Wednesday, December 21, 2011

Sajak Untuk Rosa

Jingga makin memancar di sela-sela langit biru yang mulai gelap. Orang-orang menyebut waktu di saat langit setengah gelap sesudah matahari terbenam dan diikuti dengan munculnya langit jingga itu dengan sebutan senja. Begitu pula dengan gadis pecinta senja yang kebetulan bernama "Senja" juga. Entah kenapa kedua orang tuanya menamai anak pertamanya itu Senja. Mungkin karena mereka berdua juga pecinta senja di masa mudanya atau ada kenangan lain di waktu senja yang menginspirasi mereka untuk memberikan nama itu kepadanya.

Dia memang mencintai senja. Bukan karena keromantisan yang hadir di baliknya tapi karena dia memang tak punya alasan untuk mencintai senja. Sama seperti di saat ia mencintai seorang pria. Baginya, mencintai itu tak perlu alasan atau pertanyaan "mengapa" tapi mencintai bicara soal ketulusan dan hal-hal yang memang sulit untuk diungkapkan. Dia juga berpendapat kalau mencintai memiliki alasan maka cinta itu tak akan langgeng sampai kematian menjemput. Seperti halnya, kita yang mencintai seseorang karna wajahnya yang cantik dan ganteng maka setelah wajahnya tidak lagi cantik atau ganteng karna suatu hal, cinta itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya kecantikan atau kegantengan yang dimiliki orang yang selama ini kau cintai. Itulah prinsip yang selalu ditanamkan dalam diri Senja, seorang perempuan sederhana nan cantik yang saat ini tengah sendiri.

Bukan karena dia pemilih dan terlalu mengkotak-kotakki pria yang mengantri di belakangnya. Tapi, karena dia memang belum merasakan cinta kepada pria-pria tampan laksana pangeran yang mencoba merajut kasih sayang dalam hatinya.

                          ***


Hari ini, 23 September 2011 adalah hari ulang tahun Senja yang ke-17 . Kalau kata orang ini adalah Sweet Seventeen dirinya dan momen yang sangat spesial. Senja pun dengan izin orang tuanya merayakan ulang tahun ke-17-nya dengan sebuah pesta besar di malam hari. Pesta diadakan begitu meriah di rumahnya yang begitu mewah, megah, dan luar biasa. Ia undang semua teman-teman semasa SMA-nya. Sekitar 100 lebih tamu datang di pesta yang berakhir tengah malam itu. Kado-kado pun juga sudah menumpuk di ruang tengah, tempat penyimpanan kado.

Seusai acara, ia membuka satu per satu kado yang diberikan teman-temannya. Ada yang memberikannya tas, gaun, cokelat, dam lain-lain. Namun, ada satu buah kado yang ia tak tahu dari siapa yang ternyata isinya hanya sebuah kertas berisikan puisi yang berjudul: "Sajak Untuk Rosa".

Ia membaca perlahan isi puisi itu dan coba masuk ke dalam jiwa penulisnya.

Sajak Untuk Rosa


Dalam diam aku merajut asa
tuk dapat mencintaimu
meski pelan-pelan.


Aku tak hanya ingin sekedar kagum,
tapi juga mencintaimu,
meski aku tak punya alasan kuat
dan juga tanya: "mengapa?"
tapi bukankah cinta tak butuh alasan?


Aku masih diam,
tepat di depan wajahmu yang terbingkai.


Sekali membaca, ia langsung paham dengan maksud si pengarang puisi yang tak diketahui itu. Karena isi puisi itu mirip dengan prinsip yang ia pegang teguh selama ini. Ia jadi bertanya: "Apakah ini sebuah kebetulan?". Namun, ia mencoba tak peduli, karena toh puisi itu untuk Rosa bukan untuk dia seperti yang sudah diutarakan pada judul puisi itu sendiri. Namun, untuk apa ia jadikan sebagai kado ulang tahunnya? Pikirnya lagi dalam hati. Dan lagi-lagi, dia hanya menemui kebuntuan.

                        ***

Dua hari berselang, ia menuju kantor kelurahan untuk membuat KTP atas namanya. Maklum dia kini sudah berusia 17. Sudah waktunya ia mempunyai kartu kependudukan nan penting itu.

"Namanya Senja Anandita R ya Dek?"
"Iya Pak."
"Kalau 'R'-nya itu apa?"
"Oh, itu Rosalia Pak."
"Rosa apa?"
"Rosa-lia Pak."
"Oh, sebentar saya catat dulu datanya."

Tiba-tiba, ia teringat dengan puisi yang ia baca 2 hari yang lalu. Ia baru tersadar kalau puisi itu untuknya dan Rosa sendiri adalah namanya. Dia tertegun dan terdiam sesaat. Dia benar-benar merasa begitu tolol hingga tak menyadari itu. Puisi itu sungguh membuat dirinya lupa akan namanya sendiri.

"Dek, besok datang lagi ya kemari untuk mengambil KTP-nya!", ujar PNS yang mengurusi pembuatan KTP-nya itu yang secara tak sengaja sedikit mengagetkannya. Setelah mengucapkan ucapan terima kasih yang ia campur dengan sedikit senyum palsu, ia langsung bergegas ke rumah untuk kembali membuka lembar kertas lusuh itu dan menyelidiki siapa orang di balik puisi Sajak Untuk Rosa. Dalam hatinya, ia berharap kertas itu masih ada di kamarnya karena dia sendiri lupa, apakah lembar kertas berisi puisi misterius itu sudah ia buang ke tempat sampah atau belum.

M. Fathir Al Anfal (2011)

2 comments: