Tuesday, November 8, 2011

SAWO episode 3

Briptu Adam terbangun di sebuah ruangan yang begitu gelap. Dia melihat-lihat ke kanan, ke kiri, atas, semuanya. Dia tak tahu sedang ada dimana. Tak ada pintu, tak ada jendela, dan hanya ditemani lampu yang terang-redup berkali-kali. Raut mukanya begitu ketakutan. Dia ingin berdiri namun kakinya tak kuasa untuk berdiri lagi.

Lalu muncullah seseorang berjubah hitam di hadapannya yang tak tahu datang darimana. Dengan membawa sebilah pisau yang berlumuran darah, dia menatap Briptu Adam yang ketakutan. Briptu Adam menengadahkan wajahnya, namun ia tetap tak bisa mengetahui siapa di balik wajah yang gelap itu. Hingga akhirnya, orang berjubah hitam itu membungkukan tubuhnya sampai-sampai wajahnya terlihat jelas oleh Briptu Adam. Briptu Adam terkejut dan sempat tak bisa berkata.

"Veni? Jangan Ven, mas mohon!", ujar Adam.
Dia tak peduli, lalu berdiri, dan siap menghujamkan pisaunya hingga ke ulu hati Adam.
Adam yang tak bisa berdiri, dengan ketakutan, menyeret tubuhnya ke belakang sampai dia terpojok. Dia sadar dia akan mati karena tak ada jalan keluar.
"Ven, kenapa kamu jadi seperti ini? Aku masih mencintaimu. Bunuhlah mas jika memang itu maumu", ujar Adam. Lagi lagi dia seakan tak mendengarkan, tanpa ampun, orang berjubah hitam yang Adam sebut "Veni" itu menusukkan pisau ke perut Adam. Darah pun memuncrat. Membasahi pisau yang semakin merah.

                                  ***



Handphone itu berdering begitu keras. Membangunkan Briptu Adam dalam tidur dan mimpi yang tak menyenangkannya. Dia lalu meraih handphone yang berdering makin keras yang berada di meja di samping ranjangnya dengan rasa kantuk yang masih meradang.  Ternyata sebuah SMS. Dia membaca dengan raut muka yang sinis. Dia seakan tak peduli lalu meletakkan kembali handphone-nya di meja lalu berjalan hingga ke depan lemari, mengambil baju dan celana, lalu menuju kamar mandi.

Seusai mandi, dia langsung bergegas dengan mobil pribadinya ke kantor. Waktu di jam tangannya sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Tak pernah dia datang seterlambat ini ke kantor. Tapi dia tak peduli, dia masih memikirkan mimpi itu. Dia lalu merogoh sakunya, mengambil dompetnya yang berwarna hitam legam. Sambil menyetir, dia mengambil sebuah foto wanita yang begitu cantik. Dia pandangi terus sambil terus melihat ke depan kaca mobil. Tanpa terasa, air matanya keluar. Dalam benaknya dia teringat kenangan terakhir dia bersama wanita itu. Pertemuan terakhir yang memilukan dan membekas sampai sekarang.

Sore itu, Adam menunggu wanita yang ada di foto tersebut pulang bekerja. Dia bekerja di sebuah pabrik tekstil. Saat sang wanita terlihat dari kejauhan, dengan rok hitam selutut dan kemeja putih, hati Adam makin bergetaran. Kini, dia berada tepat di depan Adam.

Adam yang gemetaran, lalu berkata, "Mas antar pulang ya!"
Sang wanita dengan muka agak ketakutan berusaha menolak ajakan Adam.
"Maaf mas, aku naik taksi saja", ujarnya pelan dan lembut.
"Kamu kenapa sih sekarang menghidar dari mas?"
Dia mengalihkan pandangannya lalu pergi begitu saja. Adam tak terima lalu berusaha menghalangi langkah wanita itu.
"Aku cinta sama kamu, sejak dulu. Tapi kenapa kamu tetap dingin bagai gunung es? Aku salah apa?", tanya Adam.
"Mas tidak salah, hanya saja ..."
"Hanya apa?"
"Hanya saja, aku memang tak bisa menerima mas untuk saat ini!"
"Apa maksudmu 'untuk saat ini'?"
"Sudahlah mas, cari saja wanita lain", ujar wanita itu diiringi dengan air mata yang keluar begitu deras dari matanya yang indah. Dia lalu pergi meninggalkan Adam yang tak berkutik lagi. Kata-kata itu sangat menusuk hati Adam. Semua seakan sia-sia. Itulah kata terakhir yang diucapkan wanita itu kepadanya. Dia masih mengingatnya, semua masih terkenang dan terngiang, sampai kapanpun juga.

                         ***

Sesampainya di kantor, dia sudah dikejutkan dengan seorang wanita yang berambut panjang dan putih yang duduk di depan kantor dengan memakai kaos berwarna ungu, celana jeans, dan tas di tangannya. Adam tahu wanita itu sudah menantinya, namun ia tak ingin terlihat oleh wanita itu. Lalu dia pun mengendap-endap dan memilih masuk lewat pintu belakang.

Setelah masuk, dia langsung menemui rekannya, Amru.
"Darimana saja kau? Tak seperti biasanya kau datang sesiang ini?", tanya Amru.
"Sudahlah, tak usah bertanya, ada perkembangan apa dalam kasus Sawo?"
Amru dengan cemberut menggelengkan kepalanya.
"Yasudah, kau tak ada acara kan hari ini? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat".
"Kemana?"
"Kau pasti tahu nanti. Yang terpenting, sekarang kita harus keluar tanpa terlihat dia"
"Dia siapa?"
"Kau pura-pura bodoh ya?"
"Oh.. tapi kenapa harus menghindari dia? dia sudah menunggumu di sini sejak sejam yang lalu, kau tak kasihan padanya?"
"Aku tak peduli, aku hanya tak ingin menemuinya. Sekarang kita pergi! Sekaligus aku ingin menceritakan sesuatu padamu!"

Mereka pun pergi. Hingga sampailah mereka di sebuah Rawa yang cukup luas. Letaknya tak jauh dari desa Sawo. Orang sana menyebutnya Rawa Kalong. Tapi, tak penting mengapa rawa itu diberi nama sedemikian rupa. Yang terpenting kini, bagi Amru, mengapa Adam mengajaknya kemari?

"Bukankah ini tempat ..."
"Ya, aku sengaja mengajakmu kesini", sela Adam kepada ucapan Amru.
"Mengapa?"
"Aku semalam memimpikan Veni. Mimpi yang begitu buruk. Aku rasa dia terlibat dalam semua ini"
"Bagaimana mungkin? dia kan sudah .."
"Mati kan katamu?", sela Adam lagi.
"Tahu darimana? Sampai sekarang kita pun belum menemukan jasadnya. Jadi bisa saja kalau dia masih hidup. Dia hanya menghilang dan sekarang entah berada dimana dirinya", tambahnya lagi.
Dia lalu merogoh saku bajunya dan menunjukkan sebuah kalung hati berwarna perak kepada Amru.
"Dia hanya meninggalkan ini, tepat di tempat kita berdiri sekarang. Ini aku berikan seminggu sebelum dia menghilang", ujar Adam dengan nada yang terasa sedu.
"Aku yakin ada rangkaina cerita yang panjang di balik semua ini", tegas Adam lagi. Membuat Amru makin membisu.

Angin sepoi-sepoi menerpa mereka. Menyergap, mendekap, dalam tubuh yang seakan kedap udara.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?", tanya Amru.
"Kita hanya harus menemui tiga orang yang terlibat dalam semua ini sebelum ...."
Adam lalu melangkah tiga langkah ke depan lalu membuang kalung hati yang di pegangnya. Ia lempar dengan sekuat tenaga hingga tercebur ke tengah Rawa.
Plung! Kalung itu tenggelam perlahan, hingga menyentuh dasar Rawa.
Adam menoleh ke Amru yang nampak terpaku dan raut muka yang datar lalu melanjutkan perkataannya, "Sebelum ketiga orang itu mati!"

(Bersambung)



No comments:

Post a Comment