanan guna kelangsungan hidupnya," ujar Fitri dengan gaya bijak khas Petinggi Negara.

Rizka tertegun mendengar perkataan adiknya. Biasanya, Fitri itu banyak bicara tapi apa yang dibicarakannya tak ada manfaatnya sama sekali. Tapi kali ini lain dan membuat dirinya heran lalu bertanya, "Tumben kamu bicaranya benar? Dari tadi juga kakak lihat kamu juga senyum melulu. Ada apa sih?"

Fitri pun tersenyum setengah nyengir dan berkata, "Iya dong kak. Maklum saja, soalnya pacar aku mau main ke sini malam ini."
"Apa hubungannya? Lagipula memangnya kamu sudah laku?" ejek Rizka.
"Ya iya lah. Walaupun muka kakak lebih cantik dari aku, tapi aku lebih laku daripada kakak. Buktinya kakak masih jomblo kan sekarang?" ujar Fitri membalas ejekan Rizka sembari menjulurkan lidahnya.

Tidak mau kalah, Rizka pun langsung merespon dan berdalih, "Eits jangan salah, di kampus banyak yang nembak kakak tapi kakak tolak semua karena tak ada yang sesuai tipe kakak. Memangnya kamu sudah berapa lama jadian sama pacar kamu?"
"Sudah sebulan sih, memangnya kenapa?"
"Tapi dia kok baru ngapelin kamu sekarang?" balik bertnaya dan sedikit heran.
"Waktu itu dia pernah bilang kalau dia sibuk jadi belum bisa main ke rumah."
"Terus kamu percaya? Bisa saja kan dia bohongin kamu. Namanya juga laki-laki. Tukang bohong!"
"Tapi menurutku dia tidak begitu, karena aku tahu sekali tentang kepribadian dia dan aku tahu tahu kalau dia tulus sama aku," bantah Fitri.

"Dia tajir?" tanya Rizka lagi.
"Ih apaan sih kakak ini? Sudah tidak zaman kalau cari cowok dari hartanya saja, setidaknya itu buatku. Yang penting itu hatinya. Walaupun aku tahu dia bukan berasal dari keluarga ningrat atau konglomerat kaya raya tapi hatinya itu baik sekali. Dan hebatnya lagi, dia itu kaya ilmu. Itu sebabbnya dia mempunyai banyak prestasi termasuk mejadi juara kelas dan aku bangga bisa memilikinya," jelas Fitri dengan hati yang mantap.

Rizka hanya termenung sebagai pendengar sambil mengangguk-anggukan kepalanya. tanpa ia sadari, Fitri sudah tidak ada di hadapannya lagi. Ternyata dia sudah duduk di sofa ruang tengah sambil menonton TV dengan remote di tangannya. Tak ambil pusing, Rizka langsung bergegas ke kamarnya lalu mandi.

               ***

Selepas mandi, Rizka memutuskan untuk bersantai sejenak karena tubuh langsingnya sangat pegal gara-gara kejadian siang tadi. Tapi sial baginya, belum enam puluh detik ia bersantai, papanya meminta dirinya untuk mengantarkan Novi, adiknya yang paling bungsu yang baru duduk di kelas 6 SD ke tempat les. Hasil Try Out yang tidak memuaskan menjadi pemicu keputusan sang papa untuk Novi agar ia mengikuti pelajaran tambahan di sebuah bimbingan belajar ternama di kota ini. Papanya khawatir Novi tidak lulus Ujian Nasional tahun ini.

Dengan mengendarai motor papanya, Rizka ngebut mengantarkan adiknya itu ke tempat les yang dimaksud. Sesampainya di sana, ia mengantarkan adiknya itu ke dalam guna memastikan kalau dia benar-benar mengikuti les.

Tapi, tanpa diduga-duga, ia bertemu dengan pengamen yang tadi siang. menolongnya itu. Dia heran dan tak menyangka kenapa pengamen itu ada di sini. Tapi kali ini dandanannya sudah tidak lusuh dan tidak seperti pengamen lagi. Pakainnya bersih dan rapi. Membuatnya terlihat begitu tampan.

Spontan Rizka bertanya, "Kamu pengamen yang tadi siang menolong aku kan? Kok kamu ada di sini?" Awalnya Rizka berfikir kalau pria di hadapannya itu cuma orang suruhan di tempat bimibingan belajar itu. Tapi ternyata dia salah saat mendengar jawabannya yang juga membuat Rizka terkejut.

"Aku salah satu pengajar di sini," jelasnya.
"Setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu aku mengajar di sini. Awalnya aku mengajar kelas SD dari jam 5 hingga jam 7, tapi aku meminta kepada atasanku agar aku dipindahkan untuk mengajar kelas SMP dari jam 3 hingga jam 5 dan untungnya disetujui," tambahnya.
"Oh begitu, tapi kok kamu bisa bekerja di sini?"
"Sebenarnya pemilik bimbingan belajar ini adalah teman almarhum ayahku. Dia berhutang banyak kepada almarhum ayah. Tapi jangan bilang ini Nepotisme yang marak terjadi, karena aku juga mengikuti tes sebelumnya untuk bisa mengajar di sini dan aku selalu bersungguh-sungguh dalam mengajar," jawabnya dengan tegas.

"Ya, aku mengerti dan aku percaya. Aku juga minta maaf soal almarhum papamu. Oh ya, kita belum berkenalan ya? Kamu siapa?" tanya Rizka yang tak ingin melewatkan kesempatan kedua untuk mengetahui namanya.
"Aku Aan. Kamu?"
"Aku Rizka. Kamu masih sekolah?"
"Ya, kelas 2 SMA. Kalau kamu?"
"Aku kuliah di UJ (Universitas Jigsaw) jurusan Teknik Perangkap dan Penjebakkan tapi baru semester satu."
"Oh, universitas dan jurusan yang aneh ya?" ujarnya sambil tertawa geli.
"Tidak kok, cuma bercanda," tambahnya lagi dengan sedikit senyum dan mengangkat dua jari (jari tengah dan jari telunjuk) pada tangan kanannya di samping kepalanya.

"Iya iya. Oh ya, maaf sebelumnya, tapi jujur, awalnya aku mengira kamu hanya pengamen jalanan. Memangnya kamu setiap hari mengamen ya?" ujar Rizka penuh tanya.
"Tidak apa-apa kok. Kadang tampang memang dapat menipu. Sebenarnya, aku jarang-jarang mengamen. Seperti tadi siang, terkadang aku mengamen hanya untuk melepas rasa penat dan menambah uang saku sendiri karena aku tak ingin terus-terusan meminta kepada ibuku. Di samping itu semua, aku memang hobi menyanyi," jelas Aan yang membuat suasana menjadi hening seketika seakan mendadak gelap dan sorot sinar dari atas hanya menerangi mereka berdua.

"Oh ya, aku harus pulang. Maaf. Senang bertemu denganmu," ucap Aan halus setelah ia melirik jam tangannya.
"Sama-sama," jawab Rizka kagum sekaligus senang karena akhirnya bisa mengetahui nama penolongnya itu dan bisa berbincang-bincang dengannya. Ah....

                   ***

Malam harinya, sekitar jam 8 atau satu jam setelah ia menemani Novi les, bel rumah berbunyi dan Rizka pun langsung membukakan pintu. Tapi orang di balik pintu itu justru membuatnya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak? Ternyata orang itu adalah Aan.

"Kamu tahu rumah aku darimana? tanya Rizka dengan herannya.
"Kamu sendiri sedang apa di sini?", balik bertanya dan membuat Rizka tambah bingung.
"Hei Sayang, akhirnya datang juga," teriak Fitri tiba-tiba.
"Kok tidak di suruh masuk kak? Oh ya kak, ini Aan, pacar aku, yang tadi aku ceritakan. Aan, ini Rizka, kakakku," ucapnya lagi saling memandang keduanya.
"Iya, ini juga baru mau disuruh masuk. Oh, Aan. Salam kenal ya. Mari masuk," ujar Rizka sambil memegangi lehernya sendiri, salah tingkah, dan pura-pura tidak kenal.

Aan pun mengerti maksud Rizka bersikap begitu. Fitri pun mengajak Aan berbincang-bincang di ruang tamu dan di saat itu pula lah, Aan mulai menceritakan pekerjaan mengajarnya selama ini yang ia sembunyikan sehingga ia baru bisa main ke rumahnya tapi ia tak menceritakan soal mengamen dan diua pertemuan dengan kakaknya.

Sementara itu, Rizka sedang di dapur untuk membuatkan minum. Sekarang dia mengerti dan dapat menghubungkan semuanya. Semua seakan memiliki benang merah. Sungguh hari yang mengesankan baginya. Baru kali ini dia menemukan pria seperti Aan yang mampu membagi waktu antara hak dan kewajiban tanpa mengurangi prestasinya. Dalam hati ia berkata, "Andai bukan pacar adikku, aku pasti mau tuk jadi miliknya."

M. Fathir Al Anfal (Agustus 2009)

No comments:

Post a Comment